18.5 C
New York
Tuesday, September 17, 2024

Geoekonomi Indonesia

Oleh: Boy Anugerah, Tenaga Ahli di MPR RI

Para pendiri bangsa, khususnya Soekarno, menekankan konsep Trisakti sebagai pedoman bagi Indonesia untuk tumbuh dan dan berkembang sebagai sebuah bangsa. Konsep Trisakti ini terdiri atas tiga pilar, yakni berdaulat di bidang politik, mandiri di bidang ekonomi, serta berkepribadian di bidang budaya.

Berdaulat di bidang politik bermakna Indonesia tidak bisa diintervensi oleh negara lain karena memiliki kedaulatan yang harus dihormati. Mandiri di bidang ekonomi artinya adalah bangsa Indonesia harus mampu berdiri di kaki sendiri dalam memenuhi kebutuhan hidup warga negaranya dengan memanfaatkan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya bagi sebesar-besar kesejahteraan masyarakat.
Sedangkan berkepribadian di bidang budaya adalah suatu kondisi, di mana Indonesia mampu menjaga nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila dalam pola pikir dan pola sikap seluruh warga negaranya.

Keunggulan Nasional

Geoekonomi Indonesia adalah ekonomi Pancasila atau ekonomi kerakyatan. Prinsip utama ekonomi Pancasila adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Geoekonomi Indonesia memberikan atensi yang besar bagi keunggulan komparatif yang melekat pada Indonesia sebagai sebuah bangsa, yakni keunggulan dari sisi agraris, keunggulan dari sisi maritim, serta keunggulan dari sisi geografis yang mendudukkan Indonesia pada posisi silang yang strategis antarnegara.

Geoekonomi Indonesia memiliki titik singgung dengan pendapat para pakar geopolitik dunia, salah satunya Alfred Tayer Mahan.
Ia berpendapat bahwa suatu negara maritim belum tentu dapat dikatakan sebagai negara yang berkekuatan maritim (Maritime Power State). Negara maritim adalah negara yang memiliki ciri maritim atau identitas maritim secara taken for granted. Untuk tumbuh menjadi negara yang berkekuatan maritim, sebuah negara maritim haruslah didukung oleh kecakapan pemerintah dalam memanfaatkan keunggulan komparatif di bidang maritim, memiliki institusionalisasi maritim yang kuat, serta didukung oleh karakteristik masyarakat yang juga bercorak maritim.

Karakter-karakter yang disebutkan oleh Mahan tersebut sangat cocok dengan Indonesia yang sedang membangun geoekonominya. Indonesia yang berupaya tumbuh untuk menjadi negara kekuatan ekonomi papan atas dunia berupaya membangun sisi perekonomian dengan mengoptimalkan sumber daya maritim melalui kebijakan Poros Maritim Dunia sejak 2014.

Beragam kebijakan strategis dilakukan seperti melakukan pembangunan tol laut, memperkuat konektivitas maritim, membangun kekuatan angkatan laut melalui MEF, serta pembangunan infrastruktur maritim.
Baca juga:Perseteruan Geopolitik Global Picu Harga Emas Memanas

Pemerintahan Presiden Joko Widodo sejak 2014 mencanangkan target pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen. Namun demikian, hingga akhir masa pemerintahannya pada bulan September 2024 ini, target ini tidak kunjung tercapai. Salah satu penyebab utamanya adalah kebijakan dan strategi geoekonomi Indonesia yang belum berjalan secara optimal.

Hal ini dapat dilihat pada berbagai kasus. Ketika Indonesia terpapar pandemi Covid-19 sejak Maret 2020, Indonesia mengalami dampak serius pada sisi perekonomian. Sektor UMKM yang terbukti memiliki resiliensi yang kuat pada krisis moneter 1998 ternyata ikut terpapar dan ambruk. APBN yang banyak diperuntukkan untuk proyek-proyek strategis banyak dialihkan bagi penanganan Covid-19.

Salah satu fenomena yang paling mencolok adalah terjadinya kelangkaan pangan di Indonesia pada pandemi. Hal ini terjadi karena tingginya kebutuhan nasional semasa pandemi, yang mana produksi nasional terbatas, sedangkan negara-negara tujuan impor seperti Thailand dan Vietnam menerapkan restriksi perdagangan untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri terlebih dahulu.

Kasus yang terjadi di Indonesia ini mirip dengan negara-negara Eropa yang juga mengalami kelangkaan komoditas sagu, gandum, dan lainnya karena negara tujuan impor lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan di dalam negeri.

Apa yang bisa dipelajari oleh Indonesia dari problematika dan kompleksitas yang ditemui semasa Covid-19? Pembelajarannya adalah geoekonomi Indonesia belum dijalankan dengan optimal untuk mencapai kepentingan nasional. Belum ada kemandirian ekonomi karena Indonesia masih bergantung pada skema impor. Ketika terjadi distraksi, perekonomian akhirnya mengalami gangguan. Di sisi lain, Indonesia belum cukup tangguh untuk mengoptimalkan keunggulan komparatif sebagai negara agraris menjadi keunggulan kompetitif dengan memenuhi sendiri kebutuhan dalam negerinya.

Baca juga:Dampak Ketegangan Geopolitik, Harga Minyak Dunia Turun

Kegagalan dan Tantangan Geopolitik

Pada skup yang lebih luas, kegagalan rezim Joko Widodo dalam memenuhi target pertumbuhan ekonomi 7 persen disebabkan oleh sedikitnya tiga hal dari sisi geoekonomi. Pertama, neraca perdagangan Indonesia secara kumulatif lebih berat pada sisi impor ketimbang ekspor. Artinya, relasi bilateral ekonomi yang dijalankan dengan negara lain berjalan secara tidak seimbang.

Kedua, investasi asing yang masuk ke Indonesia lebih didominasi oleh investasi padat modal, bukan padat karya, sehingga tidak memacu penyerapan lapangan pekerjaan bagi tenaga kerja lokal, dan tidak memampukan para pelaku ekonomi di Indonesia untuk meningkatkan kapasitas produksi barang dan jasa yang menjadi variabel penting dalam kalkulasi pertumbuhan ekonomi. Hal ini dapat dilihat pada kebijakan pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung, serta pembangunan pabrik smelter di Indonesia bagian Timur.
Ketiga, model pembangunan yang menekankan pada infrastruktur fisik terbukti kurang optimal dalam menimbulkan trickle-down effect bagi kesejahteraan masyarakat.

Catatan-catatan penting mengenai implementasi geoekonomi Indonesia yang berjalan dengan penuh hambatan tersebut diperumit oleh kompleksitas yang terjadi di dunia internasional, terutama dari kawasan Indo Pasifik. Pertama, terjadi rivalitas antara Amerika Serikat dan Tiongkok, terutama dari sisi perang dagang di antara kedua negara. Kedua negara juga menjalankan proksi-proksi politik yang memberikan dilema pilihan bagi negara-negara lain seperti Indonesia.

Sebagai contoh, Indonesia mengalami dilema ketika hendak masuk pada skema BRICS dan menjalin kerja sama dengan Tiongkok dalam kerangka One Belt One Road. Penguatan kerja sama dengan Tiongkok dalam dua model kerja sama tersebut berpotensi menimbulkan ketegangan politik dengan Amerika Serikat dan sekutunya.
Kedua, konflik Rusia dan Ukraina. Konflik ini tidak saja berdimensi politik, tapi juga berdimensi ekonomi. Implikasi ekonominya sangat besar bagi negara-negara kawasan Eropa. Bagi Indonesia sendiri, implikasinya ada dua. Pertama, gangguan pada rantai pasok komoditas seperti gandum yang mempengaruhi distribusi bahan baku bagi industri pangan nasional, serta kelangkaan gas yang menjadi sumber energi bagi pembuatan pupuk. Kedua, semakin menguatnya tuntutan kepada Indonesia untuk mengembangkan EBT yang ramah lingkungan.
Penguatan tuntutan ini berdampak pada arus investasi, termasuk investasi untuk pembangunan IKN, karena para investor luar yang akan masuk pasti akan melakukan assessment terhadap penerapan green economy, green industry, dan komitmen Indonesia dalam mengembangkan EBT.
Baca juga:Perkembangan Ekonomi Indonesia Dibayangi Ancaman Resesi AS

Kebijakan Pemerintah

Dengan merujuk pada persoalan-persoalan tersebut, penting bagi Indonesia untuk memperkuat kembali kebijakan dan strategi geoekonomi yang dijalankan. Geoekonomi yang dijalankan ini perlu melakukan sinkronisasi antar kepentingan nasional, mana yang menjadi kebutuhan domestik dan mana yang menjadi tuntutan global. Geoekonomi juga harus menyediakan mekanisme mitigatif dan kuratif terhadap geopolitik global yang mempengaruhi. Hal-hal yang dapat dilakukan antara lain sebagai berikut;

Pertama, memperkuat kemandirian ekonomi nasional dengan senantiasa mengubah keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif, terutama keunggulan dari sisi agraris, maritim, dan letak geografis pada persilangan antar benua dan samudra.

Kedua, memperkuat kapasitas BUMN dan para pelaku usaha di sektor UMKM dengan memberikan dukungan dari sisi digitalisasi ekonomi dan perdagangan, inklusivitas perbankan, konektivitas dengan proyek-proyek pemerintah, serta proteksi dari skema impor yang tidak tepat sasaran dan melemahkan daya saing nasional.

Ketiga, meningkatkan neraca perdagangan dengan semua negara yang menjalankan hubungan bilateral dengan Indonesia dengan cara melakukan diversifikasi hubungan perdagangan, serta penjajakan pada komoditas perdagangan baru yang memberikan keuntungan bagi Indonesia.

Keempat, mendorong skema investasi yang lebih bersifat padat karya dengan membuka kesempatan kerja yang seluas-luasnya bagi warga negara Indonesia, serta ditopang oleh adanya alih teknologi dari negara-negara yang menanamkan modal.

Kelima, memperkuat kerja sama maritim selatan yang sangat prospektif bagi perluasan pengaruh dan pencapaian kepentingan nasional Indonesia. Kerja sama selatan-selatan merupakan model kerja sama yang selaras dengan geoekonomi Indonesia karena menyajikan pola kerja sama yang sifatnya mutualis, saling menopang dan mengembangkan, serta terlepas dari instrumentasi negara besar dalam menciptakan ketergantungan ekonomi.

Secara umum, Indonesia perlu senantiasa berpijak pada prinsip kemandirian ekonomi dalam merespons dinamika geopolitik global. Kemandirian ekonomi Indonesia sangat relevan untuk diwujudkan mengingat Indonesia memiliki keunggulan komparatif yang besar dari sisi agraris dan maritim, serta pengalaman empirik Indonesia dalam diplomasi ekonomi bahwa dependensi terhadap negara lain hanya menjadi pintu masuk bagi negara lain untuk melakukan kontrol dan penjajahan gaya baru terhadap negara-negara berkembang seperti Indonesia. (*)

Related Articles

Latest Articles