Pemerintahan di Utara Berebut Drone yang Mampu Bertahan, Berisiko Kotori Arktik
Unit Angkatan Darat Norwegia berlatih menggunakan drone selama latihan militer Nordic Response 2024 di Finnmark, Norwegia, 6 Maret 2024.
Kopenhagen, MISTAR.ID
Pada tahun 2023, Mads Petersen, pemilik startup Arctic Unmanned yang berbasis di Greenland, duduk di dalam mobil agar tetap hangat saat dia menguji drone kecil pada suhu minus 43 derajat celcius (minus 45 derajat fahrenheit).
Hawa dingin segera menguras tenaga drone. “Baterainya hanya bertahan tiga menit,” ujarnya. Demikian dilansir dari media reuters, pada Kamis (30/1/25).
Pemerintahan negara-negara di wilayah paling utara, yakni kutub utara atau arktik, berupaya mengatasi tantangan-tantangan tersebut karena kawasan ini semakin menjadi sorotan geopolitik.
Rusia dan Tiongkok telah meningkatkan aktivitas militer di Arktik, sementara negara-negara NATO di kawasan tersebut melaporkan lebih banyak tindakan sabotase terhadap jalur energi dan komunikasi.
Presiden Donald Trump baru-baru ini menghidupkan kembali klaim Amerika Serikat (AS) atas Greenland.
Sementara itu, konflik di Ukraina telah menunjukkan bahwa pesawat tak berawak dapat memberikan intelijen penting dan kemampuan menyerang di medan perang.
AS yang memandang Arktik sebagai wilayah penting untuk pertahanan teritorial dan sistem peringatan dini terhadap serangan nuklir, mengatakan dalam dokumen strategi pada bulan Juli bahwa mereka akan fokus pada teknologi tak berawak untuk melawan kolaborasi Tiongkok-Rusia di sana.
Pesawat pembom Rusia dan Tiongkok terbang bersama di lepas pantai Alaska pada bulan Juli dan kapal penjaga pantai mereka berlayar bersama melalui Selat Bering pada bulan Oktober.
Namun drone, baik multicopter atau model sayap tetap, rentan. Hanya model terbesar dan jarak jauh yang memiliki daya yang cukup untuk sistem anti-icing seperti yang digunakan pada pesawat terbang. Dingin, kabut, hujan, atau salju dapat menyebabkan kegagalan fungsi atau kecelakaan.
Ketika negara-negara meningkatkan belanja militernya, survei Reuters terhadap 14 perusahaan dan enam kementerian pertahanan dan angkatan bersenjata di Eropa utara dan Amerika menunjukkan bahwa industri ini bekerja dengan cepat untuk membeli atau mengembangkan drone yang tahan terhadap kondisi cuaca dingin, dan semakin mendesaknya negara-negara NATO untuk memperolehnya.
“Kita semua harus mengejar ketertinggalan dari Ukraina dan Rusia,” kata Mayor Jenderal Lars Lervik, panglima Angkatan Darat Norwegia.
Tidak ada data global yang tersedia untuk umum mengenai armada drone militer suatu negara. Namun Lervik mengatakan perang di Ukraina telah memberi Moskow dan Kyiv pengalaman berharga mengenai teknologi drone yang tidak dimiliki negara-negara NATO.
Sementara, James Patton Rogers, pakar drone di Cornell University dan penasihat kebijakan PBB dan NATO mengatakan bahwa Rusia, yang militernya mulai membangun armada drone di Kutub Utara pada tahun 2014, memimpin perlombaan untuk mengendalikan rute Laut Utara, jalur antara Eropa dan Asia di sepanjang pantai utara Rusia.
Zala Aero dari Rusia, bagian dari Grup Kalashnikov, telah menawarkan drone yang dirancang untuk kondisi ekstrem di Arktik dan Rusia juga mengatakan drone tempur jarak jauh S-70 Okhotnik dapat beroperasi pada suhu minus 12 Celcius dan akan dikerahkan di sana.
“Kami bergerak menuju titik di mana Rusia tidak hanya akan memiliki sistem drone pengintai tak bersenjata di sepanjang Rute Laut Utara, namun juga sistem bersenjata yang terus-menerus berpatroli di wilayah tersebut,” kata Rogers.
Ia mengatakan NATO lambat dalam merancang respons yang koheren. NATO mengatakan pihaknya telah memperkuat kehadirannya di Arktik dan membentuk Komando baru untuk menjaga jalur Atlantik tetap bebas dan aman; Negara-negara NATO berinvestasi dalam kemampuan udara dan maritim baru.
Pemerintahan Trump tidak menanggapi permintaan komentar mengenai hal tersebut namun mengatakan melalui email bahwa AS akan terus memprioritaskan keamanan di Belahan Barat dan kehadirannya di Arktik.
AS telah banyak berinvestasi pada drone jarak jauh untuk memantau dan mengumpulkan informasi real-time dari Arktik – wilayah luas yang jangkauan radar dan satelitnya terbatas.
Pesawat ini dapat beroperasi pada ketinggian yang lebih rendah untuk pengawasan, namun jika mereka melakukannya, mereka menghadapi risiko lapisan es yang sama seperti model yang lebih kecil.
Risiko terhadap drone paling tinggi terjadi pada suhu di kedua sisi titik beku antara 8 derajat hingga minus 10 derajat celsius, menurut pilot dan pakar drone. Lapisan es tipis terbentuk pada baling-baling dan sayap serta merusak aerodinamis.
Puing Drone Berisiko Kotori Arktik
Model tahan cuaca bukan satu-satunya solusi. Departemen Pertahanan AS mengatakan akan membeli puluhan ribu drone murah dengan laporan kamikaze sebagai bagian dari program yang dimulai pada tahun 2023 yang akan berfokus pada Indo-Pasifik.
Mereka tidak menanggapi pertanyaan apakah mereka berisiko mengotori Arktik dengan puing-puing drone.
“Kadang-kadang sebenarnya lebih murah untuk membangun sesuatu yang super murah, di mana kita hanya bisa memiliki ribuan unit, dan kita tidak peduli jika kita kehilangan sebagiannya,” kata Gregory Falco selaku Kepala Aerospace Adversary Lab, sebuah pusat penelitian AS yang merancang kemampuan pertahanan dan ofensif untuk Departemen Pertahanan.
Pemerintah Denmark, Greenland, Islandia, Rusia dan Kanada tidak menanggapi permintaan komentar mengenai dampak lingkungan. Kementerian Lingkungan Hidup Finlandia menolak berkomentar.
Kementerian Perubahan Iklim Norwegia mengatakan hilangnya drone di Kutub Utara akan berdampak buruk bagi wilayah yang “sangat rentan”. Mulai bulan ini, pemerintah telah melarang sebagian besar penggunaan drone di sebagian besar kepulauan Svalbard.
Kementerian Pertahanan Swedia mengatakan perang itu sendiri merusak lingkungan kemampuan pertahanan yang kredibel yang mencegah konflik melalui pencegahan "pada akhirnya lebih baik bagi lingkungan daripada menghadapi kehancuran akibat perang. (*/hm27)