9.1 C
New York
Friday, March 29, 2024

Menelisik Sisi Lain Visi, Misi, Strategi dan Program Wali Kota Pematangsiantar (3)

Layanan Publik Versus Mindset Zona Nyaman Aparatur

Oleh: Jalatua H. Hasugian

Salah satu masalah pelik dan urgen segera ditangani adalah kinerja aparatur Pemko Pematangsiantar. Saat ini terdapat 4.084 orang PNS di Pemko Pematangsiantar dengan rincian: fungsional tertentu 2.240 orang; fungsional umum 1.102 orang, eselon IV 608 orang; eselon III 117 orang dan Eselon II 17 orang. (BPS; 2022).

Meski tak menyebutkan data tenaga harian lepas (THL), kita memprediksi jumlahnya hampir mencapai setengah dari jumlah PNS yang ada. Tak terlalu sulit kita menemukan banyaknya THL di seluruh kantor Pemko, yang perekrutannya sejak awal juga tidak jelas.

Namun karena sudah terlanjut diterima meski ada regulasi yang melarangnya, keberadaan THL ini akhirnya menjadi beban bagi setiap periode pemerintahan.

Dampak banyaknya THL ini, membuat tatanan birokrasi tak sehat. Tak jarang karena mereka lebih ‘loyal’ dari PNS, mereka dipercaya pimpinannya memegang urusan atau pekerjaan penting dan strategis padahal harusnya menjadi tupoksi PNS.

Ironisnya ada THL yang memegang peran kunci mengurus rencana kerja anggaran dinas dan berwenang penuh dalam merancang, mengerjakan, merubah, menyimpan dokumen bahkan sampai mengikuti rapat-rapat pembahasan anggaran di Pemko dan DPRD. Mengapa kondisi ini bisa terjadi?

Salah satu penyebabnya bisa jadi karena keterbatasan PNS inovatif yang loyal dan dapat dipercaya pimpinannya!
Oleh karena itu harus ada evaluasi komprehensif melibatkan seluruh OPD agar terdeteksi, berapa banyak sebetulnya PNS yang benar-benar produktif, berdedikasi, kapabel dalam menguasai bidang kerjanya, enegik dalam bertugas, loyal, dapat dipercaya serta punya idealisme?

Bukan hal baru jika masyarakat yang berurusan ke kantor-kantor pemerintah lebih banyak mengeluh, sinis, jengkel dan kesal ketimbang yang merasa puas. Siapa yang tak kesal, jika berkas atau surat yang logikanya bisa selesai dalam waktu singkat, ternyata harus ditunggu berhari-hari bahkan berminggu-minggu.

Padahal aparaturnya lebih banyak bermedsos ria, ngerumpi atau bercanda ria saat berada di kantor pada jam kerja.
Apakah kondisi ini akan dibiarkan terus di tengah kian kompleksnya persoalan publik yang menuntut layanan cepat, tepat, efektif dan efisien?

Jika dibiarkan terus, mindset aparatur dengan zona nyaman, karena selama ini sudah merasa enak, bakal semakin menggerogoti tatanan birokrasi. Jangankan menuntaskan pekerjaan, banyak PNS yang tak tahu sama sekali apa tupoksinya digaji pemerintah.

Mereka kerja hanya menunggu perintah atasan tanpa terbeban dengan statusnya sebagai abdi negara yang harus punya kerativitas dan inovasi kerja.

Contoh sederhana dan silahkan langsung saja dicek ke sejumlah dinas, berapa banyak PNS yang bisa mengonsep surat dinas secara benar tanpa harus dimentoring detail atasannya?

Banyak PNS di instansi Pemko Pematangsiantar yang membuat surat dan sejenisnya saja tak mampu. Bahkan realitas tersebut juga terjadi di level ahli madya (D-3) dan bahkan sarjana (S-1)?

Contoh kecil ini merupakan salah satu penyebab lambatnya layanan publik yang kebanyakan datang untuk urusan surat menyurat, rekomendasi, kelengkapan urusan/perpanjangan perijinan atau sejenisnya.

Untuk mendapatkan sepotong surat saja, warga harus bolak-balik datang ke instansi tertentu. Mengapa? Karena sering petugas pembuat surat belum datang atau masih sarapan. Kalau sudah di tempat, muncul lagi masalah baru misalnya yang pegang password komputer belum datang?.

Jika selesai dikerjakan oleh staf, pejabat yang berwenang menandatangani belum di tempat atau pemegang stempel belum datang. Karena tak mau pusing direpotkan oleh lambatnya kinerja aparatur, serta keterbatasan waktu menunggu, banyak masyarakat mencoba peruntungan melirik ‘jalan pintas’ berkolaborasi dengan oknum tertentu.

Mereka pun harus merogoh koceknya sebagai imbalan karena urusannya bisa cepat selesai di luar jalur resmi. Fenomena ini mempertegas bahwa pemeo umum terhadap mindset aparatur belum berubah, “jika bisa dipersulit mengapa harus dipermudah’?.

Pemko Pematangsiantar sebenarnya sudah menerapkan disiplin dengan membuat wajib pinger print saat datang maupun pulang. Tapi apa yang terjadi?

Sehabis pinger print dia pergi entah kemana dan menjelang pinger print sore dia muncul lagi. Secara administrasi dia memang hadir secara fisik setiap hari ke kantor sesuai jadwal masuk dan pulang.

Pertanyaannya? Apa kinerjanya setiap hari, sebagai imbalan atas gaji plus tunjangan atau tambahan penghasilan yang diterimanya setiap bulan? Sadarkah dia apa yang dilakukannya tak sebanding dengan tututan kerja, dan kondisi tersebut sudah berpuluh tahun dibiarkan berlangsung?

Mengapa pegawai di bank swasta misalnya, bisa efektif bekerja dan layanan mereka jauh lebih baik dari PNS di instansi pemerintah?

Fenomena lainnya di kantor-kantor dinas, lebih banyak THL yang aktif bekerja ketimbang PNS. Satu sisi memang karena PNS-nya tak punya kemampuan sehingga diambil alih THL tapi di sisi lain, PNS nya malas mengerjakan apapun karena gajinya tetap jalan meski tak ada produktivitas.

Hasil pengamatan empiris, THL juga jauh lebih banyak yang tak memiliki keahlian. Mereka hanya berharap bisa diangkat jadi PNS karena tak punya pekerjaan lain karena minimnya SDM yang dimiliki.

Logikanya, jika THL punya skill apa mungkin dia mau kerja dengan masa depan yang tak jelas serta penghasilan terbatas?

Selebihnya ada yang memang menjadilan status THL hanya sebagai kerja sambilan karena tak terlalu dituntut soal kinerja.

Realitas tak produktifnya aparatur akibat minimnya kemampuan dan keahlian teknis ditambah mindset zona nyaman yang sudah berlangsung puluhan tahun mendarah daging harus segera dihentikan.

Perlu evaluasi menyeluruh, seberapa penting sebenarnya kebutuhan THL ini pada instansi tertentu? Apakah benar Pemko Pematangsiantar kekurangan tenaga PNS? Atau jika dibutuhkan, apa keahlian THL yang tak dimiliki PNS?.

Hal ini harus jadi perhatian serius Walikota, jika berniat memperbaiki keadaan. Siapa mengerjakan apa, bentuknya apa dan kaitannya apa dengan tupoksinya.

Jika memang tak produktif di satu tempat, PNS atau THL ini sebaiknya dipindahkan ke instansi mana yang lebih cocok ketimbang terus jadi beban dan memengaruhi PNS lainnya ikut malas.

Sebab harus diakui, masih banyak aparatur yang baik, produktif dan sadar akan tanggungjawabnya. Sayang sekali jika mereka sampai terpengaruh melihat banyak rekannya santai-santai saja tapi penghasilan tetap sama?.

Memang tampak dilematis namun kondisi serupa jamak terjadi di daerah-daerah seluruh Indonesia. Jangan-jangan jika orangnya dikurangi, kinerjanya malah semakin baik dan rasa tanggungjawabnya juga semakin besar.

Kalaupun tidak mungkin mengurangi personil yang sudah kadung direkrut karena beragam pertimbangan, setidaknya ada ketegasan Walikota untuk menugaskan kepala badan kepegawaian atau inspektur untuk menciptakan aplikasi monitoring kinerja staf sampai pimpinan secara berjenjang.
Kebijakan ini tampaknya selaras dengan salah satu program misi ketiga ‘Pasti’ untuk meningkatkan tata kelola pemerintahan termasuk memberikan rewards (penghargaan) dan punishment (hukuman) bagi aparatur berbasis kinerja.

Artinya, monitoring dan evaluasi kinerja seluruh aparatur baik PNS maupun THL harus tersistem dengan baik, bukan sekadar laporan bulanan yang bagus di atas kertas. Atau bukan pula sekadar status di medsos, “Lapor Bu Wali!”.
Boleh saja meng-upload kinerjanya di medsos jika memang spektakuler serta berdaya guna bagi layanan publik. Misalnya “Lapor Bu Wali, Kelurahan X atau Y, sudah membuat layanan cepat, tepat, efektif berbasis online, sehingga warga tak perlu datang ke kantor Lurah mengurus surat-surat keterangan, karena bisa langsung diprint di mana saja!.”

Tetapi jika hanya kegiatan gotong-royong, apel pagi atau seremonial kantoran, lebih baik tak usah diumbar ke media sosial. Sebab malah semakin menunjukkan kualitas aparatur yang sesungguhnya di mata publik.

Di tengah disrupsi teknologi sekarang, bukan hal sulit untuk mendeteksi seseorang berada di mana dan apa yang dikerjakannya?

Walikota harus bisa memonitoring setiap saat apa yang dikerjakan pimpinan OPD meski tidak harus dari kantor atau rumah dinasnya.

Demikian pula kepala OPD harus bisa memonitoring setiap saat pejabat administrator dan pengawas lewat aplikasi, demikian seterusnya sampai kepada staf PNS maupun THL.
Dengan demikian, akan ketahuan dengan faktual, siapa sedang dimana dan mengerjakan apa?

Bukan lagi sekadar datang pagi pulang sore tapi tak jelas apa yang dikerjakan. Meski pada tahap awal, tentu akan ada resistensi dari aparatur yang selama ini sudah merasa sangat nyaman dan tak ada monitoring setiap waktu jadi merasa ‘terkekang’ karena terpantau setiap saat.

Namun diyakini jika kebijakan tersebut kontinyu dilakukan tanpa dimonitor pun, aparatur akan terbiasa efektif bekerja dan akan malu sendiri jika tak mampu bekerja sesuai tupoksinya.

Masyarakat awam, kalangan pemerhati kebijakan publik (LSM) bahkan rekan-rekan media juga bakal semakin proaktif memerhatikan kinerja aparatur ini.

Sebagai contoh, jika ada urusan warga yang terlalu lama tak tuntas, secara berjenjang harus segera termonitor di mana kendalanya.

Jika urusannya tak selesai sesuai standar prosedur operasional (SPO) yang sudah ada, harus terdeteksi pula di mana kendalanya dan apa penyebabnya? Apakah terkendala di bagian pendaftaran, persuratan, pengetikan, analis atau malah pimpinan yang tak di tempat?

Jika monitoring berjenjang ini efektif, niscaya akan semakin mudahlah layanan publik terselesaikan karena mekanismenya sudah akurat. Sebab setiap atasan secara berjenjang akan mengetahui dengan cepat kinerja stafnya lewat aplikasi.

Jika ada staf yang sakit atau berhalangan, atasannya akan segera bisa menugaskan staf lainnya. Tentunya hal ini butuh komitmen bersama semua aparatur yang aada pada semua level, dan tak mungkin bisa terwujud jika hanya Walikota saja yang semangat!. (*/bersambung)

Penulis adalah Dosen Universitas Simalungun (USI).

Related Articles

Latest Articles