17.2 C
New York
Sunday, September 29, 2024

Selamat! Pemda Rebut Status Terburuk Dari Polri

Jakarta | MISTAR.ID – Ombudsman Republik Indonesia mencatat, aduan yang paling banyak diterima sepanjang 2019 berkaitan dengan pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah daerah (Pemda).

Anggota Ombudsman RI Ninik Rahayu mengatakan, tahun ini merupakan pertama kalinya pemerintah daerah paling banyak diadukan setelah sebelumnya institusi kepolisian selalu menjadi institusi yang paling banyak diadukan.

“Sejak tahun 2000 Ombudsman didirikan, laporan masyarakat terkait kinerja kepolisian selalu menduduki angka tertinggi. Tapi tahun ini di angka nomor dua,” ujar Ninik di Kantor Ombudsman RI, Selasa (17/12/19).

“Angka tertingginya, sektornya bidang pertanahan kemudian institusi terlapornya pemerintah daerah,” lanjut dia.

Dalam data yang dirilis Ombudsman, 41,03 persen laporan yang diterima Ombudsman pada 2019 berkaitan dengan pemerintahan daerah. Sedangkan, laporan terkait kepolisian berada di tempat kedua dengan jumlah 13,84 persen laporan.

Menurut Ninik, jumlah laporan terkait pemerintah daerah yang melampaui jumlah laporan atas kepolisian disebabkan oleh otonomi daerah yang semakin kuat.

“Karena kan sekarang ini eranya otonomi daerah, semua kewenangan ada di daerah. Makanya banyak dilaporkan banyak hal. Misalnya terkait KTP, Dukcapil, pertanahan juga (kewenangan) daerah,” ujar Ninik.

Ninik menambahkan, isu yang paling banyak diadukan publik adalah isu pertanahan.

Isu lainnya, yakni perizinan dan pendidikan
Walau demikian, Ninik menyebut instansi kepolisian masih menjadi instansi yang paling banyak dilaporkan di sektor hukum dengan perolehan 518 laporan dari total 943 laporan di bidang hukum.

Adapun jumlah laporan yang diterima Ombudsman pada 2019 berjumlah 11.087 yang meningkat dari 10.985 lapora pada 2018 tahun lalu.
Laporan tersebut terdiri dari laporan yang masih dalam proses, laporan yang telah ditutup, tembusan dan konsultasi non laporan yang baru dimulai sejak Tim Verifikasi dan Penerimaan Laporan dibentuk pada 2018.

Pelayanan Publik

Ombudsman sendiri menemukan, masih ada daerah dan kelompok di Indonesia yang sangat sulit mengakses pelayanan publik. Pelayanan publik yang dimaksud, mulai dari fasilitas kesehatan, pendidikan, bahkan hal mendasar seperti layanan KTP elektronik atau e-KTP.

“Jadi kita ingin mengingatkan kembali bahwa masalah daerah tertinggal dan kelompok tertinggal juga, ada banyak kelompok misalnya kelompok adat, kelompok agama yang selama ini belum secara fix mendapatkan jaminan pelayanan publik,” kata Anggota Ombudsman RI, Ahmad Suadi, dalam sebuah diskusi di kawasan Jakarta Selatan, Kamis lalu.

Suadi mengatakan, selama ini, belum ada standar minimal tentang pelayanan publik yang diperuntukkan bagi daerah dan kelompok termarjinalkan.

Padahal, standar minimal itu mestinya ada pada tiap sektor pemerintahan, seperti standar minimal bidang pendidikan yang ditetapkan oleh kementerian pendidikan, standar minimal kesehatan oleh kementerian kesehatan, atau standar ekonomi oleh kementerian perekonomian.

Hal ini penting, supaya kepastian pelayanan publik bagi daerah dan kelompok termarjinalkan tetap terpenuhi. “Misalnya Singapura, itu standar minimalnya semua orang harus punya rumah, sehingga setiap orang harus berpenghasilan bisa nyicil rumah,” ujar Suadi.

“Kalau kita pasti belum sampai ke sana, karena memang selain negara yang sangat besar juga memang prosesnya panjang. Tapi, minimal ada pelayanan publik yang menjamin bahwa semua masyarakat harus bisa akses,” lanjutnya.

Persoalan lain yang ditemukan Ombudsman adalah bahwa di daerah-daerah termarjinalkan terjadi kesenjangan penggunaan dana desa. Sekalipun misalnya besaran dana desa sama, daerah non-marjinal menggunakan dana desa untuk pengembangan wilayah, sementara di daerah marjinal, dana desa digunakan untuk membangun fasilitas dasar.

Selain itu, Ombudsman juga menemukan bahwa tunjangan guru yang mengajar di daerah-daerah tertinggal banyak sekali yang tidak terbayarkan.

Menurut Suadi, setidaknya diberlakukan standar minimal pelayanan publik, supaya angka kesenjangan di daerah dan kelompok marjinal perlahan dapat dikurangi.

“Kami ingin semua kelompok ini mendapat akses dengan spesial treatment karena kelompok marjinal ini adalah kelompok yang tidak sama dengan yang lain,” kata dia.

Enam Pemda di Sumut

Sementara itu, khusus untuk Provinsi Sumut, enam pemerintah daerah (Pemda) meraih predikat zona merah dalam survei kepatuhan terhadap standar pelayanan publik yang dilakukan Ombudsman RI tahun 2019. Ini artinya, pelayanan publik di enam daerah tersebut masih sangat buruk.
Hak itu diungkapkan Kepala Ombudsman RI Perwakilan Sumut Abyadi Siregar, dua pekan lalu.

Enam Pemda yang belum patuh terhadap standar pelayanan publik sesuai UU No 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik itu adalah, Pemkab Simalungun dengan nilai paling rendah yakni 9,25. Disusul Pemkab Nias Selatan dengan nilai 16,82, Pemko Padangsidimpuan dengan nilai 31,81, Pemkab Labuhanbatu dengan nilai 35,39, Pemkab Asahan dengan nilai 42,83 dan terakhir adalah Pemkab Karo dengan nilai 47,20.

Sedang enam Pemkab/Pemko lainnya, sedikit lebih baik karena meraih predikat zona kuning atau tingkat kepatuhan sedang. Keenam yang meraih predikat zona kuning tersebut adalah Pemkab Tapanuli Utara dengan nilai 61,00, Pemkab Tibasa dengan nilai 63,88, Pemko Tanjungbalai dengan nilai 68,52, Pemko Binjai (70,53), Pemko Tebingtinggi (79,77), Pemko Pematangsiantar (76,42).

Dari survei kepatuhan terhadap standar pelayanan publik yang dilakukan Ombudsman RI di 13 Pemkab/Pemko di Sumut tersebut, hanya satu yang meraih predikat zona hijau atau tingkat kepatuhan tinggi atau baik, yakni Pemkab Pakpak Bharat dengan nilai 86,21.

Omnibus Law

Menyikapi masalah ini, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) minta kepala daerah untuk menyederhanakan regulasi dengan membuat aturan sapu jagat atau omnibus law. Targetnya, aturan sapu jagad ini bisa menyederhanakan aturan-aturan lama.

Penyederhanaan penting untuk mendukung upaya pemerintah pusat meningkatkan investasi dan fleksibilitas.”Peraturan Daerah (Perda) yang menghambat, membebani, ajukan saja (omnibus law) bareng-bareng di pangkas,” ujar Jokowi di Istana Negara, Senin (16/12).

Sumber: berbagai sumber
Editor: Luhut Simanjuntak

Related Articles

Latest Articles