19.1 C
New York
Saturday, September 28, 2024

Kesejahteraan Kurang jadi Alasan Dosen Berlomba Dapatkan Tunjangan Kehormatan Profesor

Medan, MISTAR.ID

Viralnya kasus guru besar yang terjadi masih menjadi sorotan. Sosok yang dianggap menjadi ujung tombak pendidikan justru melakukan penyimpangan aturan. Persoalan ini dinilai cukup kompleks.

Prof. Dr. Iskandar Zulkarnain selaku Guru Besar Bidang Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) USU menyoroti faktor yang menyebabkan terjadinya hal ini.

Ia mengungkapkan, secara sederhana hal ini pasti terkait dengan kesejahteraan yang kurang dari para Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam hal ini termasuk Kementerian Pendidikan. Lanjutnya, kesejahteraan yang kurang memadai seringkali menjadi alasan dibalik tindakan yang bertentangan dengan regulasi.

“Tapi para guru besar yang melakukan penyimpangan ini jelas salah ya, nggak ada kata maaf untuk itu. Karena melakukan misalnya suap untuk bisa melalui syarat-syarat yang diharuskan,” tegasnya.

Baca juga:Tanggapan Guru Besar USU Terkait Skandal Jual Beli Gelar Profesor

Lanjutnya, dosen berlomba meraih gelar guru besar dengan mempertimbangkan tunjangan kehormatan profesor yang mencapai dua kali lipat dari sertifikasi dosen dan ingin kesejahteraannya naik.

“Kalau bahasa Medannya nggak apa-apa lah keluar sekian tapi nanti kan panjang dapat sekian. Karena kalau jadi guru besar kan pensiunnya sampai 70 tahun. Kalau nggak (guru besar) hanya sampai 65 tahun,” sebutnya.

Sebagai pilar bangsa pendidik generasi pemimpin masa depan, dari sisi kesejahteraan dosen masih tergolong kurang. Meskipun saat ini sudah ada serdos, tunjangan Profesor kehormatan, tapi sebut Prof Iskandar hal ini masih jauh dibandingkan dengan negara tetangga di mana gaji guru di Malaysia lebih tinggi daripada gaji dosen di Indonesia.

Jika dilihat dari APBN, disebutkan bahwa anggaran sebanyak 20% diwajibkan untuk pendidikan.

Baca juga:Asal Usul Gelar Profesor

“Tapi dalam prakteknya kan semua kementerian punya institusi pendidikannya masing-masing. Menteri Dalam Negeri punya IPDN begitu pun kementerian lainnya. Dan itu 20% dibagi semua. Jadi sebenarnya prakteknya ya 10% pun nggak sampai dana pendidikan untuk pendidikan yang di Universitas atau di SMA, SMP, SD itu,” sebutnya.

Ukuran dari reputasi jurnal internasional juga menjadi sebuah pertanyaan dalam diri Prof Iskandar. Ia menganggap bahwa penting untuk membangun sistem jurnal nasional milik Indonesia sendiri yang lebih kuat.

Dengan adanya penilaian Sinta yang membagi jurnal ke dalam kategori 1 hingga 6, ia berpendapat bahwa pada kategori 1, 2, dan 3 seharusnya diperbolehkan, mengingat praktiknya yang sama susahnya dengan international journal reputation.

Baca juga:James McAvoy Tak Akan Jadi Profesor X Lagi

“Tetapi kan bedanya kalau ini kan punya dalam negeri sendiri. Ini kita malah memberikan hak penelitian kita kepada jurnal asing. Lalu terpaksa juga bayar kepada mereka, devisa kita tersedot bahkan hak paten atau hak cipta kita pun juga dikuasai oleh asing. Jadi kerugian. Nah itu saya pikir perlu dievaluasi juga,” terangnya.

Ia juga mencontohkan sebuah negara maju, yang hancur terkena bom pada perang dunia ke-II yakni Hiroshima-Nagasaki, Jepang. Yang akhirnya melaju pesat dan berkembang dengan cepat melalui pendidikan.

“Harapan lain saya, jangan pernah memandang enteng pendidikan. Kalau pendidikan ini dipandang sebelah mata, tidak serius memperhatikannya lewat kesejahteraannya, lewat anggaran yang digelontorkan untuk pendidikan negara itu, mau seperti apa sih majunya kalau tanpa pendidikan?” Tutupnya. (susan/hm17)

Related Articles

Latest Articles