18.4 C
New York
Wednesday, July 3, 2024

Kisah Brigzon Purba, Tuna Netra Melek Politik dan Hobi Musik

Pematang Siantar, MISTAR.ID

“Bagaimana menurut abang calon presiden ini?” Tanya Brigzon Purba kepada Mistar.id saat ditemui di kediamannya, Jalan Pdt Justin Sihombing, Kecamatan Siantar Timur, Selasa (15/8/23).

Brigzon memang hobi mendengar berita nasional melalui ponselnya. Memiliki kebutuhan khusus tak membuat keingintahuannya terhadap isu perpolitikan pudar.

Terlebih mendengar para politisi berdebat di sebuah acara televisi. Adalah hal yang paling disenangi Brigzon yang akrab disapa Jhon ini.

Baca juga: Pekan Paralimpik Sumut Ke-2, Atlet Blind Judo Tuna Netra Sei Buluh Raih Medali Emas

Brigzon Purba lahir di Tigarunggu, Kabupaten Simalungun 33 tahun silam. Sejak usia tiga tahun, penglihatannya anak kedua dari tiga bersaudara itu hilang karena penyakit campak yang dideritanya.

Lahir dari keluarga sederhana dan perkampungan membuatnya tidak mendapat fasilitas kesehatan yang maksimal.

“Semenjak buta, tidak pernah operasi, hanya berobat kampung. Itupun kayu-kayu nya disuruh merebus,” ucapnya sembari tertawa.

Baca juga: Satlantas Polres Tebing Tinggi Bantu Sembako ke Balsos Cacat Tuna Netra dan Tuna Daksa

Di usia 6 tahun, ia dikirim ke Medan untuk tinggal di asrama yayasan Katolik. Sekolah dasar dan lanjutan tingkat pertama diembannya di sekolah tersebut. “SMA baru di sekolah biasa. Tapi swasta,” lanjutnya.

Brigzon berusaha mandiri dengan membuka urut tradisional

Mengetahui memiliki kekurangan, Brigzon berusaha mandiri dan tidak menjadi beban bagi orang lain. Usai menyelesaikan sekolah, ia kemudian mulai belajar urut tradisional.

Mungkin, menurutnya, hanya profesi tukang urut yang dapat dikerjakannya. Sehingga membuatnya gigih dalam mempelajari teknik mengurut.

Tidak banyak yang dapat dikisahkan Brigzon di masa remajanya. Sebab sehari-hari, selain belajar mengurut, ia berlatih piano di asrama tersebut.

Baca juga: Edy Rahmayadi Terkesan dengan Anak Kembar Tuna Netra Hafal A-Qur’an

Hingga sekarang, hampir seluruh musik rohani dapat diiringinya.

Awal tahun 2000-an, Brigzon bertemu seorang gadis yang juga memiliki kebutuhan khusus seperti dirinya. Dalam komunitas Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni), dirinya dan sang gadis aktif mengurus organisasi tersebut.

Didekatinya gadis boru Laoli itu, layaknya seorang pria jatuh cinta. Gayung bersambut, sang gadis juga menaruh hati pada Brigzon. Hingga pada Tahun 2009, keduanya melangsungkan pernikahan di kampung halaman Brigzon.

“Kalau hati sudah nyaman, gak ada lagi yang menghalangi,” ucapnya.

Saat ini keduanya memiliki sepasang buah hati. Anak paling besar yakni gadis pintar yang sudah duduk di bangku kelas 1 SMP. Sementara sang adik masih kelas 2 SD.

Brigzon dan sang istri kesehariannya mengais rezeki dari pasien yang diurut mereka. Dalam seminggu, belasan orang yang menyambangi tempat urut mereka.

Baca juga: 190 KK Warga Tuna Netra di Medan Tak Dapat Bansos, DPRD Kecewa

“Kalau laki-laki, saya yang urut. Perempuan sudah pasti istri saya. Tapi memang kebanyakan laki-laki yang datang,” ujarnya.

Tarif jasa urut mereka tergolong murah, yaitu Rp80 ribu untuk 90 menit. Berbeda jika pelanggan meminta Brigzon datang ke rumah. Pasien itu harus menambah biaya ongkos.

“Paling besar untuk ongkos itu tambah 20 ribu lah. Karena naik ojek online,” katanya.

Sebelum memantapkan tinggal di Pematang Siantar, Brigzon dan istri kerap berpindah-pindah kota mencari rezeki. Terkadang di satu kota tertentu, keduanya tinggal hanya bertahan 6 bulan.

“Sebelum di sini, kami dari Medan merantau ke Pekanbaru, terus ke Sidikalang. Kembali lagi ke Medan dan sekarang kami sudah nyaman di Siantar,” terangnya.

Buah hatinya sempat mendapat perundungan dari teman sekolah

Memiliki orangtua yang berkebutuhan khusus, membuat sang buah hati sempat mengalami perundungan dari teman-temannya. Namun kondisi tersebut, menurut Brigzon hal yang wajar.

“Pernah anak yang paling besar nangis sepulang sekolah. Saya tanya kenapa, terus dijawab diejek teman-temannya. Besoknya saya ke sekolah dan menemui gurunya,” ujarnya.

Baca juga: Berbagi Kasih Untuk Nenek Tuna Netra

Beruntung, guru sang anak cepat merespon dan memberi nasihat kepada murid-muridnya. Setelah kejadian itu, anak sulung Brigzon tidak pernah mendapat perundungan lagi.

Memberi penjelasan terkait yang dialaminya dan saudara-saudara tuna netranya kepada sekitar, kata Jhon sangat perlu. Sehingga membuat lingkungan paham keadaan mereka dan tidak mengecilkan.

“Makanya saya sudah sampaikan kepada teman-teman yang tuna netra biar percaya diri. Begitupun ke sekolah anak-anaknya, mereka harus mengantar dan menjemput sendiri agar sekolah tahu bagaimana keadaan orang tua dari muridnya,” tuturnya.

Diceritakan Brigzon, pengalaman pahit pernah dirasakan teman tuna netranya. Temannya tersebut tidak diakui sang anak sebagai orangtuanya.

Baca juga: Ratusan Penyandang Tunanetra Peroleh Zakat dari Baznas Medan 

“Karena setiap sekolah, bukan teman itu yang mengantar tapi saudaranya. Dia tidak percaya diri. Sampai suatu saat, sekolah meminta agar orangtua siswa datang ke sekolah dan tidak bisa diwakilkan. Hasilnya si anak mengakui kalau bapaknya itu adalah kakeknya,” ujarnya.

Memberi pemahaman terhadap anak, diakui Jhon cukup sulit. Namun hal tersebut harus dilakukan agar si anak merasa bangga dan tidak berkecil hati akan keadaan orangtuanya.

Pengalaman Brigzon bersama sang istri, kedua buah hati mereka kerap diajak jalan-jalan. Bahkan belanja ke pasar. Anak-anak juga diajari untuk sebisa mungkin mandiri agar menghindari hal-hal tidak mengenakkan.

“Kami sama-sama memasak dan belanja. Ke sekolah pun mereka berangkat sendiri. Tapi yang paling kecil, saya jemput setiap pulang sekolah,” kata Jhon.

Brigzon berharap anak-anak mereka kelak akan menjadi orang yang berhasil. Yang sulung, dikatakannya punya cita-cita menjadi pramugari sementara si bontot ingin menjadi polisi.

“Yang paling besar juga saya ajari bermain piano. Makanya sekarang dia sudah bisa mengiringi ibadah di sekolah,” ucap Jhon. (gideon/hm17)

Related Articles

Latest Articles