19 C
New York
Wednesday, September 18, 2024

Pengamat: Pendidikan Seringkali Terpaku pada Normalitas dan Formalitas

Medan, MISTAR.ID

Pengamat pendidikan dari LSPR Communication & Business Institute Jakarta, Ari S Widodo Poespodihardjo mengatakan, seringkali dunia pendidikan terpaku pada sebuah normalitas dan formalitas. Makna menjadi manusia kadang agak tergeser atau cenderung terabaikan.

“Padahal manusialah yang membuat pendidikan itu ada dan mulia. Isu global seperti hilangnya norma dan anak-anak yang tumbuh besar dengan video game, di mana kekerasan dianggap biasa, menjadi perhatian serius,” katanya kepada mistar.id, Rabu (18/9/24).

Di Indonesia, fenomena ini semakin kompleks. Ironisnya, adegan berpelukan atau ciuman di film seringkali disensor. Sementara adegan kekerasan seperti pemukulan atau pembunuhan bisa tampil bebas tanpa sensor.

Baca juga:Wabup Sergai Sebut Pesantren Pilar Pendidikan Generasi Muda Religius

“Anak-anak saat ini lebih banyak diasuh oleh YouTube dan game. Sudah begitu masalahnya berjenjang sesuai jenjang pendidikan,” tutur Ari.

Menurut Ari, ada banyak hal yang perlu diubah dalam sistem pendidikan di Indonesia. Kondisi masyarakat saat ini turut berkontribusi pada perilaku menyimpang, meskipun di masyarakat yang ketat sekalipun, perilaku tersebut tetap ada.

“Mungkin buat orang tua tidak banyak pilihan, mereka sekarang harus bekerja ekstra keras,” ungkapnya.

Lanjut Ari, pendidikan karakter anak-anak muda masa kini tidak bisa hanya bergantung pada pendidikan formal saja, tetapi harus didukung oleh berbagai aspek lainnya. Etika dan nilai-nilai luhur bangsa perlu diingat kembali.

Baca juga:Kemenag Sumut Tingkatkan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan

“Pengajaran zaman dulu dengan sekarang tentu memiliki banyak perbedaan. Tapi saya tidak setuju bahwa karena hal-hal itu dulu jadi lebih baik dari yang sekarang. Misalnya penggunaan kekerasan di kelas yang dulu dianggap sebagai ‘mendidik anak didik’, atau perpustakaan yang minim dengan buku,” sebutnya.

Alumni University of Wollongong Australia ini juga menyebutkan, jika fenomena dalam pendidikan yang kerap terjadi pada masa kini terus berlanjut, maka akan menumbuhkan generasi yang memandang kekerasan adalah sebuah normalitas.

“Bayangkan seseorang akan takut punya pacar karena mungkin pacarnya akan menjadi pelaku kekerasan. Konflik makin sering terjadi, karena orang mengira kekerasan adalah jawaban yang diperbolehkan oleh masyarakat,” terangnya.

“Perubahan adalah bagian dari alam. Tidak semua hal bisa kita atur semau kita. Dunia pendidikan punya peran dan sangat penting namun semua ada batasnya. Kita hanya bisa berusaha sebisa yang kita bisa lakukan. Yang penting adalah tetap dengan nilai yang kita percayai dan terus berusaha sebaik mungkin,” tutupnya. (susan/hm16)

Related Articles

Latest Articles