16.4 C
New York
Friday, May 10, 2024

Lie Detector, Apakah Akurat untuk Deteksi Kebohongan Akurat?

Jakarta, MISTAR.ID

Jakarta, MISTAR.ID
Alat pendeteksi kebohongan atau lie detector kini ramai diperbincangkan sejak kepolisian menggunakan alat tersebut untuk mendeteksi nilai kejujuran dalam kasus yang cukup menghebohkan jagat raya yakni pembunuhan Brigadir Yosua.

Alat pendeteksi kebohongan dahulu kerap digunakan di berbagai negara saat memproses terduga pelaku kejahatan. Karena itu, kadang orang yang diduga sebagai pelaku membela diri dengan cara menyatakan siap dites poligraf, yaitu tes dengan mesin pendeteksi kebohongan.

Di dunia hiburan, alat pendeteksi kebohongan muncul di adegan film kriminal hingga acara komedi. Di acara ragam Korea Selatan 2 Days 1 Night contohnya, pengisi acara menggunakan mesin poligraf hasil modifikasi atau mainan, lalu menjawab pertanyaan tertentu dengan harapan muncul tanda-tanda kebohongan yang bisa memunculkan kelucuan.

Namun, penggunaan alat pendeteksi kebohongan di dunia nyata umumnya tidak berhubungan dengan hal lucu. Sejumlah orang dipenjara hingga belasan tahun karena tes poligraf yang dijalani rupanya tidak akurat, seperti dikutip dari laman National Association of Computer Voice Stress Analysts (NACVSA).

Baca juga:Komisi III Curiga, Cleaning Service Kejagung Simpan Duit Rp 100 Juta dan Selalu Dikawal

Contoh, Jeffery Deskovic dijebloskan ke penjara pada 1990 setelah hasil tes poligraf mendapati dirinya berbohong. Deskovic dikenakan hukuman pada usia 17 tahun atas kasus pemerkosaan dan pencekikan teman sekolahnya. Namun pada 2006, hasil tes DNA mendapati ia tidak bersalah dan sudah salah dihukum bertahun-tahun.

Lantas, apakah sebenarnya alat pendeteksi kebohongan benar-benar bisa bekerja?

Fakta Alat Pendeteksi Kebohongan

1. Tes Poligraf
Tes poligraf adalah pengujian dan perekaman tiga indikator respons tubuh untuk menilai apakah seseorang mengatakan kebohongan. Indikator yang digunakan yaitu kondisi tekanan darah atau detak jantung, perubahan pernapasan seseorang, dan keringat di jari tangan, seperti dikutip dari laman American Psychological Association (APA).

Alat pendeteksi kebohongan saat ini umumnya merupakan serangkaian alat yang membentuk sistem perekaman terkomputerisasi. Tingkat dan kedalaman saat bernapas diukur dengan pneumograf yang dililit ke dada peserta tes. Aktivitas jantung dan pembuluh darah dicek dengan sabuk tekanan darah. Sementara itu, keringat dicek dengan elektroda di ujung jari. Datanya direkam dan tersimpan di komputer.

Peserta tes poligraf lalu menjalani serangkaian pengenalan tentang pembohongan, bagaimana cara alat pendeteksi kebohongan bekerja, menjawab pertanyaan spesifik tentang sebuah kasus, dan pertanyaan umum tentang kebohongan sambil menjalani perekaman indikator tersebut.

Pelatih penguji poligraf Prof. Don Grubin mengatakan, tidak ada pertanyaan mengejutkan yang akan ditanyakan pada peserta tes. Sebab, pertanyaan mengejutkan akan memicu respons dari ketiga indikator.

Ia menambahkan, peserta tes mungkin hanya akan memakai alat deteksi kebohongan selama 10-15 menit. Namun, peserta mungkin bisa tinggal di ruangan tes hingga 2 jam. Selama itu, pewawancara mengajukan sejumlah pertanyaan yang akan dibandingkan dengan jawaban atas pertanyaan inti.

“Kami juga menggunakan alat yang disebut detektor gerakan di kursi, yang akan menangkap sinyal ketika Anda mencoba untuk mengalahkan tes,” kata Prof. Grubin, seperti dikutip dari laman BBC.

Setelah menjawab pertanyaan dan tes, akan ada sesi bagi peserta tes untuk menjelaskan setiap jawabannya.

2. Efek Tidak Langsung
Ahli psikologi forensik dan peneliti penipuan Dr. Sophie van der Zee mengatakan, tes poligraf pada dasarnya mengukur efek tidak langsung dari kebohongan. Efek inilah menurutnya yang ditangkap mesin lie detector dari tiga indikator tes.

Dengan demikian, sambung van der Zee, tes poligraf tidak mengukur penipuan atau kebohongan secara langsung, melainkan tanda-tanda kemungkinan bahwa peserta tes bisa menipu pewawancara. Informasi ini lalu digunakan dengan aspek lainnya tentang peserta tes itu untuk membentuk gambaran lebih jelas tentang apakah mereka bohong atau tidak.

“Tidak ada (indikator) manusia yang setara dengan hidung Pinokio. Tetapi, berbohong dapat meningkatkan stres, dan dengan teknik pendeteksi kebohongan, Anda dapat mengukur perubahan perilaku dan fisiologis yang terjadi saat Anda merasa stres,” kata van der Zee, seperti dikutip dari laman BBC.

3. Bisa dikelabui
Prof. Grubin mengatakan, alat pendeteksi kebohongan dan tes poligraf dapat dikelabui. Namun, mengikuti cara di situs-situs umum saja menurutnya tidak cukup.

Ia mencontohkan, pemeriksa ujian juga bisa melihat apakah peserta tes menggunakan obat tertentu atau memasang paku di sepatu yang menyebabkan peningkatan respons berkeringat dan lain-lain.

“Tidak diragukan lagi bahwa Anda dapat mengalahkan tes poligraf, tetapi Anda benar-benar butuh latihan untuk melakukannya,” kata Prof Grubin.

4. Apakah Lie Detector Akurat?
Peneliti deteksi kebohongan Prof. Aldert Vrij mengatakan, akurasi poligraf sudah dipertanyakan sejak ditemukan pada 1921. Ia mengatakan, namanya sebagai ‘alat pendeteksi kebohongan’ pun pada dasarnya sudah salah.

“Alat ini tidak mengukur kebohongan, yang seharusnya jadi inti fungsinya. Konsepnya, pembohong akan menunjukkan peningkatan respons tubuh saat menjawab pertanyaan kunci, sementara orang yang menjawab jujur tidak. Tapi tidak ada teori yang kuat untuk mendukung konsep ini,” kata Vrij.

Padahal, sambungnya, ada beberapa aspek yang memungkinkan hasil tes poligraf akurat. Akurasi terbaik, menurutnya, bisa lebih tinggi dari kemampuan rata-rata orang untuk memberitahu jika orang lain sudah berbohong.

“Jika pemeriksa terlatih, jika tes dilakukan dengan benar, dan jika ada kontrol kualitas yang tepat, akurasi diperkirakan antara 80%-90%,” katanya.

Baca juga:Begini Cara Mendeteksi Kebohongan Seseorang Saat Berkomunikasi

Van der Zee menambahkan, ikut tes pendeteksi kebohongan saja pada dasarnya bisa meningkatkan rasa stres dan membuat peserta merasa bersalah, meskipun tidak bersalah.

“Orang-orang yang diwawancarai dengan poligraf cenderung merasa stres. Jadi, meskipun poligraf cukup bagus dalam mengidentifikasi kebohongan, poligraf tidak terlalu bagus dalam mengidentifikasi kebenaran,” katanya.

Prof. Grubin memaparkan sejumlah alasan kenapa sebuah tes poligraf bisa jadi tidak akurat. Di antaranya yaitu pertanyaan dirumuskan dengan buruk, pewawancara salah membaca hasil, dan sulitnya mewawancarai korban.

Grubin menjelaskan, jika alat pendeteksi digunakan pada korban, maka ada kemungkinan hasil tes mendapati ia berbohong. Sebab, kondisinya yang emosional saat menceritakan pengalaman traumatis dapat berisiko terdeteksi sebagai indikasi sedang berbohong.

“Menguji korban adalah hal yang sangat berbeda karena sifat pertanyaan detektor kebohongan adalah memicu naiknya respons tubuh,” katanya.

Vrij mengatakan, masalah-masalah saat tes poligraf dan faktor lainnya inilah yang membuat hasil tes dengan alat pendeteksi kebohongan tidak akurat. (detik/hm06)

Related Articles

Latest Articles