Friday, February 21, 2025
home_banner_first
SUMUT

Bulog Sumut Mampu Serap Gabah 3.200 Ton Sejak Awal Februari 2025

journalist-avatar-top
By
Rabu, 19 Februari 2025 17.24
bulog_sumut_mampu_serap_gabah_3200_ton_sejak_awal_februari_2025

Proses penampungan gabah ke dalam karung menggunakan alat. (f:adil/mistar)

news_banner

Medan, MISTAR.ID

Pihak Perusahaan Umum (Perum) Bulog Sumatera Utara (Sumut) mampu menyerap sebanyak 3.200 ton gabah sejak awal Februari 2025.

Pimpinan Wilayah Bulog Sumut, Budi Cahyanto, mengatakan jumlah itu mengalami peningkatan sebesar 2.780 ton sejak 7 Februari lalu. Sebelumnya Bulog hanya mampu menyerap 420 ton gabah kering.

Penyerapan yang melonjak tersebut, kata Budi, karena sedang musim panen dan hasilnya melimpah terutama di wilayah Kabupaten Batubara, Simalungun dan Kabupaten Serdang Bedagai (Sergai).

"Penyerapan beras yang dilakukan Bulog baru berkisaran 502 ton. Itu data terbaru yang dimiliki Bulog, pada 18 Februari 2025 pukul 18.00 WIB," katanya melalui sambungan telepon, pada Rabu (19/2/25).

Menanggapi keinginan petani agar Harga Pokok Penjualan (HPP) gabah Rp12.000 per kilo, Budi mengaku belum mendapat kabar tersebut.

"Kalau petani minta harga tinggi itu wajar. Jika ditanya seluruh petani, pasti mereka ingin harga di atas itu," katanya.

Produsen apapun, sambungnya, ingin hasil produksinya dibeli dengan harga yang tinggi.

"Pada prinsipnya Bulog hanyalah operator, yang menentukan Gabah Kering Panen (GKP) itu pemerintah melalui Badan Pangan Nasional (Bapanas)," ujarnya.

Masih kata Budi, jika kemudian pemerintah ingin menaikkan harga GKP dan beras, pasti Bulog akan melaksanakannya.

"Namun saat ini masih belum ada arahan untuk harga GKP dan beras naik," tuturnya.

Menurut Budi, untuk sekarang pemerintah tidak mungkin menaikkan HPP menjadi Rp12.000 per kilo.

"Kalau segitu nanti harga berasnya berapa. Bisa sekilo Rp25.000, nah kalau seperti itu nanti konsumen yang menjerit," katanya.

Sambungnya, pemerintah melalui kebijakan tersebut ingin menyeimbangkan bagaimana agar petani bisa dihargai hasil produksinya.

"Sehingga mereka punya semangat untuk memproduksi terus. Di satu sisi, jika dinaikkan harganya tentu ada risiko. Beras naik dan itu menjadi makanan yang dimakan seluruh masyarakat Indonesia," ucapnya.

Prinsipnya, lanjut Budi, pemerintah ingin menyeimbangkan bagaimana petani tetap semangat menanam. Tetapi di sisi lain, konsumen tidak merasa keberatan membeli beras. (amita/hm27)

RELATED ARTICLES