23.1 C
New York
Friday, November 1, 2024

Guru-guru Di Myanmar Tolak Mengajar Setelah Sekolah Dibuka

Yangon, MISTAR.ID

Perlawanan kaum sipil terhadap pemerintahan junta Myanmar terus terjadi. Ketika junta memutuskan membuka kembali sekolah-sekolah di Myanmar pada Selasa (1/6/21) sejak militer melakukan kudeta pada awal Februari lalu, jajaran guru dan murid menolak kembali ke sekolah sebagai bentuk penentangan terhadap kudeta militer.

Militer Myanmar melakukan kudeta terhadap pemerintahan Aung San Suu Kyi pada 1 Februari lalu. Gelombang unjuk rasa mengikuti setelahnya, yang tak jarang memicu bentrokan antara pasukan keamanan dan demonstran.

Aksi kekerasan selama gelombang protes telah menewaskan lebih dari 800 pedemo dan melumpuhkan perekonomi serta aktivitas pendidikan Myanmar. Demonstran anti-kudeta di Myanmar berasal dari berbagai elemen masyarakat, mulai dari mahasiswa, guru, pegawai negeri sipil hingga dokter dan tenaga kesehatan lainnya.

Baca juga: Demo Junta, 125 Ribu Lebih Guru di Myanmar Diskorsing

Junta Myanmar berkukuh sekolah harus dibuka kembali pada Selasa ini setelah ditutup sekian lama sejak kudeta dan pandemi Covid-19. Namun banyak guru dan tenaga pengajar yang mengaku tidak mau mengajar selama junta masih berkuasa.

“Saya tidak takut ditangkap atau disiksa,” kata Shwe Nadi, seorang guru dari sebuah sekolah di Yangon, kepada kantor berita media. Nama guru tersebut sudah diubah demi keselamatannya. “Yang saya khawatirkan adalah menjadi guru yang mengajarkan propaganda kepada murid,” sambung dia.

Guru berusia 28 tahun itu telah dipecat dari pekerjaannya karena mengikuti gerakan pembangkangan nasional. Ia adalah satu dari banyak guru dan akademisi yang dipecat karena berani menentang junta militer.

Baca juga: Tandingi Junta Myanmar, Pemerintah Persatuan Nasional Pamer Pasukan Militer Baru

Nu May, bukan nama asli, juga mengaku tidak akan mau kembali mengajar meski sekolah-sekolah sudah kembali dibuka. Guru sekolah dasar itu telah kehilangan penghasilannya karena mengikuti gerakan menentang kudeta.

“Saat saya melihat bagaimana mereka membunuh banyak warga, saya merasa tidak mau kembali mengajar,” ungkapnya. Beberapa korban tewas aksi protes di Myanmar dikabarkan berusia belia. Menurut data kelompok Save the Children, 15 dari 800 lebih korban tewas bentrokan di Myanmar berusia di bawah 16 tahun. (medcom/liputan6/hm09)

Related Articles

Latest Articles