Ida Rama menjelaskan meskipun ada mata kuliah tentang pendidikan anak berkebutuhan khusus di kampus, pengajarannya lebih cenderung teori. Secara praktik, banyak sekali tantangannya. Untuk memperkenalkan diri, Ida pun belajar bahasa isyarat secara otodidak.
“Kami harus merasa dan memahami kekurangan serta kebutuhan setiap anak. Bagaimana menghadapi perubahan mood mereka, itu tantangan tersendiri,” jelas Alumnus Unimed itu.
Menghadapi anak-anak tunarungu dan down syndrome memerlukan ketelatenan dan kesabaran. Guru tidak boleh egois. Sebisa mungkin, segala persoalan yang dialami guru di rumah tidak boleh dibawa sampai ke sekolah.
Baca juga :Â Cerita Guru-guru SLB Soal Transformasi Digital, Program Merdeka Mengajar
“Ketika mereka memiliki masalah di luar sekolah, kita harus membantu menyelesaikannya agar mereka bisa fokus belajar di sekolah. Kami harus memastikan bahwa mereka merasa nyaman dan dapat mengatasi ujian kehidupan,” sebut Ida Rama.
Dalam tiga tahun pengalamannya sebagai guru honorer, Ida Rama mencatat perkembangan, terutama dalam mengatasi hambatan bahasa isyarat anak-anak tuna rungu dan down syndrome.
“Awalnya sulit karena saya otodidak belajar bahasa isyarat. Namun, seiring waktu, saya berhasil berkomunikasi lebih baik dengan mereka,” pungkasnya. (hutajulu/hm18)