Medan, MISTAR.ID
Gamophobia merupakan istilah populer dari permasalahan tertentu yang berhubungan dengan ketakutan memiliki komitmen, terutama dalam pernikahan.
Psikolog Dhebby Edriany mengatakan, banyak faktor yang mempengaruhi gamophobia ini.
“Paling signifikan adalah model pernikahan yang sudah pernah dilihat. Mungkin dari orang tua atau kerabat yang memiliki pola pernikahan buruk,” katanya, saat diwawancarai via WhatsApp, Rabu (6/11/24) pagi.
Lebih lanjut dijelaskannya, pengalaman berpacaran dengan pola tidak sehat (toxic) juga dapat mempengaruhi alasan takut menikah.
“Adanya perasaan tidak yakin kepada pasangan dan belum menemukan pasangan yang tepat. Faktor kecil lainnya, mungkin finansial dan kondisi emosi yang kurang stabil,” tambahnya.
Salah satu faktor penting yang jarang terdeteksi namun memiliki pengaruh cukup besar adalah efek sosial media.
“Konten-konten pernikahan, hubungan suami-istri, atau pacaran yang muncul, kadang-kadang sebagian orang menginternalisasi hubungan tersebut. Sehingga ada kekhawatiran atau ekspektasi berlebih terkait pernikahan. Hal itulah yang menghambat atau mengurungkan niatnya untuk menikah,” katanya.
Dhebby menegaskan, konsep patriarki kurang tepat dalam kondisi gamophobia ini.
“Menurut saya tidak ada hubungan dengan patriarki atau patrilineal. Sebenarnya itu adalah individu bukan budaya. Individu atau kita sebut oknum yang membuat contoh pernikahan menjadi berat sebelah atau memunculkan kekerasan dalam pernikahan. Jadi kurang tepat jika dikaitkan dengan budaya,” tuturnya.
Masih kata Dhebby, gamophobia tidak memiliki ciri-ciri khusus.
“Namun dapat dilihat ketika seseorang menjalin hubungan, sering kali menyabotase hubungannya sendiri dan menganggap sudah memiliki hubungan yang sempurna,” jelasnya.
Selain itu, ia juga menambahkan biasanya seorang gamophobia menghindari hal-hal yang mengikat seperti situasi atau verbal.
Seorang gamophobia, lanjut Dhebby, dapat diubah pola pikirnya terkait ketakutan akan pernikahan.
“Perlu dilakukan brainstorming atau paling tidak konseling untuk membuka wacana bahwasannya pernikahan itu tidak seperti yang dia bayangkan,” ungkapnya.
Ada sejumlah perbedaan antara laki-laki dan perempuan terkait komitmen untuk melakukan pernikahan.
“Tentu saja ada, cenderung yang merasa khawatir perempuan. Karena cenderung perempuan merasa terjadi banyak perubahan kehidupan. Tapi bukan berarti laki-laki tidak memiliki ketakutan tersebut, justru banyak laki-laki takut berkomitmen karena kesiapan psikologi yang kurang untuk melakukan pernikahan,” tutupnya. (amita/hm20)