Kecanduan terhadap konten receh di media sosial dapat mengakibatkan fenomena yang dikenal dengan istilah brain rot atau penurunan kondisi mental akibat konsumsi materi secara berlebihan. Namun, dalam jangka panjang, kondisi ini dapat meningkatkan risiko terjadinya kecemasan dan depresi.
Psikolog Jeffry, M.Psi, mengatakan brain rot terjadi ketika seseorang terjebak dalam konsumsi konten yang ringan, tidak produktif, dan berulang, yang akhirnya berpotensi merusak keseimbangan mental.
“Saat seseorang melakukan aktivitas yang menyenangkan, maka hormon dopamin akan keluar membuat kita merasa bahagia. Namun hal ini justru akan berbahaya saat kita mendapatkan hormon dopamin tersebut melalui medsos,” katanya kepada Mistar.id, Sabtu (28/12/24).
Hal ini dapat menyebabkan orang menjadi malas untuk mengerjakan tugas yang lebih berat karena kepuasan lebih mudah diperoleh dari media sosial.
Kecanduan tersebut, jelas Jeffry, akan berdampak buruk ke depannya. Konsumsi konten yang seragam dan berulang, membuat anak muda sulit untuk menghasilkan ide-ide baru dan kreativitas pun menurun.
“Dia gampang terdistraksi, tergoda untuk masuk ke dalam sosial media tersebut lagi. Jadi ketika apapun yang dikerjakan, dia cuma kerjain sebentar habis itu buka sosial media, scrolling berlama-lama,” terangnya.
Kecanduan ini, lanjut Jeffry, dapat mempengaruhi memori sehingga mereka lupa hal-hal kecil atau cenderung menunda pekerjaan.
Perlahan, jika masih terus menghabiskan waktu di medsos, selain sulit untuk berkarya, anak-anak muda di atas usia 25 tahun akan mengalami quarter life crisis dan membanding-bandingkan diri dengan orang lain.
Untuk mengatasi hal tersebut, Jeffry membagikan beberapa tips yaitu membatasi waktu penggunaan. Kini banyak aplikasi yang memungkinkan seseorang untuk memonitor berapa lama telah menggunakan gadget.
Selanjutnya, memilih konten yang lebih berkualitas, seperti berita edukatif maupun video inspiratif. Konten yang mendidik dan memberikan nilai positif, dapat membantu seseorang tetap terhubung dengan dunia luar tanpa harus mengorbankan kreativitas dan fokus.
Dan yang terakhir yaitu dengan tidak membuka gadget selama satu jam setelah bangun tidur. Waktu ini bisa digunakan untuk aktivitas fisik ringan, seperti membersihkan kamar atau memasak, sebelum akhirnya membuka handphone.
Jeffry menambahkan, melalui pendekatan-pendekatan ini, anak muda dapat menjaga keseimbangan antara kehidupan online dan offline, serta meningkatkan produktivitas mereka.
Pegawai swasta, Sinta (32), mengaku bahwa dirinya juga tidak bisa lepas dari androidnya.
“Gak tahu ya, tapi kalau nggak ada hape itu rasanya seperti gak enak saja. Lima menit pun sudah ga tahan aku. Kalau ga ada hape jadi melamun, apalagi kalau tidak ada kerjaan,” ucapnya.
Ia juga tidak memungkiri pernah mengalami kecanduan medsos, terutama saat ia belum mendapatkan pekerjaan.
“Dulu, waktu masih pengangguran, tiap saat main hape saja kerjaanku. Pagi siang malam main hape saja. Sampai sakit mata dan kepala. Memang jadi linglung, dan malas ngapa-ngapain,” tambahnya sambil tertawa kecil. (susan/hm17)