15.2 C
New York
Wednesday, May 15, 2024

Mendapat Intimidasi dari Militer Israel, Warga Palestina di Tepi Barat Semakin Terusir

Sejak perang tidak terkendali mulai 7 Oktober 2023, warga Palestina yang tinggal di Khirbet Zanuta tepatnya di wilayah Perbukitan Hebron Selatan di Area C wilayah pendudukan Tepi Barat semakin terusir akibat ancaman pemukim dan keberadaan militer Israel.

Khirbet Zanuta merupakan desa Badui terbaru yang terhapus dari lanskap Tepi Barat. Berdasarakan angka terbaru yang disajikan oleh Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA), jumlah warga Palestina di sana setidaknya 864 orang , termasuk 333 anak-anak. Namun mereka terpaksa mengungsi akibat serangan pemukim Israel pada periode ini.

Saat ini ada 11 komunitas sepenuhnya diungsikan dan 11 komunitas lainnya setidaknya sebagian dipindahkan secara paksa. Dari 186 insiden kekerasan terhadap pemukim telah mengakibatkan korban jiwa atau kerusakan properti.

Baca juga:Soal Perang Ukraina, Kremlin Sebut Rusia Akan Dapat Sanksi Lebih Berat, tapi Rugikan Barat

Warga diperhadapkaan atau didukung oleh pasukan Israel. Pemukim pun telah menggunakan senjata di hampir sepertiga dari insiden tersebut.

Tingkat perpindahan ini belum baru ini terjadi sejak ribuan warga Badui diusir oleh Israel pada tahun 1972 dari wilayah semenanjung Sinai.

Konsentrasi pengungsian paksa yang dimulai di daerah terpencil di timur Ramallah, namun saat ini telah menyebar ke Perbukitan Hebron Selatan, yang berbatasan antara Tepi Barat bagian selatan dan wilayah Israel.

Berbeda dengan masyarakat yang sudah mengungsi baru-baru ini dari wilayah timur Ramallah. Masyarakat di Perbukitan Hebron Selatan seringkali tinggal di tanah milik pribadi dan mereka memiliki jaringan lokal yang lebih erat, dengan ikatan dengan organisasi internasional dan kelompok solidaritas, sehingga lebih sulit bagi mereka untuk diusir dari propertinya.

Baca juga:PBB: Serangan Israel di Kamp Pengungsi Bisa Jadi Kejahatan Perang

Tapi serangan terhadap pemukim tetap meningkat dalam upaya menghapus wilayah pedesaan namun penting secara strategis ini. Sejak perang dimulai, tentara reguler Israel yang banyak berpatroli di wilayah tersebut, telah pergi ke Gaza, digantikan oleh pemukim dari pemukiman terdekat dan pemukiman liar yang berseragam.

Mantan komandan militer Israel dan salah satu pendiri perkumpulan veteran Breaking the Silence Yehuda Shaul, menjelaskan, para pemukim ini berasal dari unit pertahanan regional lokal, biasanya tim respons pertama pemukiman.

Disampaikan, warga Israel ada yang menjadi pemukim setengah tahun lalu. Mereka datang lalu memukuli warga Palestina, dan sekarang mereka berseragam militer dengan senjata, dan mereka datang untuk memukuli.

Baca juga:Kapal Perang Dikerahkan 3 Negara ini ke Timur Tengah

“Dan Anda tidak tahu: apakah ini bagian dari tugas militer mereka? Atau apakah mereka hanya melakukannya di waktu luang?” ujarnya.

Para aktivis dan komunitas yang terkena dampak dari masalah itu juga mengatakan, bahwa serangan-serangan yang ada telah berhasil mewujudkan tujuan lama para pemukim.
“Selama bertahun-tahun, para pemukim telah menekan negara untuk mengusir warga Palestina dari Area C,” kata juru bicara desa Susiya dan peneliti lapangan South Hebron Hills untuk organisasi hak asasi manusia Israel B’Tselem Nasser Nawajeh.

Nawajeh menjelaskan, sekarang mereka hanya melakukannya sendiri. “Bahkan jika negara tidak mengirim mereka untuk melakukan hal tersebut, tentara dan pihak berwenang akan menutup mata dan bertindak seolah-olah hal itu tidak akan terjadi,” ujarnya.

Di desa Jinba, para pemukim dengan paksa menurunkan pengeras suara masjid mereka. Di desa Um al-Khair, seorang pemukim berseragam melewati desa sambil mengarahkan senjatanya kepada siapa saja yang berani berada di jalan atau di balkon rumah, dan meminta mereka masuk ke dalam rumah.

Baca juga:Rusia Memuji Korut Karena Mendukung Perang di Ukraina

Pada 27 Oktober, kata Nawajeh, dua pemukim berseragam militer menghentikan sebuah mobil yang penuh dengan warga Palestina di Um al-Khair. Orang itu memaksa mereka keluar dari mobil, dan menembak mesin mobil serta jendelanya.

Tiga hari kemudian, para pemukim kembali ke desa, mengumpulkan semua pria di bawah todongan senjata, memaksa mereka berdiri di sepanjang tembok dan memeriksa telepon genggam. Ketika mereka melihat foto seorang polisi Palestina berseragam dan bersenjata, mereka menyerangnya.

Pada 28 Oktober, desa Badui Susiya, kurang dari satu kilometer dari Jalur Hijau, diserang. Para pemukim mengatakan kepada penduduk desa bahwa mereka harus pergi dalam waktu 24 jam, atau mereka akan dibunuh.

“Mereka pada dasarnya datang, menyerang, menyerang, dan ketika Anda mencoba berbicara dengan mereka, mereka menyuruh Anda tutup mulut. Lalu, sebelum mereka pergi, mereka memberi ultimatum kepada warga,” kata Nawajeh.

Walau serangan dan ancaman masih ada, namun penduduk desa Susiya mengatakan mereka akan tetap tinggal di tanahnya. Desa tersebut sudah berkembang bertahun-tahun dan menjadi simbol “sumud” atau ketabahan. Tetapi mereka tetap menghadapi serangan fisik terhadap diri sendiri, sumber air, rumah, ternak dan pertanian dari para pemukim. Namun mereka menolak untuk pindah.

Baca juga:Sebut Perang di Gaza Timbulkan Pembunuhan Massal, Israel Minta Sekretaris PBB Mundur

“Satu-satunya cara untuk menghentikan pemindahan paksa di Tepi Barat adalah intervensi yang jelas, kuat dan langsung dari komunitas internasional,” ujar lembaga masyarakat tersebut menyimpulkan.

Sejauh ini, sepertinya belum ada intervensi terlihat yang akan dilakukan. Meski demikian, ultimatum 24 jam telah berlalu, dan Susiya masih bertahan. Beberapa aktivis Israel tetap tinggal bersama komunitas tersebut untuk memberikan perlindungan dan dukungan, meskipun mereka tidak mungkin mampu melawan secara fisik para pemukim yang bersenjata lengkap.(republika/hm17)

Related Articles

Latest Articles