2.3 C
New York
Monday, January 13, 2025

Babi Di Sumut Terancam Habis, Potensi Kerugian Capai Rp4 Triliun

Medan | MISTAR.ID – Kasus kematian babi di Sumatera Utara terus berlanjut. Hingga kini, sedikitnya 27.070 ekor babi telah mati di 16 daerah yang teridentifikasi terserang wabah virus hog cholera atau kolera babi.

Sejauh ini, total kerugian yang dialami warga dan peternak telah mencapai Rp100 miliar. Angka ini diperkirakan naik hingga Rp4 triliun karena sekitar 1,2 juta babi di Sumut terancam habis.

Kepala Balai Veteriner Medan, Agustia mengatakan, angka kematian babi yang diperoleh tersebut masih angka yang terlapor. Pihaknya meyakini, angka kematian babi di Sumut masih lebih tinggi karena diduga banyak warga atau peternak yang belum melaporkan kematian babi mereka.

“Angka ini per 11 Desember kemarin. Sehari sebelumnya masih 25.656 ekor babi yang mati. Dalam sehari naik cukup tinggi,” katanya, Jumat (13/12/19).

Saat ini, hog cholera masih terus mewabah di 16 kabupetan/kota di Sumut yang merupakan kantor ternak babi, yakni Dairi, Humbang Hasundutan, Deli Serdang, Medan, Karo, Toba Samosir, Serdang Bedagai, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Samosir, Simalungun, Pakpak Bharat, Tebing Tinggi, Siantar dan Lagkat. Virus ini sebelumnya dilaporkan menyerang babi di Dairi pada 25 September lalu.

Angka kematian itu sudah dilaporkan ke Direktur Kesehatan Hewan dan Dirjen Peternakan Kementeroan Pertanian setelah dilakukan analisis menyeluruh dari beberapa komponen.

Pertama, dari hasil uji lab ternyata terdapat reaksi terhadap Afrikan Swine Fever (ASF) atau demam babi afrika. Kedua, kajian secara epidemologi, terkait dengan mulai kapan terjadi, berapa yang mati dan sakit, dan ketiga terkait pola dan kecamatan penyebarannya.

Menurutnya, untuk mendeklarasikan atau mengumumkan apakah kematian babi di Sumut diakibatkan ASF, ‘bola’ keputusannya ada di Jakarta. Deklarasi atas penyebab kematian babi di Sumut dampaknya besar dan tidak bisa dilakukan secara serta merta dikeluarkan.

Deklarasi itu, kata dia, apakah dilakukan secara nasional, provinsi atau kabupaten/kota, kata dia, sama-sama punya dampak. “Sumut itu punya 33 kabupaten/kota. Kematian babi ini terjadi hanya di 16 kabupaten. Kita fokus menjaga 16 ini, jangan sampai bertambah,” katanya.

Ketika ditanya apakah jumlah kematian akan terus bertambah, dia tidak menampiknya. “Berdasarkan ilmunya, ini akan habis semua. Karena pemain di case ini hog cholera ada, penyakit bacterial. Ada ASF juga terindikasi,” ungkapnya.

Agustia menambahkan, kematian babi ini pernah terjadi pada tahun 1993-1995 yang disebabkan oleh virus hog cholera. Saat itu, populasi babi di Sumut habis. Seorang tua di Dairi, kata dia, mengatakan saat itu untuk pesta adat masyarakat menggunakan babi hutan.

Ekonom Sumut, Gunawan Benjamin menegaskan, kasus kematian babi di Sumut harus menjadi perhatian serius pemerintah. “Karena kematian babi ini sangat erat kaitannya dengan potensi kenaikan harga pangan yang ada di Sumut,” katanya.

Selain itu, angka kematian yang terus mengalami peningkatan tersebut sangat merugikan para peternak babi. Terlebih, saat menjelang Natal tahun ini, peternak merugi karena penjualan di pasaran tak laku. Bahkan, sekali pun dijual, harganya sangat miring, alias rendah.

Jika mengacu pada data Balai Veteriner Medan, pihaknya memperkirakan kerugian yang dialami peternak babi di Sumut sudah mencapai Rp100 miliar. “Dan jika 1,2 juta populasi babi itu mati semua, maka total kerugian akan mencapai Rp4 triliun,” ungkapnya.

Untuk itu pemerintah harus bertindak segera agar kerugian ini tidak meluas. Jadi langkah utama yang bisa dilakukan dengan segera adalah menyelamatkan daya beli peternak babi terlebih dahulu. Mengingat daya beli mereka terpuruk seiring dengan sulitnya mereka menjual hewan ternak tersebut belakangan ini.

Selanjutnya, pikirkan nasib peternak babi selama kandang tidak bisa digunakan untuk berternak. Kandang babi harus disterilkan dari virus secepat-cepatnya adalah 3 bulan dengan pengawasan ketat, meskipun idealnya (sesuai dengan rekomendasi) itu sekitar 1 tahun.
Waktu selama itu tentunya membuat peternak akan kehilangan daya belinya. Ini akan memperburuk masalah ekonomi masyarakat, khususnya mereka yang beternak babi.

“Untuk itu, kita mendorong pemerintah agar segera memberikan bantuan kebutuhan pokok dasar peternak, serta mengeluarkan anggaran untuk membatasi ruang gerak penyebaran virus tersebut,” paparnya.

“Sementara, untuk menyelamatkan potensi kerugian Rp4 trilun tadi, sebaiknya pemerintah menyiapkan anggaran optimal agar penyebaran virus dan kematian babi bisa dihentikan,” ucapnya.

Dia menambahkan, masalah serangan virus ke babi ini bukan hanya dialami di Sumatera Utara saja. Namun ini merupakan bencana global dimana negara lain pun mengalami hal yang sama. Tetangga terdekat,Thailand juga mengalami masalah serupa.

Untuk itu segera semua pihak atau stakeholder khususnya pemerintah segera turun tangan untuk membatasi penyebaran virus tersebut, agar tidak memicu multiplier efek lainnya yang bisa saja memicu kenaikan harga kebutuhan masyarakat pada umumnya.

Reporter: Daniel Pekuwali
Editor: Luhut Simanjuntak

Related Articles

Latest Articles