14.5 C
New York
Wednesday, May 1, 2024

Menghormati Sejarah Pulau Rempang

Batam, Mistar.id

Di tengah ketidakpastian yang disebabkan oleh konflik kepentingan antara pemerintah daerah dan penduduk Pulau Rempang, Batam, tidak ada salahnya untuk berusaha mengikuti ajaran Bung Karno bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati sejarahnya.

Sehubungan dengan titah tertulis yang dikeluarkan oleh Raja Kesultanan Riau, Duli Yang Mahamulia Seri Paduka Baginda Yang Dipertuan Besar Sultan Hendra Syafri Riayat Syah ibni Tengku Husin Saleh, marilah kita berkumpul untuk menghormati sejarah Pulau Rempang.

Raja Kesultanan Riau menegaskan sejarah bahwa penduduk asli pulau Rempang sebenarnya adalah penduduk setempat, bukan pendatang.

Baca juga : Ombudsman RI: Didapati Potensi Maladministrasi Terkait Relokasi Pulau Rempang

Orang-orang yang sekarang tinggal di kampung-kampung di Pulau Rempang berasal dari prajurit Kesultanan Melayu Bintan, yang kemudian berganti nama menjadi Kesultanan Riau-Lingga pada abad ke-11.

Leluhur mereka telah tinggal di Pulau Rempang sejak Kesultanan Sulaiman Badrul Alam Syah I pada tahun 1720. Kemudian, mereka berperang dengan Raja Haji Fisabilillah dalam Perang Riau I pada tahun 1782–1784.

Selain itu, selama Perang Riau kedua, yang terjadi antara tahun 1784 dan 1787 di bawah pemerintahan Sultan Mahmud Riayat Syah, atau Sultan Mahmud Syah III.

Warkah titah Raja Kesultanan Riau sebenarnya sejalan dengan pesan berulang kali Presiden Jokowi kepada rakyat Indonesia agar memperhatikan amanat penderitaan rakyat supaya tidak mengulangi penderitaan yang dialaminya ketika dia masih kecil saat digusur tiga kali untuk proyek pembangunan infrastruktur di Kota Solo.

Baca juga : Halalbihalal Bersama Keluarga Besar Kesultanan Asahan, Edy Rahmayadi Ingatkan Sejarah Bangsa Melayu Melawan Penindasan

Sebagai pendiri Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan, yang mewarisi pesan Gus Dur agar terus berupaya peduli dan berbela rasa terhadap masyarakat adat dan rakyat tergusur, saya mendukung pembangunan infrastruktur selama implementasinya tidak melanggar asas Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Deklarasi Hak Asasi Manusia.

Maupun agenda pembangunan berkelanjutan yang telah disepakati oleh para negara anggota PBB, termasuk Indonesia, untuk membangun peradaban dunia. (Kompas.com/hm19)

Related Articles

Latest Articles