Uang Logam Rp100 dan Rp200 Mulai Hilang dan Nyaris Tak Dipakai Bertransaksi di Siantar
uang logam rp100 dan rp200 mulai hilang dan nyaris tak dipakai bertransaksi di siantar
Pematangsiantar, MISTAR.ID
Uang logam pecahan Rp100 dan Rp200 mulai langka dipakai dalam bertransaksi di Kota Pematangsiantar. Hanya beberapa supermarket yang masih menggunakan koin-koin tersebut serta sejumlah mini market.
Padahal, mengacu pada peraturan resmi Bank Indonesia (BI), uang logam pecahan 100 dan 200 rupiah merupakan alat transaksi dan pembayaran resmi yang diakui sah.
Melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 14 tahun 2023, BI hanya mencabut dan menarik uang pecahan Rp500 Tahun Emisi (TE) 1991, Rp1.000 TE 1993 dan Rp500 TE 1997.
Baca juga: Harga Cabai dan Bawang di Tanah Jawa Melonjak Hingga Rp60.000 per Kg
Suwati (45), seorang pemilik warung di Jalan Jawa mengatakan, banyak masyarakat enggan menerima uang logam pecahan Rp100 dan Rp200 ketika dia bertransaksi dengan para pembeli.
“Bukan hanya pedagang, pembeli saja jika diberikan uang logam Rp100 dan Rp200 terkadang menolak dengan alasan sudah tidak berlaku di beberapa toko dan warung kecil,” ujarnya kepada mistar.id, Jumat (10/5/24).
Tak hanya itu, sambungnya, beberapa masyarakat menganggap uang tersebut kurang fleksibel untuk dibawa dibandingkan dengan uang kertas.
“Uang kertas walaupun jumlah nominalnya kecil atau besar, uang tersebut masih mudah untuk dibawa ke mana-mana,” pungkasnya.
Terpisah, Pengamat Ekonomi Darwin Damanik mengatakan selama uang pecahan itu belum dicabut oleh Bank Indonesia, dan masih berlaku. Jadi seharusnya, semua masyarakat wajib menerima. Barang siapa yang tidak menerima ada sanksi hukumnya di undang-undang mata uang.
“Saat ini memang fenomena ini terjadi di Siantar, banyak penolakan dari masyarakat di transaksi ekonomi yang menggunakan uang pecahan 100 atau 200 logam. Keengganan masyarakat kita menggunakan uang pecahan ini biasanya karena alasan fleksibilitas,” sebut akademisi Universitas Simalungun itu.
Menurut Darwin, masyarakat tidak mau ribet dan sulit untuk membawa atau menyimpan uang logam ini.
“Kebanyakan sekarang masyarakat (penjual) mengakali atau mendesain harga barang yang dijual dengan harga pecahan 500,” jelasnya.
Darwin menambahkan, dalam beberapa transaksi jual beli, terjadi ketidaksetaraan antara pedagang dan konsumen, seperti penolakan uang pecahan Rp100 dan Rp200, pengembalian uang diganti permen, dan penawaran pengembalian uang untuk donasi yang sebenarnya gak semua konsumen (masyarakat) setuju akan pilihan itu.
Baca juga: Perdagangan Akhir Pekan, Sejumlah Harga Komoditas Mengalami Penurunan
Menurut Darwin, uang pecahan logam ini akan lebih mahal nilai intrinsik (nilai produksi) -nya dibanding nilai nominalnya.
“Jadi kalau pun masyarakat di suatu daerah kita sudah tidak suka transaksi terhadap uang pecahan logam 100 atau 200 yah segeralah Bank Indonesia menindaklanjuti hal tersebut,” lanjutnya. Apakah mengurangi produksinya, atau mengurangi jumlah peredarannya atau yang lainnya, agar tidak merugikan negara juga dengan produksi uang logam (intrinsik) yang lebih mahal dibandingkan nilai nominalnya,” tandasnya.
Lebih lanjut Darwin memberikan ilustrasi ke beberapa negara tetangga, seperti Malaysia atau Thailand.
“Mereka masih mau menggunakan uang logam pecahan kecil dalam setiap transaksi ekonominya. Kalaupun terjadi penolakan transaksi dengan uang logam 100 atau 200 di masyarakat, Bank Indonesia bisa tegaslah terhadap hal tersebut, karena ada undang-undangnya,” pungkas Darwin. (abdi/hm22)