17.9 C
New York
Tuesday, August 20, 2024

Reshuffle Kabinet di Akhir Jabatan, Pengamat: Negara Bukan Milik Presiden

Medan, MISTAR.ID

Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan reshuffle kabinet pada Senin, 19 Agustus kemarin. Perombakan di Kabinet Indonesia Maju pada akhir masa jabatan presiden ini menjadi tanda tanya publik.

Pengamat politik dan kebijakan publik, Boy Anugerah, berpendapat bahwa reshuffle kabinet ketiga kalinya pasca Prabowo terpilih sebagai presiden menjadi preseden buruk bagi Jokowi.

“Benar bahwa reshuffle adalah prerogatif presiden. Akan tetapi, pada prerogatif yang merupakan hak politik istimewa presiden tersebut juga melekat kewajiban. Hak prerogatif tidak bisa digunakan secara serampangan tanpa memiliki dasar alasan yang jelas,” ujarnya saat dihubungi Mistar, Selasa (20/8/24).

Baca juga: Istana: Tak Ada Reshuffle Kabinet Jelang HUT Kemerdekaan RI

Boy menilai, pada masa kepemimpinan Jokowi yang tinggal efektif 2 bulan lagi, tidak ada urgensi pergantian di kabinet dalam rentang waktu yang pendek tersebut.

Menurut Boy, hal ini harus dijelaskan ke publik. Apakah ada kegagalan kinerja pada pejabat sebelumnya? Apa dasar pengangkatan pejabat yang baru, dan sebagainya? Selama ini pergantian pejabat politik selalu berlindung pada klaim prerogatif presiden.

“Padahal ada celah dan kekurangan dari klaim tersebut. Bisa saja prerogatif dijalankan tanpa diiringi dengan kecakapan dan kebijaksanaan seorang pemimpin, sehingga hak prerogatif dijalankan tanpa memberikan kemaslahatan bagi publik,” sebutnya.

Boy melanjutkan, sangat terasa sekali bahwa era Jokowi ini penuh dengan bagi-bagi kekuasaan tanpa meritokrasi. Nihil pendidikan politik.

“Negara dicacah untuk kepentingan para pendukung. Kita lihat fenomena relawan jadi komisaris, padahal background tidak sesuai tupoksi. Ada juga relawan yang jadi menteri. Ormas agama diberikan konsesi tambang,” lanjutnya.

Baca juga:Bertemu Jokowi, 2 Ketua Partai Bantah Bahas Reshuffle Kabinet

Apa yang dilakukan Jokowi pada hari ini, bagi Boy, akan menjadi rekam jejak yang sangat buruk baginya di masa yang akan datang, dari kacamata demokrasi dan demokratisasi.

“Kemarin peringatan hari konstitusi. Saya berpandangan bahwa hak prerogatif presiden dalam mengangkat pembantunya ini perlu menjadi poin revisi jika kelak ada amandemen konstitusi,” jelasnya.

Kemudian Boy menegaskan, prerogatif ini perlu diatur, apa yang menjadi dasarnya, pertimbangannya, kemaslahatan buat publik, sekaligus sanksinya jika digunakan tanpa diiringi tanggung jawab politik kepala negara.

“Indonesia bukan negara Machiavellian yang ditentukan oleh selera satu penguasa. Oleh karenanya, jika hak prerogatif itu digunakan secara melenceng, perlu filter dari konstitusi,” pungkasnya. (maulana/hm17)

Related Articles

Latest Articles