27.2 C
New York
Friday, November 1, 2024

Inflasi di China Gila-gilaan Picu kekhawatiran Global

Jakarta, MISTAR.ID
China saat ini dilanda berbagai krisis. Selain Covid-19 yang kembali merajalela, negeri itu juga dilanda krisis lain dari properti, harga sayuran dan harga solar hingga terjadinya panic buying.

Kini biaya barang yang keluar dari pabrik-pabrik China pun melonjak drastis hingga mencetak rekor baru. Biro Statistik Nasional China mengatakan, Indeks Harga Produsen melonjak 13,5% pada Oktober, naik jika dibandingkan dari tahun lalu atau meningkat dari 10,7% pada September.

Menurut Eikon Refinitiv, peningkatan itu termasuk yang tercepat sejak pemerintah China mulai merilis data pada pertengahan 1990-an. Indeks Harga Konsumen China naik 1,5% pada Oktober atau naik dua kali lipat dari bulan sebelumnya dan laju kenaikan tercepat sejak September 2020.

Baca juga:Harga Minyak Mencapai Puncak, Saham Asia Gelisah Jelang Data PDB China

“Kami khawatir tentang peralihan dari harga produsen ke harga konsumen,” kata Zhiwei Zhang, kepala ekonom Pinpoint Asset Management yang berbasis di Hong Kong, dikutip dari CNN, Kamis (11/11/21).

“Perusahaan berhasil menggunakan persediaan input mereka sebagai penyangga untuk menghindari beban biaya yang lebih tinggi kepada pelanggan mereka sebelumnya, tetapi (sekarang) persediaan mereka telah habis,” sambungnya.

Seperti diketahui, Kementerian Perdagangan China pada pekan lalu mengeluarkan pemberitahuan agar pemerintah daerah mendorong masyarakat ‘menimbun’ makanan dan kebutuhan sehari-hari karena cuaca buruk, kekurangan energi, dan pembatasan Covid-19 mengancam akan mengganggu pasokan.

Peringatan tiba-tiba itu memicu panic buying di supermarket hingga e-commerce Alibaba. Pihak berwenang mengaitkan kenaikan inflasi konsumen ini dengan melonjaknya biaya sayuran dan gas.

Mengutip dari South China Morning Post, Kamis (11/11/21) harga solar di China telah mencapai 8.023,3 yuan (US$ 1.254) atau sekitar Rp 17 juta per ton (asumsi kurs dolar Rp 14.200) pada semester kedua tahun ini. Sayangnya, kenaikan harga solar terjadi di masa kritis bagi industri logistik menjelang puncak musim belanja dan pengiriman.

Seorang pengemudi truk, Wang Ping mengaku dalam beberapa minggu terakhir ini ia mengubah rute perjalanan pulang pergi 5.000 km (3.100 mil) regulernya dari provinsi Hubei di China tengah ke Delta Sungai Mutiara di selatan.

Dengan harga solar saat ini di atas 7,2 yuan (US$1,125) atau sekitar Rp 16 ribu per liter dari yang asalnya 5 yuan atau sekitar Rp 11.150 awal tahun ini. Akhirnya Wang terpaksa membuat keputusan berat untuk membeli solar dari penjual gelap karena tak mampu lagi mengisi truk 49 ton dengan bensin biasa.

Menurut Biro Statistik Nasional, kenaikan drastis solar itu terjadi sebesar 64,4% dibanding tahun sebelumnya. Ini adalah situasi yang berat bagi industri logistik.

Baca juga: Dolar Bertahan Ketat di Asia, Investor Tunggu Data Inflasi AS

Meningkatnya inflasi China juga memicu kekhawatiran global. Inflasi produsen dengan harga yang melonjak akan mendorong tekanan inflasi global.

Kepala Strategi Valuta Asing untuk Mizuho Bank mengatakan, hal itu terjadi karena mengingat peran China sebagai pabrik dunia dan termasuk dalam rantai pasokan global. Dia memprediksi kondisi tersebut akan terjadi selama musim dingin.

“Inflasi produsen juga mungkin tetap tinggi untuk sementara, kemungkinan sepanjang musim dingin,” tuturnya.

Dia menambahkan, harga energi juga dapat terus meningkat. Selain itu, pihaknya memperkirakan inflasi konsumen pun dapat terus merangkak naik. (detik/hm06)

 

 

Related Articles

Latest Articles