20.7 C
New York
Monday, August 26, 2024

Lawan Kekuasaan, Ketua Umum Partai Harus Bernyali Bukan Pecundang

MISTAR.ID

Ditulis oleh Romansen Purba & Emrus Sihombing, Komunikolog Indonesia

Dalam suatu negara yang demokratis, semua ketua umum partai harus  bernyali tinggi dan kuat berhadapan dengan kekuasaan yudikatif maupun eksekutif. Dengan demikian, partai politik dan elitnya bisa/mampu melakukan pengawasan dan membuat undang-undang yang harus ditaati oleh lembaga penegak hukum dan presiden sebagai pimpinan eksekutif. Bukan malah pecundang.

Namun, mengapa akhir-akhir ini para ketua umum, sekretaris jenderal partai dan pengurusnya seolah tidak berdaya menghadapi pengaruh kekuasaan yudikatif dan eksekutif yang tampaknya hampir masuk ke seluruh aspek kehidupan, baik di politik maupun bidang kehidupan lainnya. Bahkan eksekutif seolah mendominasi kekuasaan, termasuk kekuasaan bidang penegakan hukum. Sangat ironis.

Para ketua partai  yang tampaknya “dianggap” bermasalah dengan dugaan tindak pidana kasus korupsi, boleh jadi sengaja tidak diproses tetapi didiamkan dan digantung seolah tidak ada kasus. Sebaliknya, kasus lain yang melibatkan seorang sosok yang tidak patuh kepada kekuasaan seolah dikedepankan untuk diungkap.

Baca juga:Pilkada 2024: Manusia Lawan Kotak Kosong? Malu Dong!

Cara ini bisa jadi dipakai penguasa untuk menekuk lawan-lawan politiknya, ketua partai politik dibonsai, ditekuk habis-habisan membuat mereka tidak berdaya menghadapi cengkeraman penguasa sehingga mau tidak mau harus tunduk dan menghamba kepada kekuasaan. Karena itu, partai “dipaksa” mengikuti “si raja”. Si “raja” itupun diakui  dan disanjung oleh salah satu ketua umum partai.

Karena lawan politik sudah dilemahkan sehingga kebijakan dan keputusan apapun yang diambil penguasa, seolah-olah benar semua. Cenderung bebas melakukan apa saja pun dianggap sah, meski sudah melenceng dari cita-cita founding fathers, nilai Pancasila dan konstitusi.

Negara menjadi terkesan “kacau”, terutama dalam masalah penegakan hukum. Cirinya, undang-undang dan peraturan bisa berubah dalam waktu sekejap jika itu menguntungkan kekuasaan. Tidak peduli apakah itu bertentangan dengan ideologi dan konstitusi negara.

Baca juga:Wakil Rakyat di Pusaran Judi Online, Dipecat atau Omdo

Bahkan dengan cara “cerdas,” kalau tidak mau disebut licik, dibangun narasi dengan memanfaatkan sejumlah (sedikit) akademisi “murahan” sehingga kebijakan, peraturan dan undang-undang seolah berpihak ke rakyat. Padahal, kenyataannya tidak demikian. Berpihak kepada keinginan penguasa. Salah satu narasi yang dibangun, kalau tidak suka jangan pilih. Tentu narasi semacam dapat memanipulasi persepsi publik dan mematikan daya kritis berpikir dari rakyat. Sangat menyedihkan.

Demikian juga fungsi legislatif, tampaknya bukan lagi sebagai dewan perwakilan rakyat tetapi bisa jadi berubah menjadi dewan perwakilan penguasa, tunduk kepada keinginan penguasa. Lebih dalam lagi, berubah menjadi alat stempel kekuasaan daripada eksekutif/pemerintah.

Di samping itu, penguasa sering  bersilat lidah sebagai tindakan pembenaran, walaupun secara kasat mata untuk meloloskan hasrat politik kekuasaan keluarga, anak-anak, mantu dan kroninya. Aturan dan hukum  dibuat untuk menguntungkan pihak penguasa dan kelompoknya. Dari sini saja tercermin dan dapat dilihat bahwa penguasa itu sedang membangun dinastinya.

Baca juga:Kisah Singkat Mengenai Kekuasaan Raja Kudungga Pada Kerajaan Kutai

Untuk tujuan membangun dinasti  dimunculkan narasi secara terstruktur, masif dan sistematis dengan pengkultusan, seolah-olah keberhasilan pembangunan ini karena keberanian dan kemampuan pimpinan tertinggi eksekutif untuk mengeksekusinya, padahal itu klaim sepihak dari dari mereka yang mendompleng kekuasaan.

Masalah ada tidaknya pembangunan tentu dari sudut pandang mana seseorang melihatnya. Bisa saja pembangunan itu produk kinerja negara tetapi ditopang utang yang terus bertambah.

Padahal, adanya pembangunan itu sudah menjadi tugas seorang pemimpin. Sebab itulah gunanya perlu pemilihan umum yang sangat-sangat demokratis. Jadi, dengan mengedepankan demokratis substansial, bukan demokrasi seolah-olah yang penuh kepalsuan. (*/hm17)

Related Articles

Latest Articles