10.7 C
New York
Friday, April 26, 2024

Khawatir BPJS Diintervensi, RUU Kesehatan Tuai Banyak Penolakan

Jakarta, MISTAR.ID

Perubahan kedudukan BPJS yang semula di bawah presiden menjadi di bawah kementerian menjadi salah satu hal yang paling disorot dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kesehatan (RUU Kesehatan) Omnibus Law.

Banyak penolakan terhadap rancangan yang saat ini sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR 2023 itu. Dalam rancangan, BPJS Kesehatan disebut akan berada di bawah kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, dan BPJS Ketenagakerjaan di bawah kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.

Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti dalam diskusi publik membahas Urgensi RUU tentang Kesehatan pada Jumat (17/2/23) mengatakan, rancangan itu tidak tepat karena BPJS tidak semata soal kesehatan.

Baca juag:Ingat! Penyakit Ini Tidak Ditanggung BPJS

“BPJS itu tidak hanya kesehatan kok yang ngatur RUU Kesehatan. Kedua, ini dananya dana peserta, kok dikelola secara kelembagaan harus laporan pertanggungjawaban di bawah Kementerian (Kesehatan). Yang sekarang, BPJS Kesehatan pertanggungjawabannya ke presiden,” kata Ghufron di DPP PKB, Jakarta.

Selama ini, kedudukan BPJS di bawah presiden sebagai pengelola berbagai program jaminan sesuai dengan Undang Undang Dasar 1945 (UUD 45), yang diterjemahkan dengan UU Nomor 40 tentang SJSN dan diperkuat badannya melalui UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS.

“BPJS itu tidak hanya kesehatan, BPJS ini termasuk untuk jaminan kematian, JHT, kecelakaan. Jadi semua jaminan. Jadi di sini pertanyaannya agak sedikit aneh ya, berbagai macam jaminan dan berbagai kementerian ikut terlibat tapi kok masuknya di Omnibus Law kesehatan,” ujar Ghufron.

Penolakan juga datang dari Ketua Exco Partai Buruh Provinsi Sumatera Selatan Ali Hanafiah. Alasannya, karena iuran BPJS selama ini berasal dari akumulasi dana publik, di mana buruh membayar iuran sebesar 1 persen dan pengusaha 4 persen.

Sehingga, secara keseluruhan akumulasi uang di BPJS Kesehatan bukan milik pemerintah.

“Kami menolak keras BPJS di bawah kementerian. Di seluruh dunia tidak ada namanya jaminan sosial (BPJS) itu di bawah menteri, seluruh lembaga BPJS di seluruh dunia itu di bawah presiden atau perdana menteri, jadi di bawah langsung kepala pemerintahan,” ungkap Ali dalam agenda rapat Konsolidasi Persatuan Buruh Indonesia Sumatera Selatan di Duta Hotel Palembang, Sabtu (18/2/23).

Adapun menteri memiliki status sebagai pembantu presiden, yang artinya tidak memiliki kapabilitas untuk mengatur pengelolaan dana publik dalam BPJS. Karena itu, menteri yang mengelola dana publik artinya menyalahgunakan wewenang dan jabatan.

“Jadi kalau sampai BPJS di bawah menteri, dengan kata lain, ini abuse of power (penyalahgunaan wewenang jabatan). Kemudian, dalam UU BPJS, Dewan Pengawas (Dewas) BPJS itu disebut wali amanah, nah kalau wali amanah itu nggak boleh di bawah seorang menteri, Dewas itu harus independen,” kata Ali.

Ketua Korwil KSBSI Sumatra Utara, Ramlan Hutabarat menyampaikan hal serupa. Menurutnya, BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan harus dikelola dengan profesional, demokratis, transparan, dan akuntabilitas.

Para buruh dibuat was-was atas perubahan itu, karena dikhawatirkan berimbas pada penurunan kualitas pelayanan. Selain itu, juga rentan mengalami intervensi dan menambah birokrasi.

Baca juga:Lagi, Kejari Eksekusi Seorang Terpidana Klaim BPJS RSUD Batu Bara

Ramlan meminta agar pemerintah tidak mengubah BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan menjadi BUMN. Pasalnya, dana yang dikelola dalam penyelenggaraan BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan adalah dana swadaya masyarakat, khususnya dari buruh dan pengusaha.

Pemerintah pun disarankan untuk berfokus pada UU N0. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, dan UU N0. 24 Tahun 2011, Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

“BPJS berpotensi mendapat penugasan sesuatu (dari kementerian) yang berpotensi merugikan dana kelolaan masyarakat, seperti menempatkan ke instrumen investasi yang tidak menguntungkan. Atau, penugasan kementerian yang membuat pelayanan kepada warga/pekerja menjadi tidak terfokus,” papar Ramlan. (cnn/hm06)

Related Articles

Latest Articles