11.6 C
New York
Sunday, April 28, 2024

Memahami Lock Down Menurut UU Kekarantinaan Kesehatan

Jakarta, MISTAR.ID

Anggota Komisi IX DPR RI Dewi Aryani menegaskan peliburan sekolah dan tempat kerja sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, menyusul penetapan darurat bencana nasional terkait dengan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

Doktor Administrasi Kebijakan Publik dan Bisnis Universitas Indonesia ini mengemukakan hal itu , Senin (16/3/20), setelah Presiden RI Joko Widodo pada hari Minggu 15 Maret, menyatakan Indonesia sebagai darurat bencana nasional.

Sesuai dengan UU No. 6/2018, Presiden meminta seluruh komponen bangsa untuk melakukan pembatasan kegiatan. Hal ini, menurut Dewi Aryani, selaras dengan penjabaran istilah “pembatasan sosial” atau social distancing.

“Sudah semestinya menggunakan istilah pembatasan sosial berskala besar dengan merujuk pada jumlah wilayah di Indonesia yang sudah banyak terpapar Covid-19, bahkan Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) telah menyatakan Covid-19 sebagai pandemi,” kata politikus PDI Perjuangan itu.

Dewi Aryani menyampaikan apresiasi terhadap langkah pemerintah menangani dan mencegah virus mematikan itu. Hal itu sekaligus merupakan bukti bahwa Indonesia negara berdaulat dan tetap mempertimbangkan situasi nasional maupun internasional.

Ia mengemukakan pembatasan sosial berskala besar merupakan bagian dari respons kedaruratan kesehatan masyarakat, bertujuan mencegah meluasnya penyebaran Covid-19 di Tanah Air.
Oleh karena itu, Dewi Aryani menilai peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan dan/atau pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum langkah tepat untuk meminimalkan jumlah kasus Covid-19 di Tanah Air.

Tak Mengenal Istilah Lock Down

Indonesia tidak mengenal istilah Lock Down, namun karantina. Jadi, kalau Belanda menyusul Italia melakukan lock down, itu artinya dikarantina, diisolir, dijauhkan dari pergerakan lalu lintas sosial yang umum.

Masalah karantina sendiri, menurut UU No. 6 tahun 2018, ada beberapa macam, dan setiap macam ada aturannya.

Syarat utamanya adalah penentuan status darurat kesehatan nasional oleh Pemerintah Pusat, dalam hal ini adalah Presiden, yang diikuti dengan pembentukan satuan tugas untuk melakukan tindakan yang diperlukan untuk mengatasi sebuah wabah penyakit. Ini ada di Bab IV Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Pasal 10 sampai 14.

Ada beberapa macam karantina menurut Undang-Undang ini. Ada Karantina Rumah, Karantina Wilayah dan Karantina Rumah Sakit. Lalu ada juga langkah yang disebut Pembatasan Sosial. Penjelasan ini ada di pasal 49

Pasal 50, 51 dan 52 menjelaskan tentang karantina rumah, yang dilakukan hanya kalau kedaruratannya terjadi di satu rumah. Karantina ini meliputi orang, rumah dan alat angkut yang dipakai. Orang yang dikarantina tidak boleh keluar, tapi kebutuhan mereka dijamin oleh negara.

Pasal 53, 54 dan 55 menjelaskan tentang karantina wilayah. Inilah yang dipakai negara luar sebagai lock down. Syarat pelaksanaan lock down harus ada penyebaran penyakit di antara masyarakat dan harus dilakukan penutupan wilayah untuk menangani wabah ini. Wilayah yang dikunci dikasih tanda karantina, dijaga oleh aparat, anggota masyarakat tidak boleh keluar masuk wilayah yang dibatasi, dan kebutuhan dasar mereka wajib dipenuhi oleh pemerintah.

Pada Pasal 56, 57 dan 58 adalah Karantina Rumah Sakit, kalau seandainya memang wabah bisa dibatasi hanya di dalam satu atau beberapa rumah sakit saja. RS akan dikasih garis batas dan dijaga, dan mereka yang dikarantina akan dijamin kebutuhan dasarnya.

Saat ini yang banyak dilakukan oleh pemerintah daerah adalah pembatasan sosial (Social Distancing), skala besar. Hal itu ada di pasal 59.

Pembatasan sosial berskala besar merupakan bagian dari upaya memutus wabah, dengan mencegah interaksi sosial skala besar dari orang-orang di suatu wilayah. Paling sedikit yang dilakukan adalah sekolah dan kantor diliburkan, acara keagamaan dibatasi atau kegiatan yang skalanya besar dibatasi. Ini yang minimal. Yang lebih tinggi lagi juga bisa, misalnya penutupan toko dan mall, penutupan tempat hiburan yang banyak dikunjungi orang, atau tindakan apapun yang tujuannya mencegah orang banyak berkumpul.

Tapi orang-orang masih bisa berpergian, ke kantor, ke pasar, ke mall, ke dokter, ke rumah sakit, bahkan acara tertentu. Tinggal tergantung seberapa ketat aturan pembatasan sosialnya.

Menurut Dewi Aryani, jika diberlakukan lockdown justru berpotensi pelanggaran terhadap undang-undang karena tidak ada istilah tersebut dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di tanah air, termasuk di dalam UU Kekarantinaan Kesehatan.

Dewi Aryani juga mengingatkan Kementerian Kesehatan segera menerbitkan Peraturan Menkes terkait dengan UU tersebut agar segala hal teknis mengenai implementasinya segera dapat menjadi dasar hukum atau pegangan seluruh kementerian dan lembaga terkait, termasuk pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota se-Indonesia.

”Berdasar ketentuan, paling lama permen dan turunannya harus ada paling lambat tiga tahun setelah UU No. 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan diundangkan,” kata anggota Komisi IX (Bidang Kesehatan dan Ketenagakerjaan) DPR RI itu.

Penutupan akses keluar masuk suatu wilayah (lockdown) tidak cocok diterapkan di Indonesia karena bisa memicu konflik sosial.

Sementara pengamat intelijen, Stanislaus Riyanta menilai usulan untuk dilakukan lockdown dalam arti penguncian suatu wilayah, dengan penjagaan ketat supaya tidak ada yang keluar masuk wilayah tersebut terlalu berlebihan untuk penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia.

Jika lock down dilakukan maka menurutnya yang terjadi adalah kekacauan yang bisa menjurus kepada konflik sosial.

Lock down yang dilakukan di negara-negara maju seperti yang terjadi di Italia dan Arab Saudi, tuturnya, tidak bisa serta merta ditiru untuk Indonesia. Pasalnya, masyarakat di negara maju dengan budaya disiplin yang tinggi dan kesejahteraan yang baik tidak akan terganggu kehidupan dasarnya jika dilakukan lock down.

“Situasi di Indonesia berbeda dengan negara maju. Jumlah pekerja informal masih dominan dibandingkan pekerja formal. Badan Pusat Statistik mencatat, sektor informal mendominasi pekerjaan di Indonesia. Pada Februari 2019, tercatat penduduk yang berusia 15 tahun ke atas yang bekerja di sektor informal sebanyak 74 juta jiwa. Sementara penduduk yang bekerja di sektor formal hanya 55,3 juta jiwa. Jika pemerintah melakukan lockdown maka dapat dibayangkan yang terjadi adalah sebagian besar orang kehilangan pendapatan dan tidak bisa mengakses kebutuhan dasarnya,” bebernya.

Dia melihat situasi di Indonesia saat ini belum memiliki budaya disiplin yang kuat dan tingkat kesejahteraannya juga belum baik. Hal tersebut akan menjadi masalah jika dilakukan lockdown.

“Masyarakat yang bekerja secara informal akan kehilangan pendapatan dan kesempatan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Jika hal itu terjadi maka potensi terjadinya kriminalitas cukup tinggi,” ucapnya.

Karena itu, jika ingin membatasi pergerakan orang secara ekstrem maka yang harus dilakukan adalah pemerintah menyiapkan kebutuhan dasar utama kepada masyarakat yang bekerja di sektor informal.

Tujuannya adalah supaya mereka tidak perlu beraktivitas untuk mencari pendapatan. Jika aktivitas masyarakat dikunci tanpa adanya suplai kebutuhan dasar maka bisa memicu suatu gerakan perlawanan yang dampaknya bisa sistemik.

Selain itu, jika lockdown dilakukan di Ibu Kota Negara DKI Jakarta, dampaknya juga akan sangat sistemik. Putaran uang Indonesia yang sebagian besar berada di Jakarta akan terganggu, dan tentu saja imbasnya terjadi kepada perekonomian nasional. Lockdown justru akan memperburuk situasi saat ini.(berbagai sumber/HM02).

Editor : Edrin

Related Articles

Latest Articles