11.2 C
New York
Saturday, May 11, 2024

KPPU Minta Pemerintah Waspadai Dampak Negatif DMO dan DPO pada Petani Sawit

Medan, MISTAR.ID

Sejak 27 Januari 2022, Kementerian Perdagangan menerapkan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) untuk terus menjaga dan memenuhi ketersediaan minyak goreng dengan harga terjangkau di pasar.

Mekanisme kebijakan DMO atau kewajiban pasokan ke dalam negeri berlaku wajib untuk seluruh produsen minyak goreng yang akan melakukan ekspor. Nantinya, seluruh eksportir yang akan mengekspor wajib memasok minyak goreng ke dalam negeri sebesar 20 persen dari volume ekspor mereka masing-masing. Selain itu dengan kebijakan DPO, akan ditetapkan pembatasan harga pasar domestik sebesar Rp9.300 per kg untuk CPO dan Rp10.300 per liter.

Menanggapi kebijakan tersebut, Kepala Kanwil I KPPU Ridho Pamungkas mengingatkan kepada pemerintah untuk mewaspadai dampak negatif yang bisa dirasakan oleh petani sawit. Harga CPO di pasar domestik yang sebelumnya berkisar Rp15.000 per kilogram, kini turun di angka Rp9.300 per kilogram.

Baca Juga:Harga Minyak Goreng Akan Disubsidi, Ini Respon Petani Sawit

Secara otomatis akan menekan harga TBS milik petani kelapa sawit berkisar antara Rp350-1.000 per kilogram (kg). Berbeda-beda antara satu tempat dengan tempat lainnya, tergantung kebijakan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) di masing-masing tempat. Sementara harga CPO internasional paska kebijakan DMO justru semakin melonjak karena pelaku pasar melihat potensi penurunan pasokan dari Indonesia.

“Dengan semakin tingginya Gap antara harga TBS dengan harga CPO internasional, di satu sisi akan menguntungkan bagi pelaku usaha yang dapat menikmati gap tersebut. Ambil contoh, perusahaan terintegrasi yang memiliki PKS, mereka dapat membeli PKS dengan harga murah, lalu menjual CPO dengan harga tinggi di pasar internasional. Sementara yang 20 untuk pasar domestik mereka juga tidak rugi. Pertanyaannya, CPO yang untuk DMO minyak goreng ini hasil TBS dari perusahaan atau petani rakyat,” ujar Ridho, Kamis (3/2/22).

Menurut Ridho ada baiknya diatur agar DMO untuk minyak goreng disuplai dari pabrik perkebunan yang besar saja karena sudah lebih dari cukup, bahkan masih banyak sisanya. Sehingga tidak menjadi alasan untuk menekan harga TBS. Sedangkan produksi dari petani rakyat biar untuk ekspor sehingga mereka tetap dapat menikmati keuntungan dari kenaikan harga CPO internasional. Apalagi mereka masih berhadapan dengan lonjakan harga pupuk yang masih belum teratasi.

Baca Juga:Harga CPO Diprediksi Masih Tinggi Tahun 2022

Terlepas dari potensi dampak negatif tersebut, Ridho mengatakan bahwa kebijakan Kemendag sejatinya masih belum menyentuh persoalan mendasar. Yakni struktur pasar minyak goreng yang masih dikuasai oleh segelintir perusahaan besar. Padahal, minyak goreng dibutuhkan seluruh masyarakat rumah tangga bahkan industri. KPPU pun mendorong pemerintah untuk menghilangkan hambatan bagi pelaku usaha agar industri minyak goreng terus bertambah sehingga memperketat persaingan dengan mencegah kemungkinan adanya oligopoli pasar.

Lebih lanjut Ridho menjelaskan bahwa sebelumnya, KPPU Pusat telah memutuskan untuk melanjutkan hasil penelitian ke ranah penegakan hukum. Khususnya dalam mengidentifikasi berbagai perilaku yang mengarah pada dugaan pelanggaran UU no 5/99. Berbagai fakta kelangkaan, potensi penimbunan atau sinyal-sinyal harga atau perilaku di pasar akan menjadi bagian dari pendalaman.

Terpisah, Pengamat Ekonomi Sumatera Utara (Sumut) Gunawan Benjamin menambahkan kebijakan pemerintah yang memberlakukan DPO (domestic price obligation) sebesar Rp9.300 per liter untuk CPO tentunya akan mendapatkan resistensi atau penolakan para petani (sawit).

Meskipun dibarengi dengan kebijakan menerapkan DMO (domestic market obligation) sebesar 20% disisi lainnya. Artinya memang pemerintah tidak membuat kebijakan pembatasan 100% terhadap produk sawit dan turunannya untuk di ekspor.
“Namun kebijakan tersebut diambil untuk menyelamatkan konsumen atau para ibu rumah tangga dari mahalnya harga minyak goreng saat ini. Akan tetapi, sekalipun hanya sekitar 20% saja yang diperuntukkan dan dikenakan dengan harga sesuai DPO, tetap saja akan berpeluang menekan harga TBS di tingkat petani,” sebutnya.

Baca Juga:Harga Minyak Goreng Mahal Imbas Kenaikan CPO

Dijelaskan Dosen UISU ini, sekalipun perhitungan harga CPO domestik nantinya mengacu kepada harga di Rotterdam, bukan harga DPO dari kementerian perdagangan. Hal ini tetap saja bisa membuat pengusaha akan menghitung potensi rata-rata kerugian (potential lost), dari potensi keuntungan yang seharusnya didapat seandainya mereka menjual CPO dengan harga yang lebih mahal saat di ekspor tanpa harga DPO.

“Artinya pengusaha bisa saja membebankan ke harga TBS, dengan mengurangi harga pembelian TBS dari petani, dikarenakan potensi pendapatan yang tidak maksimal dikarenakan adanya kebijakan DMO atau DPO tersebut. Akan tetapi semuanya ini sangat bergantung pada implementasi kebijakan itu sendiri nantinya. Jadi kita belum bisa menyimpulkan sepenuhnya berapa presentasi penurunan harga TBS dikarenakan kebijakan tersebut. Menurut hemat saya pemerintah pada dasarnya tengah berhadapan dengan kebijakan yang dilematis,” pungkasnya. (anita/hm12)

Related Articles

Latest Articles