Penyandang Disabilitas Menari dari Kursi Roda, Bawa Budaya Simalungun ke Panggung Dunia


Laura Tyas Avionita Sinaga usai menerima penghargaan Puspa Bangsa 2025.(f:dokumen pribadi/mistar)
Simalungun, MISTAR.ID
Laura Tyas Avionita Sinaga, perempuan penyandang disabilitas asal Kecamatan Panei, Kabupaten Simalungun, tidak patah semangat memperkenalkan budaya Simalungun meski dengan kondisi fisik tidak sempurna setelah kecelakaan di tahun 2017 lalu.
Melalui sanggar sederhana yang jarang tersorot, lahir semangat yang menyala kuat. Laura menari bukan sekadar gerak tubuh, tetapi dengan jiwa, cinta, dan dengan keyakinan bahwa budaya Simalungun pantas mendapat tempat di panggung dunia.
Di usianya 28 tahun, langkahnya telah menjangkau lebih jauh dari yang dibayangkan. Dari tanah kelahiran di Kota Pematangsiantar, Laura membangun Sanggar Simalungun Home Dancer (SIHODA) pada 2014, ketika sebagian anak muda seusianya masih sibuk mencari jati diri.
Baginya, identitas sudah jelas, ia adalah Simalungun, dan tugasnya adalah membawa budaya itu terus hidup. Namun Laura mengakui perjalanannya terkadang diperhadapkan dengan rintangan. Meski perjuangannya kurang mendapat dukungan, tetapi semangatnya tak pernah berhenti.
Tak ada sorotan pemerintah yang menyertainya saat Laura menerima Anugerah Kebudayaan Indonesia dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Ia datang sendiri, membayar biaya perjalanan dari kantong pribadi.
"Padahal aku nggak minta dana, cuma kepedulian. Tapi ya, aku sudah pasrah. Selama aku masih bisa berbuat untuk Simalungun dan Pematangsiantar, ya aku lakukan. Mau orang mendukung atau tidak, ya sudahlah," katanya dengan nada gemetar, mengingat momen itu, Selasa (22/4/2025).
Sebagai langkah meraih mimpinya, kini Laura mengajar tari dari atas kursi roda. Melatih 35 remaja dan sekitar 50 anak-anak di sanggar berlantai keramik sederhana di Nagori Sigodang. Suara musik tradisional yang mengalun menjadi nafas gerakan tari, mengalir menuntut semangatnya mendidik generasi selanjutnya.
Meski kerap tak dianggap di tanah sendiri, pengakuan justru datang dari luar. Laura telah membawa tari Simalungun hingga ke Turki pada 2021. Ia bangga, sebab pakaian adat dan miniatur rumah Simalungun kini telah dikenali di Benua Eropa.
"Orang luar negeri sekarang tahu Simalungun itu ada di Sumatera Utara (Sumut), paling enggak aku sudah bisa meninggalkan jejak di luar negeri sana. Mereka kenal dengan pakaian adat Simalungun dan miniatur rumah adat Simalungun sudah ada di sana," katanya dengan bangga.
Puncak pengakuan itu datang lagi tahun ini. Minggu (20/4/2025), Laura menerima Penghargaan Puspa Bangsa 2025 dari Kompas TV, kategori Puspa Pesona, dalam rangka peringatan Hari Kartini. "Waktu pengumuman, aku terkejut. Masih banyak perempuan hebat lainnya. Tapi ternyata, aku dianggap juga," katanya tak bisa menahan haru.
Namun penghargaan, baginya, bukan akhir. Justru itu awal dari tanggung jawab yang lebih besar. Ia percaya penghargaan bukanlah hadiah atas popularitas sesaat, tapi pengakuan atas proses panjang yang telah ia jalani dengan penuh pengorbanan.
"Aku nggak cari sinar dari manapun. Aku ciptakan sinarku sendiri," ucap Laura.
Kini, SIHODA telah berkembang. Ia mempekerjakan tiga pelatih tetap dan terus menggelar pertunjukan secara mandiri. "Kalau diberi bantuan alat pentas, kami senang. Kami tidak mencari keuntungan. Yang penting, dapat tampil dan budaya Simalungun bisa hidup," ujarnya.
Laura telah menjadikan dirinya lebih dari sekadar penari. Ia adalah simbol harapan, suara yang selama ini terpinggirkan namun terus menyala. Di tengah keterbatasan, ia memilih menjadi terang bagi yang lain. Dan dari kursi rodanya, Laura tetap menari serta menyampaikan cerita, menggugah rasa, dan membawa Simalungun menuju masa depan. (indra/hm17)