21.7 C
New York
Saturday, July 27, 2024

Peristiwa Kudatuli: 28 Tahun Berlalu, No Justice

Medan, MISTAR.ID

Indonesia memperingati peristiwa Kudatuli setiap 27 Juli. Peristiwa yang terjadi pada  27 Juli 1996 ini dikenal dengan peristiwa Sabtu kelabu dalam sejarah politik Indonesia.

Pengamat politik, Boy Anugerah menjelaskan, Kudatuli ini terjadi ketika Indonesia berada di bawah rezim otoritarianisme Soeharto.

“Penggunaan kekerasan dan intelijen hitam oleh penguasa dengan memanfaatkan militer ditujukan untuk memberangus keberadaan oposisi dan membenamkan kritik-kritik yang ditujukan kepada penguasa. Kudatuli ini adalah salah satu contohnya,” terangnya kepada mistar.id, Sabtu (27/7/24).

Baca juga:Kecewa Pelaku Rudapaksa di Tanjung Morawa Belum Ditangkap, Keluarga Korban: No Viral, No Justice!

Boy menambahkan, naiknya Megawati sebagai Ketua Umum (Ketum) Partai Demokrasi Indonesia (PDI) tidak selaras dengan selera penguasa.

Popularitas Megawati sebagai trah Soekarno, ide-ide reformasi yang ia bawa, serta barisan akar rumput yang membersamainya di PDI menimbulkan kecemasan bagi Soeharto.

“Munculnya Megawati sebagai Ketum PDI dipandang tidak sesuai dengan strategi fusi partai politik pada waktu itu yang bertujuan untuk memudahkan kontrol penguasa. Ini mirip strategi rumah kaca pemerintah kolonial,” sebutnya.

Baca juga:Fenomena “No Viral No Justice”, Kapolri Wanti-wanti ke Anak Buah

Alumnus Magister Ilmu Pemerintahan dan Kebijakan Publik SGPP Indonesia ini juga menjelaskan, pada masa itu nasionalis berhimpun di PDI, religius di PPP, sedangkan Golkar sebagai mesin politik penguasa.

“Yang menjadi pimpinan di PDI dan PPP harus orang-orang yang pro-Soeharto. Jika tidak, maka akan direpresi. Kudatuli ini bukti nyata represi terhadap oposisi itu,” jelasnya.

Kemudian Boy mencatat, Kudatuli ini juga jadi cacat sejarah bahwa militer dan intelijen pernah disalahgunakan di masa lalu.

Militer dan intelijen jadi alat penguasa, bukan alat negara.

Negara dan penguasa adalah dua entitas berbeda. Negara selalu tunduk pada konstitusi karena ia subjek abstrak.

Baca juga:Kasus Penganiayaan di Talawi Diselesaikan Lewat Restorative Justice

“Sedangkan penguasa punya syahwat politik dan bisa menyimpang. Militer pada masa itu jadi alat politik. Intelijen punya license to kill,” katanya.

Untuk diketahui, peristiwa Kudatuli menelan sedikitnya 5 korban tewas, 149 luka-luka, dan 23 orang hilang. Namun demikian, kasus ini tidak dimasukkan dalam pelanggaran HAM berat.

“Menurut saya, ini masuk pelanggaran HAM berat. Ada peran negara di situ dalam penghilangan nyawa orang,” tegas Boy.

Menurut Boy, penyelesaian kasus ini sumir dan penuh kompromi politik tingkat tinggi.

Ini yang patut disesalkan. Kasus ini diselesaikan di era Megawati menjadi presiden, sosok yang juga terdampak dalam kasus Kudatuli.

“Logikanya, beliau bisa membereskan kasus ini sampai ke akar-akarnya. Kompromi politik ini yang membuat mereka yang wafat dan hilang tidak mendapatkan keadilan sama sekali. Mereka jadi tumbal politik pada masa itu,” pungkasnya. (maulana/hm17)

Related Articles

Latest Articles