17.2 C
New York
Sunday, September 29, 2024

8 Kasus Konflik Agraria Terjadi di Sumut dalam Setahun Terakhir

Walhi Sumut juga mencatat bahwa ada sekitar 37 kelompok petani lainnya dengan luas areal konflik mencapai 19.485,59 ha di Sumut yang mengalami konflik agraria berkepanjangan dengan perusahaan perkebunan sawit dan perusahaan ekstraktif lainnya yang belum usai sampai saat ini.

Rezim Jokowi Dinilai Gagal

Dalam kesempatan itu, Direktur Walhi Sumut Rianda Purba menyebut, bahwa rezim Presiden Jokowi gagal melaksanakan reforma agraria.

“Sejatinya Hari Tani yang jatuh pada tanggal 24 September setiap tahunnya merupakan hari kemerdekaan bagi kaum tani. Namun, terlihat sangat ironis, karena para petani belum berdaulat atas tanah, benih, dan lainnya,” tegasnya.

Diungkapkan Rianda, tepat 63 tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 24 September 1960, terbit Undang-Undang (UU) Pokok Agraria (UUPA). Hal itu, seharusnya sebagai wujud kemerdekaan bagi kaum tani dan tonggak kedaulatan rakyat atas tanah sebagai sumber penghidupan.

“Namun, sampai hari ini kondisi petani berbanding terbalik dengan mandat UUPA. Perampasan tanah rakyat, kriminalisasi petani, ketimpangan penguasaan tanah, dan konflik agraria masih kerap terjadi di tanah air tercinta,” ucapnya.

Dikatakan, jeratan mahalnya harga bibit dan pupuk yang tidak sebanding dengan harga-harga komoditas panen petani yang murah. BGelum lagi jeratan tengkulak, sistem pertanian berbasis korporasi, dan food estate makin menyingkirkan petani.

Baca Juga : Periode 2017-2023, YLBHI Tangani 106 Konflik Agraria dengan Kekerasan Terhadap Petani

“Jika menelisik lebih jauh cita-cita politik pemerintahaan Jokowi, tentu kejadian-kejadian seperti konflik agraria, penggusuran seperti yang terjadi di Rempang, Kepulauan Riau sekarang ini tidak akan terjadi. Kriminalisasi petani dan berbagai bentuk perampasan tanah petani semestinya tidak ada,” sebutnya.

Rianda pun menilai bahwa rezim Jokowi-Ma’ruf Amin sama sekali tidak bekerja dan tidak bervisi kerakyatan, serta tidak mengurangi ketimpangan agraria. Hal itu, kata dia, semakin memperjelas bahwa pengaturan agraria Indonesia hanya diperuntukkan kepada para kapitalis.

“Sudah tidak terlaksana, apalagi menyelesaikan konflik. Selain minimnya capaian redistribusi tanah untuk rakyat, malah semakin diperparah dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja yang kontraproduktif dengan semangat UUPA,” pungkasnya. (deddy/hm24)

Syahrial Siregar
Syahrial Siregar
Alumni STIK-P Medan. Menjadi jurnalis sejak 2008 dan sekarang redaktur untuk portal mistar.id

Related Articles

Latest Articles