Masyarakat Internasional Sambut Positif Kesepakatan Gencatan Senjata Israel-Hamas
Seorang warga Palestina berada di antara tenda-tenda yang hancur setelah dibom Israel di kota Deir al-Balah, Jalur Gaza tengah, pada 14 Januari 2025. (f:antara/mistar)
Doha/Yerusalem, MISTAR.ID
Setelah melalui upaya mediasi intensif yang melibatkan Qatar, Mesir, dan Amerika Serikat (AS), Israel dan Hamas pada Rabu (15/1/25) akhirnya mencapai kesepakatan gencatan senjata dan pembebasan sandera di Gaza.
Pengumuman ini disampaikan oleh Perdana Menteri Qatar, Sheikh Mohammed bin Abdulrahman bin Jassim Al Thani.
Kesepakatan ini mencakup penghentian pertempuran di Gaza selama 42 hari, dimulai pada Minggu (19/1/25). Sebagai bagian dari perjanjian, militer Israel akan menarik pasukannya dari area padat penduduk ke pinggiran Gaza, memungkinkan pengungsi Palestina kembali ke rumah mereka.
Selain itu, bantuan kemanusiaan akan diizinkan masuk dengan 600 truk, termasuk 50 truk yang mengangkut bahan bakar untuk memulihkan aliran listrik di Gaza, seperti dilaporkan Kan TV, stasiun berita pemerintah Israel.
Dalam konferensi pers, Sheikh Mohammed menegaskan bahwa kesepakatan juga mencakup pertukaran sandera dan tawanan. Pada fase pertama, Hamas akan membebaskan 33 sandera sebagai ganti tawanan Palestina.
Mediator dari Qatar, Mesir, dan AS bertindak sebagai penjamin kesepakatan. Mereka berjanji memastikan implementasi penuh dari semua tiga fase perjanjian tersebut.
Presiden AS Joe Biden menyebut perjanjian ini sebagai "salah satu negosiasi tersulit" dalam kariernya, dan menegaskan bahwa kesepakatan ini bertujuan mengakhiri perang Israel-Hamas secara permanen. Sementara itu, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyambut baik kesepakatan tersebut dan menekankan pentingnya meringankan penderitaan akibat konflik ini.
Hamas menyebut kesepakatan ini sebagai kemenangan atas ketangguhan dan pengorbanan warga Palestina. Pejabat senior Hamas, Khalil al-Hayya, memuji pencapaian ini sebagai bukti komitmen perjuangan rakyat Palestina.
Di Israel, Presiden Isaac Herzog mendukung kesepakatan ini dan menyebutnya sebagai langkah yang benar dan penting. Namun, di sisi lain, mitra koalisi PM Benjamin Netanyahu, seperti Bezalel Smotrich dan Itamar Ben-Gvir, mengancam mundur dari pemerintahan jika tidak ada komitmen untuk melanjutkan operasi militer di Gaza setelah pemulangan para sandera.
Kesepakatan ini muncul setelah perang yang dimulai pada 7 Oktober 2023, ketika Hamas menyerang Israel, menewaskan 1.200 orang dan menyandera sekitar 250 lainnya. Serangan balasan Israel menyebabkan lebih dari 46.700 kematian di Gaza dan kerusakan besar di wilayah tersebut.
Presiden Mesir Abdel-Fattah al-Sisi menyebut perjanjian ini sebagai hasil dari upaya diplomatik panjang selama lebih dari satu tahun. Perlintasan Rafah di perbatasan Mesir-Gaza kini dipersiapkan untuk membuka jalur bantuan kemanusiaan.
Uni Emirat Arab (UEA) juga menyatakan dukungannya terhadap kesepakatan ini, menekankan pentingnya menghormati komitmen yang telah disepakati. (ant/hm25)