16.9 C
New York
Sunday, October 6, 2024

Kisah Inspiratif Juliana, Si Perempuan Rimba Melawan Pernikahan Dini

Jambi, MISTAR.ID

Butuh perjuangan berat untuk mengenyam pendidikan sampai level perguruan tinggi. Terkhusus bagi Seorang perempuan Orang Rimba. Hadangan tak hanya datang dari lingkungan sekitar, tetapi justru datang dari keluarga dekat dan aturan adat. Banyak diantara perempuan Orang Rimba yang putus sekolah dan menikah sesuai pilihan orangtua.

Berbeda dengan Juliana (20) yang berani melawan arus. Perempuan rimba dari kelompok Dusun Kelukup, Desa Dwi Karya Bakti, Kecamatan Pelepat, Bungo kini berkuliah di Universitas Muhammadiyah Jambi.

“Saya mau kuliah, karena sadar hutan bukan lagi masa depan,” kata Juliana dikutip dari Kompas.com, Minggu (17/7/22).

Juliana menceritakan kisahnya, sejak lahir dirinya sudah tinggal di luar hutan. Keahlian untuk bertahan hidup di hutan menjadi minim. Kelompok ini sudah tidak memiliki hutan. Untuk itu mereka tinggal di perumahan bantuan pemerintah.

Keputusan keluarga untuk mualaf serentak pada 2014 lalu, juga mendorong dirinya untuk memiliki keahlian baru.

Baca juga:Butet Manurung Masuk 12 Wanita Panutan Versi Berbie

“Saya pilih kuliah di Universitas Muhammadiyah dan ambil jurusan kehutanan,” kata Juliana. Usai menamatkan gelar sarjana, dirinya ingin bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang konservasi hutan.

Dengan bekerja di perusahaan konservasi hutan, Juliana ingin membantu Orang Rimba lain, agar dapat hidup tenang dalam hutan, tanpa takut deforestasi atau alih fungsi lahan. Pernikahan dini

Keinginan kuliah ini, sambung Juliana, harus mulus sampai akhir. Setidaknya, dia dapat menginspirasi perempuan rimba lain, agar tidak melakukan pernikahan dini.

“Takut Bang. Adat kami keras, kalau melawan adat itu kena denda (tebus) dan maaf (perempuan) Rimba bisa mendapatkan kekerasan fisik dari keluarga,” kata Juliana dengan nada berat.

Ia mencontohkan kasus yang terjadi pada dirinya. Sebelum kuliah, dia sudah dipinang sesorang pria kepada pamannya. Adat matrilineal Orang Rimba, seorang paman dapat menerima atau menolak lamaran seorang lelaki terhadap anak perempuan yang berada dalam pengaruhnya. Dalam konteks ini, perempuan Rimba berada dalam kendali paman dan nenek (garis ibu) terkait urusan pernikahan.

Apabila melawan keputusan sang paman, maka Kedua orangtuanya harus membayar tebusan (denda adat) sampai dua kali lipat, sesuai mahar yang dibayarkan oleh pihak lelaki rimba.

“Rasa cinta Ayah begitu besar. Dia sanggup jual kebun, untuk membayar tebusan (denda adat) agar saya tetap kuliah dan batal menikah,” kata Juliana dengan butiran kristal di sudut matanya.

Bagi perempuan rimba, untuk sampai pada titik orangtua membayar tebus perjodohan (lamaran) itu tidak mudah, tentu harus memiliki keberanian dan keberuntungan. Juliana memiliki keduanya, berani dan beruntung. Dia berani mengutarakan mimpinya untuk kuliah.

Dia juga beruntung, karena lelaki yang melamarnya, apabila jadi menikah, akan membawanya jauh dari kedua orangtuanya.

“Takut juga. Tapi karena dorongan kuat untuk kuliah dan Pundi Sumatera (NGO pendamping Orang Rimba), akhirnya berani juga, untuk melawan tradisi,” kata Juliana.

Baca juga:Geger! Tulang Belulang Manusia Ditemukan di Perladangan Tanah Pinem Dairi

Pernikahan dini di kalangan Orang Rimba sudah mentradisi. Juliana menuturkan, sepupunya menikah di usia 16 tahun saat duduk di kelas dua SMK. Teman dekat lainnya, yang putus sekolah adalah Warnani, karena menikah di usia 14 tahun saat duduk di kelas 2 SMP.

“Yang paling muda itu ada Abriani, kelas 5 SD sudah nikah. Itu belum baliqh,” sebut Juliana.

Tantangan lain dari Juliana untuk kuliah adalah rayuan dari kakak tertua, Edison. Dia membujuk Juliana dengan memberikan 3 hektar sawit, jika ingin berhenti kuliah.

“Tidak mau kebun sawit. Walaupun dikasih 100 hektar plus mobil, tetap saya pilih kuliah,” kata anak kedua dari 4 saudara ini.

Tidak hanya rayuan, Anak perempuan dari ayah bernama Samsu ini, menjadi korban bahan olok-olokan (bullying) dari kerabat dekat atau ibu-ibu di tempat Juliana berasal.

“Kamu ngapain kuliah, nanti juga balik ke hutan (dusun), balik ke dapur. Enaklah berhenti kuliah bantu orangtua kerja. Kasihan sama orangtua harus kerja keras,” kata Juliana.

Perkataan dari orang-orang ini membuat remuk hati Juliana. Sehingga memunculkan hasrat untuk kembali ke kampung dan berhenti kuliah.

“Saat-saat genting itu, kakak-kakak pendamping dari Pundi Sumatera menguatkan, meminta saya jangan menyerah,” kata perempuan yang sudah kuliah 4 semester ini.
Pandemi ujian berat Perempuan berhijab ini menuturkan, saat baru masuk kuliah bertepatan dengan pandemi dan harus menjalani kuliah jarak jauh (online). Uang kuliah memang beasiswa, kata Juliana, tetapi peralatan kuliah seperti ponsel pintar wajib ada.
“Sempat enggak bisa kuliah karena tidak punya handphone. Orangtua kuras tabungan, untuk beli,” kata Juliana. Setelah memiliki ponsel, ia juga kebingungan karena pertama kali menggunakan ponsel dan kuliah dengan sistem online.

Dengan pendampingan dari lembaga pemberdayaan masyarakat adat, Pundi Sumatera, Juliana dengan cepat menguasai teknologi. “Tantangan kuliah saat pandemi, ya susah sinyal dan mati lampu,” kata perempuan yang memiliki ibu bernama Benang ini.

CEO Yayasan Pundi Sumatera, Dewi Yunita Widiarti menuturkan lembaga yang dia pimpin fokus pada layanan pendidikan, melalui kegiatan sekolah alam dan fasilitasi pendidikan ke sekolah formal. Kemudian program pendampingan dan pemberdayaan yang dilakukan Pundi Sumatera pada komunitas Suku Anak Dalam (SAD) atau Orang Rimba sejak 2012.

“Tidak mudah membuat perempuan Orang Rimba kuliah, karena rata-rata usia 18 tahun sudah menikah. Lebih dari itu dianggap perawan tua,” kata Dewi.

Baru-baru ini ada 3 orang yang putus sekolah karena harus menikah. Bahkan perempuan rimba ini, menangis-nangis meminta Pundi Sumatera “menggagalkan” pernikahan mereka karena ingin sekolah.

Baca juga:Pengukuhan Pengurus FOKUWS: Wartawan Harus Jadi Penyampai Informasi Berimbang

“Kami dengan pemerintah daerah, bersama-sama mau membatalkan pernikahan perempuan rimba. Tapi gagal karena berlaku hukum adat dan denda adat,” kata Dewi.
Selain adanya tradisi dan hukum adat Orang Rimba yang kuat, pernikahan perempuan rimba sejak dini, dapat mengurangi beban orangtua terkait tekanan ekonomi. Dengan adanya Juliana yang memiliki keinginan kuat untuk kuliah, maka Pundi Sumatera mendukung penuh seluruh biaya kuliahnya.

“Mulai dari uang kampus sampai duit buku, uang makan dan jajan kita tanggung. Kita kasih beasiswa full,” kata Dewi. Dewi mengatakan, Juliana memilih kehutanan karena merasa lebih mudah dan dekat dengan dirinya. Juliana memilih sendiri tanpa paksaan. (kompas/hm06)

 

Related Articles

Latest Articles