14.2 C
New York
Tuesday, May 14, 2024

AS Disebut Danai Penelitian Virus Korona di Tiongkok

Washingto, MISTAR.ID
Sebuah dokumen baru yang diterbitkan memberikan perincian penelitian yang didanai Amerika Serikat (AS) tentang beberapa jenis virus korona di Institut Virologi Wuhan di Tiongkok.

Media the Intercept telah memperoleh lebih dari 900 halaman dokumen yang merinci pekerjaan EcoHealth Alliance, sebuah organisasi kesehatan yang berbasis di AS yang menggunakan uang negara untuk mendanai penelitian virus korona berasal dari kelelawar di laboratorium Tiongkok.

Kumpulan dokumen mencakup dua proposal hibah yang sebelumnya tidak dipublikasikan yang didanai oleh Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular (National Institute of Allergy and Infectious Disease). Termasuk juga serta pembaruan proyek yang berkaitan dengan penelitian EcoHealth Alliance, yang telah diteliti di tengah meningkatnya minat pada asal usul pandemi.

Baca juga: Terungkap! AS Danai Penelitian Virus Corona pada Kelelawar di Wuhan Jauh Sebelum Pandemi

Dokumen-dokumen itu dirilis sehubungan dengan litigasi Undang-Undang Kebebasan Informasi yang sedang berlangsung oleh The Intercept terhadap National Institutes of Health (NIH). Intercept membuat dokumen lengkap tersedia untuk umum.

“Ini adalah peta jalan menuju penelitian berisiko tinggi yang dapat menyebabkan pandemi saat ini,” kata Direktur U.S. Right To Know, Gary Ruskin, seperti dikutip The Intercept, Rabu 8 September 2021.

Salah satu hibah penelitian, yang disebut berjudul “Understanding the Risk of Bat Coronavirus Emergence” atau “Memahami Risiko Munculnya Virus Korona Kelelawar,” menguraikan upaya ambisius yang dipimpin oleh Presiden EcoHealth Alliance Peter Daszak untuk menyaring ribuan sampel kelelawar untuk virus korona baru.

Penelitian ini juga melibatkan penyaringan orang-orang yang bekerja dengan hewan hidup. Dokumen-dokumen tersebut berisi beberapa detail penting tentang penelitian di Wuhan, termasuk fakta bahwa pekerjaan eksperimental utama dengan tikus yang dimanusiakan dilakukan di laboratorium tingkat tiga keamanan hayati di Pusat Percobaan Hewan Universitas Wuhan -,dan bukan di Institut Virologi Wuhan,- seperti diasumsikan sebelumnya.

Dokumen-dokumen tersebut menimbulkan pertanyaan tambahan tentang teori bahwa pandemi mungkin telah dimulai dalam kecelakaan laboratorium, sebuah gagasan yang secara agresif ditolak oleh Daszak.

Penelitian virus korona kelelawar memberi EcoHealth Alliance total USD3,1 juta, termasuk USD599.000 yang digunakan Institut Virologi Wuhan sebagian untuk mengidentifikasi dan mengubah virus korona kelelawar yang kemungkinan menginfeksi manusia. Bahkan sebelum pandemi, banyak ilmuwan khawatir tentang potensi bahaya yang terkait dengan eksperimen semacam itu. Proposal penelitian mengakui beberapa bahaya tersebut: “Pekerjaan lapangan melibatkan risiko tertinggi terpapar SARS atau CoV lainnya, saat bekerja di gua dengan kepadatan kelelawar yang tinggi di atas kepala dan potensi debu tinja untuk terhirup.”

Alina Chan, seorang ahli biologi molekuler di Broad Institute, mengatakan dokumen tersebut menunjukkan bahwa EcoHealth Alliance memiliki alasan untuk menganggap serius teori kebocoran laboratorium.

“Dalam proposal ini, mereka sebenarnya menunjukkan bahwa mereka tahu betapa berisikonya pekerjaan ini. Mereka terus berbicara tentang orang yang berpotensi digigit dan mereka menyimpan catatan semua orang yang digigit,” tegas Chan.

“Apakah EcoHealth memiliki catatan itu? Dan jika tidak, bagaimana mungkin mereka mengesampingkan kecelakaan terkait penelitian?” ungkapnya.

Menurut Richard Ebright, ahli biologi molekuler di Rutgers University, dokumen tersebut berisi informasi penting tentang penelitian yang dilakukan di Wuhan, termasuk tentang pembuatan virus baru. “Virus yang mereka buat diuji kemampuannya untuk menginfeksi tikus yang direkayasa untuk menampilkan reseptor tipe manusia di sel mereka,” tulis Ebright kepada The Intercept setelah meninjau dokumen.

Ebright juga mengatakan dokumen tersebut memperjelas bahwa dua jenis virus korona baru dapat menginfeksi tikus yang dimanusiakan. “Ketika mereka bekerja pada virus korona terkait SARS, mereka melakukan proyek paralel pada saat yang sama pada virus korona terkait MERS,” kata Ebright, merujuk pada virus yang menyebabkan Sindrom Pernafasan Timur Tengah.

Ditanya tentang materi hibah, Robert Kessler, Manajer Komunikasi di EcoHealth Alliance, berkata, “Kami mengajukan permohonan hibah untuk melakukan penelitian. Instansi terkait menganggap itu sebagai penelitian penting, dan dengan demikian mendanainya. Jadi saya tidak tahu bahwa ada banyak hal untuk dikatakan.”

Hibah tersebut awalnya diberikan untuk periode lima tahun -dari 2014 hingga 2019. Pendanaan diperbarui pada 2019 tetapi ditangguhkan oleh pemerintahan Trump pada April 2020.

Kerabat terdekat SARS-CoV-2 penyebab covid-19 adalah virus yang ditemukan pada kelelawar, sehingga menjadikan hewan sebagai titik fokus upaya memahami asal mula pandemi.

Baca juga: AS Danai Penelitian Virus Berbahaya di Wuhan, Benarkah?

Persisnya bagaimana virus itu melompat ke manusia menjadi bahan perdebatan sengit. Banyak ilmuwan percaya bahwa itu adalah limpahan alami, yang berarti bahwa virus tersebut menular ke manusia di lingkungan seperti pasar basah atau daerah pedesaan di mana manusia dan hewan berada dalam kontak dekat.

Pakar keamanan hayati dan detektif internet yang mencurigai asal laboratorium, sementara itu, telah menghabiskan lebih dari satu tahun meneliti informasi yang tersedia untuk umum dan publikasi ilmiah yang tidak jelas untuk mencari jawaban. Dalam beberapa bulan terakhir, para ilmuwan terkemuka juga menyerukan penyelidikan lebih dalam tentang asal mula pandemi, seperti halnya Presiden Joe Biden, yang pada Mei memerintahkan komunitas intelijen untuk mempelajari masalah ini. Pada 27 Agustus, Biden mengumumkan bahwa intelijen penyelidikan tidak meyakinkan.

Biden menyalahkan Tiongkok karena gagal merilis data penting, tetapi pemerintah AS juga lambat merilis informasi. Intercept awalnya meminta proposal pada September 2020.

“Saya berharap dokumen ini dirilis pada awal 2020,” kata Chan, yang menyerukan penyelidikan teori asal kebocoran laboratorium.

“Itu akan mengubah banyak hal secara besar-besaran, hanya untuk memiliki semua informasi di satu tempat, segera transparan, dalam dokumen kredibel yang diajukan oleh EcoHealth Alliance,” ucap Chan.

Penelitian kedua, “Understanding Risk of Zoonotic Virus Emergence ini Emerging Infectious Disease Hotspots of Southeast Asia” atau “Memahami Risiko Munculnya Virus Zoonosis di Hotspot Penyakit Menular yang Muncul di Asia Tenggara,” diberikan pada Agustus 2020 dan diperpanjang hingga 2025.

The Intercept menilai proposal, yang ditulis pada 2019, sering kali tampak matang, dengan fokus pada peningkatan dan penggelaran sumber daya di Asia dalam kasus wabah “penyakit menular yang muncul” dan merujuk ke Asia sebagai “hotspot terpanas ini.” Namun tidak dijelaskan secara detail apakah dana AS tersebut termasuk mendanai penelitian dari SARS-COV-2 yang tengah menjadi pandemi covid-19 saat ini. (medcom/hm06)

Related Articles

Latest Articles