11.4 C
New York
Saturday, May 4, 2024

Polemik Politik Siantar, Menanti Ketegasan Mendagri

Oleh: Jalatua Hasugian

Bukan Pematangsiantar namanya jika beragam urusan politik tak jadi polemik! Ungkapan ini sekaligus menegaskan, bahwa tingginya dinamika politik di kota berhawa sejuk ini kerap membetot perhatian publik. Khususnya selama kurun waktu dua dekade terakhir. Di kota ini walikotanya pernah dua kali dinonaktifkan dan pernah pula jabatan Sekda dijalankan oleh dua orang sekaligus dalam waktu yang sama. Uniknya, semua keputusan kedua pejabat Sekda tersebut tetap berlaku, baik administrasi pegawai maupun administrasi pemerintahan.

Di Pematangsiantar juga bukan hal aneh jika DPRD kerap tak sejalan dengan walikota, bahkan sampai berujung terhadap upaya memakzulkan. Dinamika politik di Pematangsiantar juga pernah riuh berkepanjangan akibat polemik kasus notulensi palsu yang melibatkan pimpinan dewan. Pilkada Pematangsiantar juga pernah diikuti banyak peminat, sampai 10 pasangan calon (2010). Namun pada Pilkada 2020 lalu amat minim peminat, sehingga cuma ada 1 pasangan calon (2020). Bahkan, petahana pun tak kebagian kapal!

Pematangsiantar pernah mengalami penundaan Pilkada terlama di Indonesia (hampir setahun) akibat adanya gugatan pasangan calon yang dicoret Komisi Pemilihan Umum (KPU). Gugatan ini menyebabkan polemik berkepanjangan karena harus menunggu putusan inkracht dari Mahkamah Agung (MA).
Di samping hal unik soal polemik politik, ada hal lain yang paling membuat siapa pun terenyuh dan bersedih. Di mana selama dua periode berturut, walikota terpilih meninggal dunia sebelum dilantik, yakni Hulman Sitorus (2016) dan Asner Silalahi (2020). Jika sebelumnya, pasangan Hulman Sitorus/Hefriansyah hanya diusung satu parpol, pada Pilkada 2020, pasangan Asner Silalahi/Susanti Dewayani diusung seluruh parpol pemilik kursi DPRD yang berjumlah 8 parpol.

Kembali ke masalah keunikan, belum lagi jelas kapan pelantikan Wakil Walikota terpilih karena masih harus menunggu keputusan dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), sudah banyak pihak yang berminat menjadi Wakil Walikota. Tentu saja, kenyataan ini akan memicu kenaikan suhu politik yang dampaknya kembali akan menimbulkan polemik. Tapi, itulah realitas Kota Pematangsiantar, politik selalu segaris dengan polemik!

Polemik Pemberhentian Walikota

Hasil Pilkada Kota Pematangsiantar 2020 telah diserahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) kepada DPRD. Tindaklanjutnya, DPRD telah menggelar Rapat Paripurna pada Jumat (29/1/21) lalu. Hasil rapat telah memutuskan pengusulan pengesahan dan pengangkatan Wakil Walikota terpilih, Susanti Dewayani kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) melalui Gubernur Sumatera Utara. Meski mengusulkan pengangkatan Wakil Walikota hasil Pilkada 2020, tetapi DPRD tidak berani mengusulkan pemberhentian Walikota/Wakil Walikota hasil Pilkada 2106.

Sebab sesuai Surat Keputusan (SK) pelantikan yang dibacakan Gubernur Sumatera Utara saat itu, Tengku Erry Nuradi, disebutkan akhir masa jabatan mereka sampai tahun 2022.
Pengusulan Susanti Dewayani sebagai Wakil Walikota, diakibatkan meninggalnya Walikota terpilih, Asner Silalahi sebelum sempat dilantik. Peristiwa serupa, pernah terjadi ketika Walikota terpilih hasil Pilkada 2016, Hulman Sitorus meninggal dunia sebelum sempat dilantik.

Akibatnya, Hefriansyah saat dilantik pada 22 Februari 2017, awalnya dilantik sebagai Wakil Walikota, dan 6 bulan kemudian dilantik sebagai Walikota. Togar Sitorus selaku penggantinya sebagai Wakil Walikota, baru pada 12 Januari 2018 dilantik, setelah melalui proses pemilihan di DPRD.

Saat rapat paripurna akhir Januari lalu, di DPRD terjadi perdebatan menyikapi usul pemberhentian Walikota. Sebab menurut UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda), pasal 78 ayat (1), pemberhentian kepala daerah/wakil kepala daerah diatur hanya karena: meninggal dunia, permintaan sendiri dan diberhentikan dan tidak ada disebutkan karena Pilkada sudah digelar.

Penjelasan lanjutan pada ayat (2) tentang frasa “diberhentikan” antara lain karena: berakhir masa jabatan; berhalangan tetap; melanggar sumpah/janji jabatan; melanggar larangan; melakukan perbuatan tercela; diberi tugas dalam jabatan tertentu oleh Presiden; menggunakan dokumen/keterangan palsu saat mencalonkan kepala daerah dan mendapatkan sanksi pemberhentian.

Dari sejumlah item tersebut, tak satu pun butir yang dianggap tepat sebagai landasan hukum pemberhentian Walikota/Wakil Walikota yang masih menjabat saat ini. Sementara hasil Pilkada 2020 sudah diserahkan KPU kepada DPRD dan sesuai UU Pilkada, dalam waktu 5 hari DPRD harus menindaklanjutinya. Akhirnya, solusi yang ditempuh DPRD adalah tidak mengusulkan pemberhentian Walikota/Wakilnya, menunggu ketetapan lebih lanjut dari Mendagri. Namun di sisi lain, DPRD tetap mengusulkan pengesahan/pengangkatan Susanti Dewayani sebagai Wakil Walikota.

Jika merujuk pada pasal 202 UU No.8/2015 tentang Perubahan Atas UU No.1/2015 tentang Perppu No.1/2014 tentang Pilkada, disebutkan bahwa Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati serta Walikota/Wakil Walikota yang tidak sampai satu periode akibat ketentuan Pasal 201 diberi konpensasi uang sebesar gaji pokok dikalikan jumlah bulan yang tersisa serta mendapatkan hak pensiun untuk satu periode.

Namun yang jadi masalah, pasal 201 yang dimaksud pada pasal 202 tersebut, sama sekali tidak ada mengatur tentang Pilkada yang tertunda. Artinya, Pilkada dianggap berjalan normal (serentak) tanpa ada daerah yang tertunda. Sebab jelas terbaca bahwa semua butir pada ayat 201 adalah untuk mengatur tentang pelaksanaan Pilkada serentak. Saat pasal 201 UU No.8/2015 direvisi menjadi UU.No.10/2016, masalah Pilkada yang tertunda juga tak disinggung sama sekali. Padahal, saat UU No.8/2015 direvisi, sudah ada sejumlah daerah yang Pilkadanya tertunda, bahkan yang terlama adalah Kota Pematangsiantar. Agaknya DPR+Pemerintah selaku lembaga pembuat UU, tak memprediksi celah hukum yang kosong ini akan menimbulkan polemik di kemudian hari.

Seandainya DPR jeli ketika itu, dan mempertegas status Pilkada yang tertunda, tentu DPRD Pematangsiantar saat ini tidak gamang mengambil sikap. Bagaimanapun, keputusan DPRD mengusulkan pengangkatan kepala daerah yang baru, sementara tidak mengusulkan pemberhentian kepala daerah yang lama merupakan sikap politik yang unik. Sejatinya, DPRD tetap mengusulkan pengangkatan kepala daerah yang baru sekaligus mengusulkan pemberhentian kepala daerah yang lama. Mengapa? Karena toh akhirnya keputusan final ada di pemerintah atasan, yakni Mendagri, bukan di DPRD.

Sebab kalaupun mereka mengajukan usulan pengesahan dan pengangkatan kepala daerah yang baru, tak mungkin usulan itu dipenuhi pemerintah atasan tanpa adanya usulan pemberhentian kepala daerah yang lama. Satu sisi, DPRD telah komit menindaklanjuti hasil kerja KPU dan memberikan harapan pada kepala daerah terpilih. Namun di sisi lain, DPRD tampak gamang karena minimnya referensi regulasi untuk memberhentikan kepala daerah saat ini. Sebab masa jabatan mereka masih ada setahun lagi.

Kemendagri tentu bukan lembaga pembuat atau penafsir undang-undang, sehingga mereka juga membutuhkan konsultasi, misalnya ke Menteri Hukum bahkan bila perlu ke Mahkamah Agung maupun ahli-ahli hukum tata negara. Kemendagri tentu tidak ingin keputusan mereka menuai gugatan di kemudian hari, sehingga prinsip kehati-hatian pasti ditempuh. Adanya perdebatan hukum dalam penentuan masalah akhir masa jabatan kepala daerah yang sedang menjabat saat ini tak bisa dihindari, apalagi dianggap sepele.

Apakah pasal 202 UU Pilkada No.8/2015 (tentang uang konpensasi) serta-merta langsung bisa diberlakukan terhadap Walikota/Wakil Walikota Pematangsiantar, yang notabene Pilkadanya berlangsung tahun 2016? Sebab jika merujuk pada pasal 201 UU Pilkada No.10/2016, pada butir 7 disebutkan: Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati serta Walikota/Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024. Artinya, ada ketidakpastian hukum dalam hal ini, yakni apakah pengaturan uang konpensasi berlaku bagi seluruh hasil Pilkada, atau hanya hasil Pilkada serentak 2020 saja?

Jika mencermati pasal 201 pada UU No.8/2015 dan revisi pasal 201 pada UU No.10/2016, secara tersirat, pasal 201 dimaksudkan untuk hasil Pilkada 2020. Sedangkan kepala daerah kota Pematangsiantar yang menjabat saat ini merupakan produk Pilkada 2016. Kalau pun akan ‘dipaksakan’ menggunakan pasal 201 pada UU No.8/2015, tentu hal ini juga akan berbenturan dengan UU No.23/2014 tentang Pemda, khususnya pasal 78 yang mengatur tentang pemberhentian kepala daerah. Sebab tidak ada disebutkan, kepala daerah diberhentikan karena akan mendapatkan uang konpensasi.

Polemik Keikutsertaan Pilkada

Sedari awal pun, keikutsertaan Pematangsiantar pada Pilkada 2020 sudah jadi perdebatan. Sebab meskipun Pematangsiantar tercacat sebagai peserta pada Pilkada 9 Desember 2015, namun karena ada penundaan menyusul gugatan pasangan Survenof Sirait/Parlin Sinaga yang dicoret KPU ketika itu sampai adanya putusan Mahkamah Agung, akhirnya Pilkada baru digelar pada 16 November 2016.

Pelaksanaan Pilkada Pematangsiantar sempat jadi polemik sejak awal, apakah akan ikut 2020 atau 2024. Polemik ini bermula ketika adanya surat dari Biro Otda Kemendagri tertanggal 10 April 2019 kepada Gubernur Sumatera Utara, yang isinya menyatakan Pilkada Pematangsiantar bakal digelar pada tahun 2024.

Namun tak lama berselang, pasca Kemendagri berkoordinasi dengan KPU, kebijakan Kemendagri mendadak berubah dan memastikan bahwa Pematangsiantar termasuk pada Pilkada 2020. Pimpinan DPRD Pematangsiantar bersama perwakilan lintas fraksi ketika itu langsung berkonsultasi ke Kemendagri dan mendapatkan kepastian jika Pilkada Pematangsiantar digelar bersama 270 daerah lainnya pada tahun 2020.

Jika merujuk pada ketegasan awal Kemendagri dan faktanya Pilkada 2020 juga telah usai, sejatinya DPRD Pematangsiantar tak perlu ragu membuat keputusan. Sebab pelaksanaan Pilkada Pematangsiantar tentu sudah punya dasar hukum yang kuat, termasuk memayungi hasilnya kelak. Sangat kurang bijak kelihatannya di mata publik, ketika mereka menggelar rapat paripurna namun belum punya landasan kuat untuk membuat keputusan yang konsekuensinya berdampak besar terhadap suksesi kepemimpinan di kota yang multi agama dan multietnik ini.

Hal ini setidaknya mempertontonkan kelemahan mereka sendiri kepada konstituennya (rakyat) Pematangsiantar. Apalagi DPRD juga memiliki Tim Ahli yang dapat memberikan masukan dan pertimbangan hukum maupun politik. Sebab banyak juga warga yang nyelutuk, mengapa DPRD tidak ‘jalan-jalan’ lebih dulu ke Kemendagri sebelum menggelar rapat paripurna untuk pengusulan pelantikan kepala daerah yang baru dan mengusulkan pemberhentian kepala daerah yang lama, sehingga tak membuat rakyat bingung?

Begitupun, kita dengan sikap arif harus berbesar hati menunggu ketegasan Mendagri, karena sampai saat ini, di republik ini hanya Pematangsiantar yang mengalami kasus seperti ini. Apapun keputusan Mendagri, kelak akan dapat menjadi yurisprudensi bagi daerah lain, jika di kemudian hari terjadi kasus politik seperti yang terjadi di Pematangsiantar. (Penulis, Dosen Universitas Simalungun)

Related Articles

Latest Articles