Satgas Pemberantasan Preman, Akademisi: Mereka yang Tertangkap Hanyalah Rakyat Kecil


Ilustrasi. (f:ist/mistar)
Medan, MISTAR.ID
Akademisi Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Shohibul Anshor Siregar, mengkritisi pembentukan satuan tugas (satgas) atau tim pemburu preman (TPP) yang dilakukan oleh Polri.
Menurut pria yang juga pengamat sosial ini, pembentukan satgas pemberantasan preman hanyalah menangkap rakyat kecil. Mereka bekerja sebagai juru parkir liar atau pengamen.
"Kita harus berhati-hati dalam memberi label 'preman' karena bisa jadi itu satu-satunya cara mereka bertahan hidup. Jadi, TPP hanya mengobati gejala, bukan akar masalah. TPP hanya memberikan respons terhadap gejala-gejala kriminalitas yang tampak, tanpa menyelesaikan akar masalah premanisme yang berkaitan dengan kemiskinan, ketimpangan sosial, dan ketidakadilan struktural," ucap Shohibul saat diwawancarai Mistar melalui seluler, Kamis (15/5/2025).
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UMSU ini mengatakan pembentukan TPP ini memang memberikan efek kejut dan rasa aman sesaat. Namun, Shohibul menganggap TPP bukan cara yang tepat untuk mengatasi persoalan premanisme secara menyeluruh.
"Premanisme yang ditindak TPP yang kasat mata, yang mengganggu ketertiban umum. Namun, bagaimana dengan premanisme dalam bentuk kekuasaan korup, perizinan yang diperdagangkan, atau penguasaan lahan secara ilegal oleh korporasi besar? Itu semua bentuk lain dari premanisme yang justru tak tersentuh," ujarnya.

Akademisi UMSU sekaligus pengamat sosial, Shohibul Anshor Siregar. (f:ist/mistar)
Shohibul pun menyayangkan apabila TPP hanya menyentuh kejahatan kerah biru, seperti pemalakan, intimidasi jalanan, dan pungli, tetapi tidak menindak kejahatan kerah putih yang dilakukan oleh aktor-aktor kuat dalam sistem sosial dan ekonomi.
Kebijakan TPP, sambung dia, seharusnya diiringi dengan langkah-langkah korektif jangka panjang melalui program sosial dan ekonomi yang komprehensif. Shohibul mendorong negara berperan secara serius dalam menciptakan keadilan sosial, bukan hanya ketertiban semu.
"Kalau negara hanya mengandalkan penindakan, kita akan terjebak dalam siklus kekerasan dan pengulangan masalah. Dibutuhkan kebijakan struktural untuk mengatasi akar premanisme, bukan hanya operasi jalanan," katanya.
Ia pun mengingatkan, rasa aman yang sejati bukan hanya dibangun dari tidak adanya preman jalanan, melainkan juga dari keadilan sosial yang dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. (deddy/hm25)