21.7 C
New York
Tuesday, October 8, 2024

Tanggapan Guru Besar USU Terkait Skandal Jual Beli Gelar Profesor

Medan, MISTAR.ID

Skandal yang melibatkan guru besar dalam sebuah institusi pendidikan tinggi telah mengguncang dunia akademik, sekaligus menimbulkan pertanyaan serius tentang integritas dan etika dalam proses pengajuan gelar akademik.

Kasus-kasus ini tidak hanya mencoreng reputasi individu yang terlibat, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi benteng pengetahuan dan moralitas.

Tak hanya itu, salah satu kasus yang terjadi di Universitas Lambung Mangkurat (ULM) menjadikan institusi tersebut mengalami penurunan akreditas dari A ke C dan tentunya juga akan berdampak bagi mahasiswa nantinya.

Baca juga:Asal Usul Gelar Profesor

Prof. Dr. Iskandar Zulkarnain, Guru Besar Bidang Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara (USU) mengaku miris dalam melihat kasus ini. Terlebih jenjang guru besar merupakan jenjang tertinggi dalam akademis.

“Dalam dunia akademik itu selalu dibarengi dengan etika. Orang berilmu itu seharusnya juga punya etika, punya adab. Walaupun kita pahami adab itu Lebih tinggi daripada ilmu tapi biasanya orang-orang berilmu itu harus beradab,” katanya kepada mistar.id, Sabtu (28/9/24).

Lanjutnya, jika melihat garis besar haluan negara tentang fungsi atau tujuan pendidikan nasional yaitu tidak hanya mendidik atau mengajar, tetapi juga membentuk manusia Indonesia yang berkepribadian, beradab dan beretika.

Baca juga:Daftar Deretan Gelar Kehormatan Diterima Megawati Soekarnoputri

“Saya sangat berharap banyak, karena sektor pendidikan ini, terkait dengan case ini ya, ini merupakan ujung tombak yang mendidik anak-anak bangsa menjadi calon pemimpin kedepan,” ujarnya.

Menurut Prof Iskandar, proses pengurusan menjadi guru besar di Indonesia merupakan perjalanan yang penuh tantangan dan membutuhkan ketekunan serta kegigihan. Dalam beberapa waktu terakhir, Kementerian Pendidikan telah melakukan berbagai perubahan dalam sistem evaluasi dan penilaian untuk gelar guru besar.

Dahulu, gelar ini bisa dicapai tanpa harus memiliki gelar doktor, namun kini syarat tersebut telah berubah. Selain harus memiliki gelar doktor, calon guru besar juga harus memenuhi kredit poin tertentu dan menulis di jurnal internasional bereputasi.

Baca juga:18 Tokoh Terima Gelar Bintang Kehormatan, Berikut Nama-Namanya  

Syarat khusus tambahan lainnya misalnya indeks SJR harus 0,4 dan tidak boleh di bawah 0,4.

“Di mana dulu kalau untuk di atas 0,4 itu ya untuk ilmu sosial ya ilmu saya, itu paling tidak harus Q1 jurnalnya. Sementara jurnal itu ada Q1, 2, 3, 4. Makin tinggi dia, Q1 makin sulit untuk ditembus,” jelasnya.

Belakangan ini, lanjutnya, telah ada perubahan lagi. Q berapa saja pun diperbolehkan yang terpenting adalah journal international reputation. Hal ini menunjukkan bahwa evaluasi dan perubahan itu ada.

Baca juga:Harry Sambayu, Dosen UNA yang Raih Gelar Doktor Linguistik Terapan Bahasa Inggris

“Nah saya pikir ini juga perlu dilakukan misalnya dalam syarat khusus tambahan sekarang ini wajib selain international journal reputation itu bisa pilihan ya atau mendapatkan dana hibah penelitian dulu disebutkan di atas 200 juta boleh akumulatif,” ujarnya.

Namun informasi terbaru yang diperoleh Prof Iskandar melalui teman-temannya, mengatakan bahwa penelitian yang didanai oleh universitas atau fakultas tidak akan diakui sebagai hibah, sehingga hanya dana yang diperoleh dari hibah Kementerian yang dapat dianggap memenuhi syarat.

“Ini saya pikir nggak benar juga karena dalam pengertian hibah itu kan ada juga persaingan di tingkat universitas. Kita mau mendapatkan penelitian dengan mengajukan proposal, kemudian dinilai dan bersaing dengan dosen-dosen lainnya,” ungkapnya.

Hal-hal yang begini, lanjut Prof Iskandar, seharusnya tetap dilakukan evaluasi. Meski ia mengakui selama ini evaluasi tersebut tetap dilakukan oleh pihak kementerian. (susan/hm17)

Related Articles

Latest Articles