16 C
New York
Saturday, May 4, 2024

DPR Usul Cetak Uang Rp600 T dan Mantan Menperindag Usul Rp4.000 T, Ekonom: Jangan Mau BI

Jakarta, MISTAR.ID

Bank Indonesia (BI) diusulkan untuk mencetak ribuan triliun uang tunai guna menyelamatkan ekonomi di tengah pandemi virus corona.

Usulan itu datang dari mantan Menteri Perdagangan RI Gita Wirjawan dengan usulan mencetak uang Rp4.000 triliun, usul satunya lagi dari Badan Anggaran DPR RI dengan usulan mencetak uang antara Rp400 hingga Rp600 triliun.

Kata Gita Wirjawan, nantinya uang tersebut tidak hanya digunakan untuk memberi stimulus, tapi juga untuk restrukturisasi penyelamatan sektor riil dan UMKM.

“Kebijakan pencetakan uang tersebut tidak akan menimbulkan inflasi karena uang yang disalurkan ke masyarakat. Hanya untuk menjamin kebutuhan dasar, bukan untuk meningkatkan gaya hidup,” ujar Mantan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, Sabtu (2/5/20).

Di sisi lain, Gita mengapresiasi langkah pemerintah untuk penyelamatan ekonomi yang terdampak Covid-19, meski stimulus yang diberikan masih kurang, ia berpendapat, harus ada kebijakan tidak biasa yang harus diambil pemerintah, yakni pencetakan uang.

“Meski diakui bertentangan dengan apa yang diajarkan selama ini, kebijakan pencetakan uang dianggap sebagai satu satunya alternatif untuk mencapai likuiditas yang dibutuhkan negara,” ujarnya.

“Uang tersebut tidak hanya digunakan untuk memberi stimulus pada mereka yang kehilangan pendapatan, tapi juga untuk restrukturisasi penyelamatan sector riil dan UMKM,” ujar Gita, dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (2/5/20).

Menteri Perdagangan periode 2011-2014 ini menekankan kebijakan pencetakan uang tersebut tidak akan menimbulkan inflasi karena uang yang disalurkan ke masyarakat. Hanya untuk menjamin kebutuhan dasar, bukan untuk meningkatkan gaya hidup.

Kekhawatiran lain soal depresiasi Rupiah melemah dihadapan mata uang lain, menurut Gita juga tak perlu. Sebab, banyak negara kini mencetak uang untuk mencukupi kebutuhan ekonomi dalam negerinya.

Gita juga menepis kekhawatiran banyak pihak adanya moral hazard dalam pencetakan uang. Yakni dengan memperketat koordinasi pusat dan daerah dalam menentukan kanalisasi penyaluran bantuan.

DPR Usul Cetak Rp600 Triliun

Sementara, Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengusulkan kepada BI untuk mencetak uang sebesar Rp400-600 triliun guna menyelamatkan perekonomian Indonesia di tengah pandemi virus corona.

Terkait usulan tersebut ekonom Bank Permata Josua Pardede mengingatkan Bank Indonesia sederet risiko yang akan timbul jika bank sentral nekat mencetak uang lebih banyak dari biasanya. Salah satu dampak tersebut ialah inflasi.

Peredaran uang yang tinggi namun tidak dibarengi pasokan produksi bisa membuat harga barang melonjak dan daya beli turun.

Josua yakin produk barang bakal berkurang karena harga tinggi. Efek dominonya, perusahaan bisa mengurangi jumlah tenaga kerja. Dampak lainnya, perekonomian merosot dan investasi tidak lagi menggairahkan. Jika BI mencetak uang dengan langkah yang tidak cermat maka stabilitas rupiah akan terganggu.

“BI juga menghindari kondisi seperti kejadian BLBI banyak penyelewengan. Kita harus banyak belajar dari pengalaman. Langkah BI saat ini sudah tepat dengan tidak mencetak uang,” kata Josua di Jakarta, belum lama ini.

Hal senada disampaikan oleh ekonom senior Rizal Ramli yang mengingatkan dampak buruk bagi perekonomian Tanah Air apabila cetak uang benar dilakukan.

“Amerika dan Jepang misalnya, mereka kuat secara ekonomi, jadi sah-sah saja mau melakukan macro pumping. Kalau kita (RI) mau ikut gaya yang sama: jangan mimpi! Ini bisa jadi sumber bancakan baru seperti yang pernah terjadi, yakni Skandal BLBI, di mana saat itu recovery hanya sebesar 25%. Kalau begitu nanti siapa yang mau tanggung jawab?” cuit Rizal dalam akun Twitter @RamliRizal.

Meski demikian, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memastikan pihaknya tidak akan mencetak uang tambahan untuk menambah dana maupun likuiditas perbankan atau menambal defisit anggaran pemerintah. Pertimbangannya, ia tidak ingin mengulang kasus BLBI yang menyebabkan inflasi hingga 67 persen.

“Salah satunya, BLBI kan bank sentral mengedarkan uang, penggantinya dikasih surat utang pemerintah. Surat utang pemerintahnya tidak kredibel, tidak kredibel karena suku bunga mendekati nol. Kemudian inflasi naik, bank sentral tidak menyerap surat utang pemerintah, likuiditas. Di tahun 98-99 inflasinya 67 persen, itu yang disebut pencetakan uang,” kenang Perry.

Dalam hal ini, BI lebih memilih melakukan kebijakan moneter lain demi menambah likuiditas. Seperti menurunkan giro wajib minimum (GWM) hingga membeli SBN di pasar sekunder. Perluasan operasi moneter juga dilakukan demi menambah likuiditas.

Selama Januari hingga April 2020, BI telah menggelontorkan Rp503,8 triliun melalui langkah quantitative easing guna mencukupi ketersediaan likuiditas perbankan di tengah pelamahan ekonomi akibat pandemi corona.*

Sumber : Okezone/Warta Ekonomi
Editor : Herman

Related Articles

Latest Articles