8.4 C
New York
Thursday, March 28, 2024

Menelisik Sisi Lain Visi, Misi, Strategi dan Program Walikota Pematangsiantar (4)

Selain Sehat Fisik, Penting Pula Sehat Mental, Spritual dan Sosial

Oleh: Jalatua H. Hasugian

Merujuk pada frasa “Sehat” yang diusung ‘Pasti’ dijabarkan untuk meningkatkan derajad kesehatan masyarakat secara jasmani dan rohani melalui ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan harmonisasi kehidupan masyarakat; penyediaan infrastruktur dan tenaga kesehatan mulai level bawah, serta melakukan gerakan masyarakat sehat dengan upaya-upaya preventif dan kuratif sejak dini guna menjamin kehidupan yang nyaman dan berkelanjutan, khususnya masa dan pascapandemi Covid-19.

Persoalan sehat yang dimaksud di sini tentu bukan sekadar sehat secara fisik (tubuh) tetapi sehat secara mental, spritual dan juga sehat secara sosial kultural. Layanan kesehatan serta penghargaan local wisdom (kultur lokal) berkelindan dengan harmonisasi heterogenitas masyarakat.
Salah satu program mewujudkan visi sehat ini (dijabarkan dalam misi) adalah ketersediaan fasilitas kesehatan masyarakat berbasis integrasi rumah sakit unggulan. Pertanyaannya, mana objek yang akan dijadikan rumah sakit unggulan, apa parameternya dan bagaimana strategi serta terintegrasi dengan apa?

Sebagai contoh, merujuk pada ringkasan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah (R-LPPD) kota Pematangsiantar tahun 2021, untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dalam pembangunan kesehatan masyarakat, Dinas Kesehatan dan RSUD dr. Djasamen Saragih didukung sebanyak 680 orang aparatur.

Mereka terdiri dari PNS 365 orang, pegawai BLUD 58 orang + THL 43 orang, dokter kontrak 6 orang, Tenaga Kerja Sukarela 2 orang, CPNS 14 orang, THL 23 orang dengan alokasi anggaran Rp 4 miliar lebih untuk merealisasikan Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan.

Dari dokumen tersebut tampak masih banyaknya persoalan bidang kesehatan yang kelak menjadi “PR” Walikota baru di tengah belum sirnanya Covid-19. Masih rendahnya komitmen pelayanan Puskesmas termasuk kurangnya koordinasi dengan lintas sektoral; tidak maksimalnya penggunaan anggaran karena disusun tidak berbasis analisis masalah; bahkan minimnya kesadaran warga masyarakat untuk memeriksakan kesehatan (terutama ibu hamil, anak-anak dan lansia) merupakan contoh kecil problem kesehatan yang harus segera ditangani.

Fakta ini menjadi gambaran Bappeda, Dinas Kesehatan dan RSUD Djasamen untuk segera merumuskan solusi strategis mengatasi persoalan, sekaligus merancang dukungan terhadap visi “Sehat” yang jadi salah satu jargon ‘Pasti’.
Selaras dengan integrasi layanan kesehatan, di Pematangsiantar terdapat 8 buah rumah sakit, 19 unit Puskesmas ditambah Puskesmas pembantu 8 unit dan Posyandu sebanyak 252 unit serta BPU/Klinik swasta sebanyak 29 unit.

Jumlah praktek dokter umum 239 orang, dokter gigi 90, dokter spesialis 146 orang. Sedangkan tenaga medis bidan yang tersedia sebanyak 350 orang dan perawat sebanyak 1.111 orang. (BPS; 2022).

Jumlah ini diprediksi akan terus bertambah seiring masuknya investor bidang kesehatan yang juga memperketat persaingan sesama pengelola rumah sakit. Tentu ini menjadi tugas pemerintah dalam menjamin tata kelola persaingan yang sehat dalam usaha jasa kesehatan serta kemudahan perijinan berinvestasi.

Artinya, potensi fasilitas kesehatan dan tenaga medis yang ada, baik yang dikelola pemerintah maupun kalangan swasta, harus tertintegrasi dengan berbagai layanan pendukung lainnya. Tentu tak bisa terwujud jika hanya dibebankan kepada Dinas Kesehatan dan RSUD Djasamen semata.

Meski tidak berkaitan langsung, tetapi OPD-OPD lain, termasuk Camat dan Lurah, bahkan RW/RT harus maksimal memberikan suport. Sebagai contoh, bagaimana mungkin ibu-ibu hamil dan lansia proaktif memeriksakan kesehatan, jika angkutan umum tak tersedia atau jalan menuju lokasi rusak bahkan kemacetan lalu lintas akibat APILL nya rusak dibiarkan saja?. Belum lagi karakter petugas yang sering terlihat ‘sangar’ dan tak memberi nuansa simpatik pada pasien yang akan berobat atau sekadar memeriksakan kesehatan.

Ironisnya lagi, jika mengalami sakit mendadak pada malam hari, jalanan banyak yang gelap gulita akibat lampu penerangan jalan yang tak tersedia atau banyak mati, angkutan tak ada, rawan begal dan seabrek masalah lainnya. Belum lagi masalah pasien miskin, warga tak punya akses mengurus kartu BPJS hingga sosialisasi layanan publik yang kurang kepada masyarakat.

Oleh karena itulah, dalam rangka mempercepat deteksi masalah kesehatan dan integrasinya dengan stakholder, seluruh instansi harus bergerak cepat, tepat dan terukur. Sebab persoalan menyehatkan masyarakat harus dilakukan secara komprehensif tidak bisa parsial apalagi mengedepankan ego sektoral masing-masing.

Dari contoh kecil tersebut, diselaraskan dengan capaian yang sudah dikerjakan Dinas Kesehatan tahun sebelumnya telah tergambar prioritas program ke depan yang lebih baik.

Dokter Susanti sebagai Walikota tak perlu ragu jika banyak aparatur (baik staf maupun level pimpinan) yang kinerjanya lambat serta tak cepat paham dengan perubahan.

Apa boleh buat, demi kemaslahatan masyarakat serta kepentingan publik yang lebih besar, harus ada evaluasi yang terukur. Meminjam istilah orang-orang muda Siantar, kalau tak bisa lagi dibina ya ‘dibinasakan’ sajalah???. Karena masalah kesehatan masyarakat menyangkut nyawa manusia yang tak bisa ditawar-tawar.

Dalam kaitannya dengan kesehatan mental, spritual dan sosial sekaligus penghargaan terhadap kultur lokal, harus diakui bahwa etnik Simalungun lah yang menjadi suhut (tuan rumah) di Pematangsiantar.

Oleh karena itu, sudah sepatutnya semua etnik yang mendiami wilayah ini menjunjung tinggi harkat dan martabat serta nilai-nilai luhur Simalungun yang termaktub dalam motto Sapangambei Manoktok Hitei guna membangun kehidupan masyarakat multikultural yang harmoni. Secara harfiah, Sapangambei Manoktok Hitei dapat diartikan, “Bersama-sama (bergotong-royong/ bahu-membahu) membangun jembatan”, merupakan nilai luhur Simalungun yang sudah sejak lama bertumbuh, berkembang dan digunakan sebagai falsafah hidup masyarakat kota Pematangsiantar.

Sayangnya, untuk urusan motto yang harusnya jadi falsafah dalam membingkai dan mengikat aktivitas kultural yang pluralistik, hingga 151 tahun usia kota Pematangsiantar belum juga tuntas. Padahal sudah sejak lama para petinggi di kota ini acap kali mengumandangkan “Sapangambei Manoktok Hitei” dalam kegiatan-kegiatan seremonial pemerintahan.

Kita berharap, di era dokter Susanti Dewayani sebagai Walikota dan Timbul Lingga sebagai ketua DPRD, landasan hukum motto kota Pematangsiantar ini bisa segera di-Perda-kan. Hal ini dimaksudkan agar ada rumusan yang lebih tegas, lugas dan jelas sehingga tidak menimbulkan multi tafsir di tengah masyarakat tentang pengertian atau makna Sapangambei Manoktok Hitei. Apalagi warga kota Pematangsiantar terdiri dari beragam etnik yang hidup berdampingan secara harmoni.

Masalah lain, sebagaimana pernah dikeluhkan dokter Susanti, selama tiga tahun belakangan ini, Pematangsiantar mengalami kemunduran dalam konteks bertoleransi. Padahal selama tahun 2015-2018 Pematangsiantar selalu masuk 10 besar Indeks Kota Toleran (IKT) di Indonesia versi Setara Institute.

Sayangnya, pada penilaian tahun 2020 yang dirilis tahaun 2021, Pematangsiantar terdepak dan tak lagi masuk hitungan 10 besar. Drastisnya penurunan ini menurut Setara Institute, salah satu faktornya adalah dinamika masyarakat sipil yang agak mengkhawatirkan, saat mencuatnya kasus memandikan jenazah perempuan korban Covid-19 yang berujung pada penetapan tersangka tenaga kesehatan (nakes) di RSUD Djasamen.

Dalam siaran tertulis Setara Institute, penggunaan pasal penodaan agama atas empat nakes tersebut tampak sebagai peradilan akibat tekanan massa. Padahal kasus memandikan jenazah perempuan itu telah selesai melalui kesepakatan antara pihak keluarga dan RSUD. Pihak rumah sakit juga sudah menyampaikan permintaan maaf secara terbuka.

Oleh karena itulah, Setara Institute menilai kota Pematangsiantar tak masuk lagi dalam daftar kota toleran. (https://nasional.tempo.co). Fenomena ini tentu bisa menjadi catatan sejarah penting untuk direfleksikan bersama sebagai cerminan proyeksi perbaikan ke depan. Apalagi sudah sejak era kerajaan Kerajaan Siantar, wilayah ini telah didiami multi etnik dan agama. Heterogenitas kultur masyarakat ini merupakan potensi yang senantiasa harus dirawat keberlangsungannya agar terus harmoni.

Dari sebaran rumah ibadah yang ada, tergambar betapa pluralisnya kehidupan masyarakat kota Pematangsiantar. Terdapat mesjid 131 buah ditambah langgar/musholla 61 buah, gereja Protestan 203 buah, gereja Katholik 11 buah, kuil 3 buah dan vihara 49 buah. (BPS; 2022).

Selain itu, terdapat pula pusat-pusat studi kajian agama, yakni: Sekolah Tinggi Teologia Huria Kristen Batak Protestan (STT–HKBP); Sekolah Tinggi Teologia (STT) Advent Surya Nusantara; Sekolah Tinggi Alkitab Pentakosta; Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Samora, Fakultas Filsafat dan Teologi Universitas Santo Thomas; Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Sumatera Utara (UISU); serta Sekolah Tinggi Teologia (STT) Renatus.

Keberadaan perguruan tinggi berbasis agama di Pematangsiantar sekitarnya ini tentu bisa menjadi mitra strategis pemerintah untuk melakukan kajian-kajian sosial budaya maupun pembinaan kemasyarakatan bersama perguruan tinggi umum lainnya, yakni: Universitas Simalungun, Universitas HKBP Nommensen dan Universitas Efarina.

Heterogenitas kota Pematangsiantar juga tercermin dari beragamnya etnik yang mendiaminya, yakni: Simalungun, Toba, Karo, Mandailing, Angkola, Jawa, Tionghoa, Minang, Padang, Melayu, Pakpak/Dairi, Nias, Tamil dan sejumlah etnis lainnya. Dari segi wujudnya, implementasi nilai-nilai budaya dan adat – istiadat tersebut bukanlah sesuatu hal baru.

Dari aspek kultur sosial budaya, perkembangan peradaban di kota Pematangsiantar amat kompleks serta mengandung pengertian yang amat kompleks dan luas. (*/bersambung)

Penulis adalah Dosen Universitas Simalungun(USI)

Related Articles

Latest Articles