15.8 C
New York
Thursday, May 16, 2024

Ini Alasan Sri Mulyani Soal Naiknya Cukai Rokok, GAPPRI: Perhatikan Amanat UU No39/2007

Jakarta, MISTAR.ID

Memasuki tahun 2021, pemerintah resmi menaikkan tarif cukai rokok. Kenaikan ini mencapai sebesar 12,5 persen, sesuai dengan visi dan misi Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menekankan sumber daya manusia (SDM) maju serta Indonesia unggul.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menjelaskan alasan di balik naiknya cukai rokok di tahun 2021.

“Kita akan naikkan cukai rokok sebesar 12,5 persen. Kebijakan ini merupakan komitmen kita untuk terus berupaya menyeimbangkan berbagai aspek dari cukai hasil tembakau (CHT),” kata Sri Mulyani Indrawati, dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis, 10 Desember 2020.

Baca Juga: Tahun 2021, Cukai Rokok Sah Naik 12,5%

Menkeu merinci untuk industri yang memproduksi sigaret putih mesin (SPM) golongan I naik 18,4 persen, sigaret putih mesin golongan II A naik 16,5 persen, dan sigaret putih mesin naik II B naik 18,1 persen. Kemudian untuk sigaret kretek mesin (SKM) golongan I naik 16,9 persen, sigaret kretek mesin II A naik 13,8 persen, dan sigaret kretek mesin II B naik 15,4 persen.

Sementara itu, untuk industri sigaret kretek tangan tarif cukainya tidak berubah atau tidak dinaikkan yang artinya kenaikannya nol persen karena memiliki unsur tenaga kerja terbesar.

“Dengan komposisi tersebut maka rata-rata kenaikan tarif cukai adalah 12,5 persen,” ujarnya.

Sri Mulyani mengatakan, pemerintah tidak melakukan simplifikasi golongan karena strategi yang diterapkan adalah pengecilan celah tarif antara SKM golongan II A dengan SKM golongan II B serta SPM golongan II A dan SPM golongan II B.

Baca Juga: Kenaikan Tarif Cukai Rokok 2021: Gaprindo Minta di Bawah 5%

“Jadi meski kita tidak melakukan simplifikasi secara drastis atau menggabungkan golongan tapi kami memberikan sinyal ke industri bahwa celah tarif antara II A dan II B untuk SKM maupun SPM semakin diperkecil atau didekatkan tarifnya,” jelasnya.

Sedangkan untuk besaran harga banderol atau harga jual eceran di pasaran, lanjut Sri Mulyani, itu sesuai dengan kenaikan dari tarif masing-masing kelompok tersebut.

Masih kata Sri Mulyani, berbagai kebijakan tersebut dilakukan dalam rangka mengendalikan konsumsi produk hasil tembakau karena dalam RPJMN preferensi merokok khususnya usia 10 sampai 18 tahun ditargetkan turun 8,7 persen pada 2024.

“Kenaikan CHT akan menyebabkan rokok menjadi lebih mahal atau affordability index naik dari tadinya 12,2 persen menjadi antara 13,7 hingga 14 persen sehingga makin tidak terbeli,” katanya.

Baca Juga: Sumut Terima Rp16,60 Miliar Dana Bagi Hasil Cukai Rokok

Tak hanya itu, kebijakan dilakukan juga dalam rangka menjaga 158.552 tenaga kerja di pabrik rokok langsung terutama yang terkonsentrasi pada industri rokok kretek tangan.

Selain itu, pemerintah turut menjaga dari sisi petani penghasil tembakai dengan jumlah 526.389 keluarga atau setara 2,6 juta orang yang bergantung pada pertanian tembakau.

“Besaran kenaikan tarif cukai memperhatikan tingkat serapan tembakau dari petani lokal dengan demikian 526 ribu kepala keluarga yang menggantungkan hidup dari pertanian tembakau bisa tidak terancam oleh kenaikan CHT,” katanya.

Pemerintah turut mempertimbangkan aspek industri yaitu kebijakan bagi UMKM akan diberikan pemihakan melalui alokasi dana bagi hasil (DBH) CHT terutama untuk pembentukan kawasan industri hasil tembakau KIHT yang bertujuan memberikan lokasi bagi UMKM sekaligus mengawasi peredaran rokok ilegal.

“Kalau harga rokok dan CHT semakin tinggi maka memberikan insentif bagi masyarakat memproduksi rokok ilegal yakni rokok yang diproduksi dan diedarkan tidak legal dengan tidak bayar cukai. Semakin tinggi cukainya maka insentif melakukan tindakan ilegal semakin tinggi,” jelasnya.

Harapan Pengusaha

Melansir pemberitaan media beberapa waktu lalu, Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) meminta pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan agar memperhatikan amanat Undang Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai dalam penyusunan rencana kebijakan cukai hasil tembakau (CHT) tahun 2021.

Sebab amanat Pasal 5 Ayat (4) UU tentang Cukai menyebutkan bahwa dalam membuat alternatif kebijakan mengoptimalkan target penerimaan.

Ketua Umum Perkumpulan GAPPRI, Henry Najoan mengatakan, menteri yang bersangkutan harus memperhatikan kondisi industri dan aspirasi pelaku usaha industri.

”Penentuan besaran target penerimaan negara dari cukai pada RAPBN dan alternatif kebijakan menteri dalam mengoptimalkan upaya mencapai target penerimaan, seharusnya dengan memperhatikan kondisi industri dan aspirasi pelaku usaha industri, dan disampaikan kepada DPR untuk mendapat persetujuan,” ujarnya dalam keterangan resmi, pada tanggal 25 November 2020 lalu.

Dalam catatan Perkumpulan GAPPRI, pertama selama ini pemerintah belum menjalankan amanat UU tentang Cukai. Sebab aspirasi dan kondisi industri selama ini tidak mendapat perhatian dalam penentuan kebijakan cukai 2021.

“Sementara ratusan pabrik rokok sudah menutup operasi dan sebagian kecil yang masih survive kehilangan konsumen akibat tingginya harga rokok,” ucapnya.

Henry menegaskan lima dimensi yang dikemukakan Menteri Keuangan Sri Mulyani sebagaimana marak berbagai media tidak menyebutkan pelaku industri sebagai dimensi penting dalam rencana membuat kebijakan CHT 2021.

Kedua, rencana Kementerian Keuangan menaikkan tarif CHT 2021 antara 13 persen sampai 20 persen sebagaimana disampaikan di media massa kurang tepat di tengah pelemahan kinerja industri hasil tembakau (IHT).

“Kenaikan tarif CHT 2020 yang sangat tinggi dan pelemahan daya beli akibat pandemi Covid-19 salah satu berdampak pada sektor IHT,” ucapnya.

Ketiga, rencana kebijakan kenaikan tarif CHT belum pernah dikomunikasikan dengan pelaku usaha. Sebab Perkumpulan GAPPRI berharap sebaiknya perumusan kebijakan tersebut dilakukan secara transparan dan terukur, tidak mengorbankan IHT

Ke depan Perkumpulan GAPPRI berharap IHT diberikan kesempatan untuk melakukan pemulihan paling sedikit dua tahun. Pihaknya juga berharap pemerintah agar mendengar aspirasi pelaku usaha, sehingga pertimbangan objektif akan menjadi lebih bijak dan harmonis.

“Salah satu aspirasi pelaku usaha yang patut dipertimbangkan adalah tidak menaikkan cukai hasil tembakau rokok setelah tahun ini. Sebab, IHT dua kali dihantam badai. Badai akibat kenaikan cukai 23 persen dan harga jual eceran (HJE) 35 persen dan pandemi Covid-19,” ucapnya.

Henry menyebut tidak adanya kenaikan CHT akan mempercepat recovery bagi IHT. Adapun percepatan recovery juga selaras dengan program pemerintah yang tengah fokus melakukan program pemulihan ekonomi nasional (PEN) akibat pandemi.

“Pemulihan ekonomi yang semakin cepat, akan menyelamatkan ratusan ribu hingga jutaan tenaga kerja sektor industri hasil tembakau,” ucapnya.(pikiranrakyat/republika/hm02)

 

 

Related Articles

Latest Articles