10.7 C
New York
Friday, May 10, 2024

Efek Pareidolia, Cara Otak Kita Merespon Benda yang Mirip Wajah

MISTAR.ID-Cobalah Anda melihat gambar di atas, benda-benda itu memiliki tampak memiliki dua mata dan mulut yang terbuka. Seolah, mereka sedang bernyanyi dengan mulut yang terbuka. Fenomena ini secara teknis dikenal sebagai pareidolia yang dapat dipahami secara psikologis.

Sebenarnya, banyak ilmuwan yang meneliti fenomena ini, tetapi belum memahami pasti bagaimana otak kita bekerja dalam memproses sinyal visual itu hingga menafsirkannya.

Salah satu penelitian terbaru mengungkapkan teka-teki pareidolia itu secara dari kacamata psikologi dan ilmu sains. Para peneliti ini dari University of Sydney dan National Institute of Mental Health, dan mempublikasikannya di Proceedings of the Royal Society B, Rabu (7/7/21).

Baca Juga:‘Pulau Plastik’, Sebuah Alarm Darurat Sampah Era Teknologi

Hasilnya, ternyata ada kesamaan dalam cara kita memandang dan menafsirkan bentuk wajah pada benda dengan wajah asli manusia.

“Kami tahu objek-objek ini bukanlah wajah yang sebenarnya, namun persepsi wajah tetap ada,” kata David Alais, penulis pertama penelitian yang merupakan profesor psikologi University of Sydney.

Mereka menemukan bahwa sirkuit saraf kita terlibat untuk mencari tahu seperti apa rupa pemandangan itu. Walaupun sebenarnya, secara sadar kita tahu kalau benda sebenarnya bukanlah wajah asli.

 

Respons pengenalan wajah ini terjadi secepat kilat di otak kita: hanya dalam beberapa ratus milidetik.

“Kita tahu objek-objek ini bukanlah wajah yang sebenarnya, namun persepsi wajah tetap ada,” kata Profesor Alais dalam rilis.

Baca Juga:Teknologi Kapsul Mini Pengendali Nyamuk Tanpa Insektisida

“Kami berakhir dengan sesuatu hasil yang aneh, pengalaman paralel bahwa itu memanglah wajah, dan [itu hanya sebagai] objek yang menarik. Dua hal sekaligus. Kesan pertama dari bahwa itu adalah wajah tidak memberikan jalan pada persepsi yang kedua terhadap objek.”

Alais dan tim meminta 17 partisipan percobaan untuk melihat serangkaian lusinan wajah ilusi dan manusia. Tak hanya sekali, mereka dipaparkan beberapa kali, lalu menilai kekuatan emosi masing-masing lewat komputer.

Sebagian besar para partisipan setuju dengan adanya ekspresi yang ditunjukan oleh wajah pareidolia, tulis para peneliti.

Bias persepsi itu muncul berdasarkan ekspresi wajah sebelumnya, lewat ekspresi wajah manusia juga. Akibatnya, ilusi memahami ekspresi wajah ikut bercampur dalam pandangan kita.

Misalnya, kalau Anda melihat wajah yang bahagia, akan sangat memungkinkan akan melihat ekspresi bahagia pula pada benda pareidolia berikutnya.

“Kondisi ‘cross-over’ ini penting karena menunjukkan proses ekspresi wajah mendasar yang sama yang terlibat terlepas dari jenis gambarnya,” terang Alais.

“Ini berarti melihat wajah di awan lebih dari sekadar fantasi anak-anak.”

Bias ini dapat diamati pada wajah asli, dan ilusi yang terjadi menunjukkan otak memprosesnya dengan cara yang sama. Bahkan, dalam transmisi secara biologisnya juga menggunakan jaringan saraf yang sama.

“Wajah Pareidolia tidak dibuang sebagai deteksi palsu tetapi menjalani analisis ekspresi wajah dengan cara yang sama seperti wajah asli,” Alais memaparkan.

“Kita perlu membaca identitas wajah dan melihat ekspresinya. Apakah mereka teman atau musuh? Apakah mereka bahagia, sedih, marah, sedih?”

Mengapa hal ini harus terjadi pada kita? Para peneliti mengatakan pentingnya sebagai membaca ekspresi untuk komunikasi sosial kita. Maka, otak harus secara terus menerus mengenali wajah dan menilai ekspresi.

Baca Juga:Ilmuwan Ciptakan Teknologi Pengubah Air Asin Menjadi Air Minum

Dengan demikian kita bisa memahami situasi apa yang sebenarnya sedang kita hadapi, dan mencari cara untuk tindakan selanjutnya.

Pareidolia secara umum bisa diterjemahkan sebagai sebuah fenomena ketika melihat pola dari objek-objek nan acak. Pareidolia menjadi penyebab seseorang melihat atau juga mendengar dari gambaran kabur atau suara kurang jelas, seakan-akan menyerupai sesuatu yang signifikan.

Hal inilah yang menyebabkan otak kita harus mempelajarinya dengan sangat cepat, dan dengan sedikit informasi. Minimal dengan gambaran petunjuk sekedar dua mata dan mulut saja, kita sudah bisa memberikan persepsi.

Tapi karena wajah pareidolia bisa sangat bervariasi dan hampir tidak kentara, otak akan mengambil risiko kesalahan persepsi ketika menilai wajah. Hal itu berhubungan dengan betapa cepatnya otak kita harus bekerja.

“Ketika objek terlihat sangat mirip wajah, itu lebih dari sekadar interpretasi: mereka benar-benar menggerakkan jaringan deteksi wajah dalam otak kita,” lanjutnya.

“Dan cemberut, atau senyum itu; itulah sistem ekspresi wajah otak kita yang bekerja. Untuk otak, [baik itu] palsu atau asli, semua wajah diproses dengan cara yang sama.”(nationalgeographic.grid/hm01)

Related Articles

Latest Articles