Medan, MISTAR.ID
Pendiri Yayasan Dwituna Harapan Baru, Marilyn Lie, mengungkapkan bahwa niat untuk membantu para anak berkebutuhan ganda tidaklah semudah mengucapkannya. Dalam perjalanannya, ia mengaku menghadapi sejumlah kendala yang cukup berat.
Saat ditemui mistar.id di kantornya, di Jalan Sei Batang Serangan nomor 75, Kelurahan Babura, Kecamatan Medan Baru, Marilyn mengatakan kendala terberat adalah manajemen keuangan.
“Kurikulum fungsional tidak seperti sekolah [reguler] pada umumnya. Kita menyesuaikan kemampuan anak dengan tema yang bergulir. Ada 8 tema per tahunnya dan bagaimana kita mengaplikasikan pembelajaran baik itu sosial, ekonomi, budaya, bahasa, matematika, semuanya, di dalam kehidupan keseharian,” katanya, Kamis (31/10/24).
Mendirikan yayasan bersama empat teman lainnya yang tunanetra, membuat mereka bersepakat memberikan pembelajaran secara praktik bagi anak didiknya. Seperti memasak, bercocok tanam, bahkan mengenali hewan.
Baca juga: HWDI Harapkan RSUP H Adam Malik Terapkan Edukasi Tentang Disabilitas
“Kita cerita mandikan gajah di Sungai Tangkahan. Jangan harap mereka tahu apa Tangkahan, gajah maupun sungai, mereka nggak bisa melihat. Solusinya, bawa mereka langsung, meraba seperti apa gajah dari ujung ke ujung. Masuk ke sungai. Setakut apapun anak, kita tetap dampingi,” terangnya.
Pengurus Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Sumatera Utara (Sumut) ini juga menyebutkan, bahwa hal ini membutuhkan biaya yang cukup besar.
“Kita juga perlu dana BOS (bantuan operasional sekolah). Kalau yang di sini semua dibantu masyarakat sekitar, ada dari perusahaan, ada donatur tetap, donatur tidak tetap dan gedung ini bukan punya kami. Ini pinjaman dari salah satu orang tua murid,” ujarnya.
Marilyn menyebutkan, yayasannya juga akan mengurus izin operasional Sekolah Luar Biasa (SLB). Ia berharap agar segala perizinan yang diperlukan dapat dipermudah.
“Karena katanya, kalau kita nggak ada izin, kita nggak akan dikasih izin lagi untuk beraktivitas,” tuturnya.
Marilyn juga berkeinginan agar ijazah anak didiknya dapat diakui.
Baca juga: Saat Audiensi, Pelayanan RSUP H Adam Malik untuk Disabilitas Dikeluhkan
“Meskipun tidak UN (ujian nasional), jadi dia tetap ada satu surat. Tanda dia sekolah dari lembaganya kita, tapi itu terdaftar di Mendikbud. Supaya kalau dia mau kuliah misalnya ke Singapura itu bisa dipakai,” tuturnya.
Tidak adanya unit layanan disabilitas (ULD), menjadi salah satu penyebab universitas di Indonesia tidak direkomendasikan untuk muridnya melanjutkan pendidikan.
“Sedangkan saya yang tunanetra tunggal mau kuliah saja susah kali. Unit layanan disabilitas nggak ada, library assistant nggak ada, saya gak bisa lihat, gimana mau berjuang sendiri. Kawan-kawan lain mungkin banyak yang bantu. Kalau macam saya ini nggak ada uang, macam mana? Itu yang menjadi perkaranya,” tutupnya. (susan/hm20)