23.3 C
New York
Wednesday, July 24, 2024

Kisah Ngadiman, Tukang Jahit Sepatu di Bawah Jembatan Tol

Medan, MISTAR.ID

Di usia 68 tahun, Ngadiman tetap bertahan menjalani kehidupan dengan penuh semangat, meski raga sudah tak sekuat dulu.

Pria yang beralamat di Mabar Hilir, Kecamatan Medan Deli, Kota Medan persis di dekat Sekolah Pelita, menjalani profesi sebagai tukang jahit sepatu selama 6 tahun terakhir.

Pilihan ini bukanlah karena keinginan, tetapi karena kondisi yang memaksanya untuk tetap bertahan hidup.

Baca juga:Ajaran Baru Sekolah, Tukang Jahit Sepatu di Deli Serdang Kebanjiran Order

Sebelum menjadi tukang jahit sepatu, Ngadiman bekerja sebagai tukang pikul, pekerjaan yang menuntut kekuatan fisik. Namun, seiring bertambahnya usia, tubuhnya mulai kehilangan kekuatan, dan harus meninggalkan pekerjaan berat itu.

Ngadiman kini membuka usaha jahit sepatunya di bawah jembatan tol di Jalan Irian Barat, Desa Sampali, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang. Lokasi ini dipilih, karena di sekitar rumahnya sudah banyak teman yang lebih dahulu membuka usaha serupa, membuat persaingan semakin ketat.

“Keahlian menjahit sepatu saya peroleh dari almarhum abang ipar. Tapi kini beliau telah meninggal, dan memberikan warisan keterampilan yang kini menjadi sandaran hidup,” ungkap Ngadiman saat ditemui mistar.id di lapak kecilnya, pada Rabu (24/7/24).

Dalam kesederhanaannya, Ngadiman menetapkan tarif yang bervariasi untuk setiap jahitan tergantung pada kesulitannya.

Baca juga:Penjualan Sepatu Anak Sekolah Meningkat di Medan Jelang Tahun Ajaran Baru

“Sepatu biasa dikenakan biaya Rp 20.000, yang lebih rumit Rp 25.000, dan selop (sandal) Rp 15.000,” katanya.

Soal pendapatan, Ngadiman mengaku, hasilnya tak menentu setiap hari. “Kalau sepi, hanya sepasang sepatu, bahkan kadang tidak ada sama sekali. Tapi, sewaktu ramai, saya bisa menangani hingga 10 pasang sepatu. Itu bisa saya selesaikan dalam sehari,” jelasnya.

Hari ini, keberuntungan sedikit berpihak padanya dengan 4 pasang sepatu yang telah selesai diperbaiki.

Meskipun keterbatasan alat dan usia yang tidak lagi muda, Ngadiman tetap cekatan dalam pekerjaannya. Mengandalkan jarum jahit sepatu, benang nylon, sabun untuk mempermudah memasukkan jarum, dan lem setan agar merekatkan bagian-bagian sepatu sebelum dijahit.

Baca juga:Semangat Tak Pernah Pudar, Lasdi Mampu Nafkahi dan Sekolahkan 5 Anak dari Menjahit Sepatu

“Saya bekerja dari pagi hingga sore hari, dari pukul 08.30 hingga 17.00 WIB,” sambung pria kelahiran Tanjung Morawa ini.

Usahanya diberi nama ‘Remek Yem’, diambil dari bahasa Jawa yang berarti ‘ancur’ (remek) dan ‘nur’ (yem). Dengan senyum kecil, Ngadiman menjelaskan alasannya memilih nama tersebut.

“Iseng aja. Dulu juga pernah jualan es serut dan jagung bakar, saya beri nama ya Remek Yem,” jelas Ngadiman.

Dalam setiap jahitan sepatunya, Ngadiman menenun kisah perjuangan hidupnya yang penuh liku. Di bawah kolong jalan tol yang kerap sepi, ia tetap berjuang. (azmie/hm16)

Related Articles

Latest Articles