Trauma Korban Tak Bisa Dibayar, Aktivis Tolak Soeharto Jadi Pahlawan


Momen Presiden Soeharto saat mengundurkan diri. (f: ist/mistar)
Jakarta, MISTAR.ID
Akademisi sekaligus mantan aktivis 1998, Ubedilah Badrun, menilai Presiden ke-2 RI Soeharto tidak layak dianugerahi gelar pahlawan nasional. Ia menegaskan, perjalanan sejarah Soeharto dipenuhi kontroversi, termasuk klaim perannya dalam Serangan Umum 1 Maret 1949.
“Karena Soeharto itu figur kontroversial dan tidak bisa dipahami secara utuh, menurut saya tidak tepat jika dia diberi gelar pahlawan nasional,” ujar Ubedilah dalam diskusi The Political Show di CNN Indonesia TV, kemarin.
Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini juga mengusulkan agar gelar pahlawan nasional tidak otomatis diberikan kepada setiap presiden. Menurutnya, gelar tersebut sebaiknya hanya dianugerahkan kepada Presiden pertama RI, Soekarno, yang memiliki kontribusi tak tergantikan dalam sejarah kemerdekaan.
“Saya tidak bisa membayangkan jika semua presiden nantinya diberi gelar pahlawan. Apalagi jika gelar itu kelak diberikan kepada Presiden ketujuh, Joko Widodo,” katanya.
Ubedilah khawatir jika tren ini terus berlangsung, indikator moral, etika, dan konstitusi dalam pemberian gelar pahlawan akan diabaikan. Ia juga menyinggung dampak psikologis dari kebijakan era Orde Baru terhadap masyarakat, khususnya para korban reformasi.
"Situasi sosial saat itu meninggalkan trauma yang masih terasa sampai sekarang. Trauma itu tidak bisa dibayar, apalagi hanya dengan pemberian gelar pahlawan," tegasnya.
Sementara itu, Direktur Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Sosial, Radik Karsadiguna, menjelaskan bahwa usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto telah diajukan sejak 2010 oleh Pemerintah Kabupaten Karanganyar. Usulan tersebut kala itu telah mendapat persetujuan dari Gubernur Jawa Tengah dan dilanjutkan ke Kementerian Sosial untuk dikaji.
“Dari hasil kajian tim peneliti dan pengkaji, Soeharto dinilai memenuhi syarat berdasarkan jasa-jasa dan kontribusinya, terlepas dari kontroversi yang ada,” ujar Radik dalam diskusi yang sama.
Dukungan juga datang dari Partai Golkar. Politikus Ahmad Doli Kurnia menyatakan bahwa partainya mendukung penuh gelar tersebut. Sebagai sesama mantan aktivis, ia mengajak semua pihak untuk melihat sisi positif dari kiprah Soeharto.
“Kita tidak pernah mengatakan ingin melupakan. Semua manusia pasti pernah berbuat salah. Tapi saya memilih untuk melihat hal-hal positif. Apa yang dilakukan Pak Harto, baik sebagai Presiden maupun pejuang, banyak yang bermanfaat. Bahwa ada kesalahan, kita tidak menampik,” ucapnya. (mtr/hm24)