1.6 C
New York
Monday, March 25, 2024

Menelisik Sisi Lain Visi, Misi, Strategi dan Program Walikota Pematangsiantar (2)

Belajar Dari Sejarah, Jargon ‘Pasti’ Jangan Sekadar Sloganistik

Oleh: Jalatua H. Hasugian

Rencana Pilkada serentak tahun 2024 sebagaimana telah diamatkan dalam UU Pilkada, tentu berimplikasi terhadap visi, misi dan program ‘Pasti’. Banyak varibel yang harus pertimbangan demi mengkerucutkan visi tersebut sebagai acuan kerja Pemko Pematangsiantar.

Apalagi saat ini dokter Susanti selaku Plt.Walikota masih menjalankan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2015-2020 serta Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) tahun 2021 yang merupakan produk rezim sebelumnya. Meski saat ini jajaran Pemko Pematangsiantar tengah menggodok RPJMD 2022-2027 dan RKPD 2022 yang mengacu pada visi, misi, strategi dan program ‘Pasti’.

Badan Perencanaan, Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappeda) selaku motor penggerak (leading sector) penyusunan RPJMD berikut turunannya, tentu harus mempertimbangkan program prioritas ‘Pasti’ yang segera harus dieksekusi. Kenyataan ini tentu menjadi pekerjaan ekstra bagi Bappeda.

Seluruh OPD juga harus berjibaku bekerja keras dan proaktif serta cepat memahami visi-misi ‘Pasti’ demi menyelaraskannya dengan program masing-masing melalui Rencana Kerja Anggaran (RKA).

Tentu tak bisa lepas dari UU No.23/2014 tentang urusan wajib, yakni: pendidikan; kesehatan; pekerjaan umum dan penataan ruang; perumahan rakyat dan kawasan permukiman; ketentraman, ketertiban umum dan perlindungan masyarakat; serta sosial.

Oleh karena itu, Bappeda harus realistis mengadopsi program ‘Pasti’ serta menyelaraskannya dengan program nasional maupun provinsi.

Sebab bagaimanapun, sebagus apapun visi, misi dan program kepala daerah, tetap harus mengacu pada regulasi yang ada, misalnya: Permendagri No.86/2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian dan Evaluasi Pembangunan Daerah, RPJPD, RPJMD dan RKPD; Permendagri No.7/2018 tentang Pembuatan dan Pelaksanaan Kajian Lingkungan Hidup Strategis dalam Penyusunan RPJMD; Permendagri No.90/2019 tentang Klasifikasi, Kodefikasi, dan Nomenklatur Perencanaan Pembangunan dan Keuangan Daerah; Perpres No.18/2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024; Perpres No.59/2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan; Permendagri No.17/2021 tentang Pedoman Penyusunan RKPD Tahun 2022 serta sejumlah regulasi turunan yang lebih teknis lainnya.

Hal prioritas harus dikedepankan untuk direalisasikan tentu harus mempertimbangkan capaian sebelumnya. Sebab pemerintahan tak boleh terputus hanya karena kepala daerahnya berganti.

Program sebelumnya juga tak serta-merta terhenti begitu Walikota baru dilantik. Sebab Pematangsiantar sudah memiliki Perda No.4/2012 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) 2005-2025 serta Perda No.1/2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tahun 2012-2032 yang harus dijadikan rujukan menyusun program pembangunan berkelanjutan.

Bercermin dari Kegagalan Rezim Sebelumnya

“Terwujudnya Kota Pematangsiantar Sehat, Sejahtera dan Berkualitas” merupakan visi ‘Pasti’ yang mulai membumi di benak masyarakat sejak dilantiknya dokter Susanti Dewayani sebagai Wakil Walikota. Ketiga frasa ini menggantikan jargon sebelumnya “Mantab, Maju dan Jaya” era Walikota, Hefriansyah-Togar Sitorus (2017-2022).

Sejarah merekam, saat Hefriansyah dilantik 2017 lalu, awalnya juga sebagai Wakil Walikota. Sebab Hulman Sitorus yang seharusnya jadi Walikota, meninggal dunia sebelum sempat dilantik untuk periode kedua.

Setelah Hefriansyah defenitif, Togar Sitorus dilantik sebagai Wakil Walikota berdasarkan hasil pemilihan DPRD. Hal serupa juga dialami dokter Susanti selaku Wakil Walikota sekaligus Plt. Walikota yang akan defenitif jadi Walikota.

Sejarah dan pengalaman adalah maha guru paling baik! Begitu petuah klasik yang bisa jadi cermin sebelum melangkah ke depan. Tak salah bila kita menoleh sejenak ke belakang, sekadar berefleksi bagaimana realisasi faktual jargon “Mantab, Maju dan Jaya” yang kini tinggal kenangan?.

Rakyat Pematangsiantar akhirnya harus berlapang dada memaklumi, bahwasanya jargon tersebut sebatas ‘slogan’ yang enak didengar, namun sulit diukur sejauhmana capaian keberhasilannya. Nyaris minim kebijakan spektakuler berbasis kepentingan publik yang bisa jadi memori kolektif masyarakat. Malah sebaliknya pemerintahan sekarang mewarisi seabrek kebijakan problematik, yang jika tak dikelola dengan bijak, malah jadi ‘bom waktu’ yang siap meledak kapan saja.

Jangan sampai, apa yang terjadi sebelumnya malah terulang kemudian di rezim yang baru ini. Sekadar contoh, dengan kasat mata kita bisa melihat semrautnya penataan pasar tradisional yang berdampak terhadap macetnya lalu lintas; tak kunjung tuntasnya masalah lahan Tanjung Pinggir eks PTPN III (573 Ha); pembangunan ring road yang tak kunjung rampung; mangkraknya pembangunan Stadion Sang Naualuh; monumen Raja Sang Naualuh yang terpaksa dibongkar karena diprotes warga; kondisi gelanggang olahraga (GOR) yang kini mirip sarang ‘hantu’; kondisi perusahaan daerah yang hidup segan mati pun enggan; polemik kenaikan NJOP tanah 1.000 persen yang sempat membingungkan rakyat; adanya sejumlah pejabat tersangkut kasus hukum yang hingga sekarang masih ada yang dipenjara; bahkan polemik politik yang sampai adanya upaya pemakzulan Hefriansyah sebagai walikota.

Warisan yang tak mengenakkan juga terjadi di era pemerintahan Hefriansyah yang bolak-balik mengganti pejabat Sekretaris Daerah (Sekda). Hal ini berdampak kurang kondusif dan tak efektifnya tata kelola pemerintahan.

Tercatat delapan orang yang pernah menjabat Sekda selama Hefriansyah jadi Walikota, yakni: Reinward Simanjuntak, Resman Panjaitan, Budi Utari, Kusdianto, Basarin Yunus Tanjung, Hendra Dermawan Siregar, Zulkifli dan Zubaidi. Klimaksnya, sehari menjelang berakhir masa jabatannya, Hefriansyah mengaktifkan kembali Budi Utari sebagai Sekda. Sebelumnya Budi Utari yang pernah dicopot mendadak, menggugat dan dimenangkan oleh Mahkamah Agung.

Wajar saja, jika dokter Susanti yang keesokan harinya dilantik merasa kurang nyaman dengan kebijakan tersebut. Dampaknya, miskomunikasi Sekda dengan Plt.Walikota sempat menjadi sorotan anggota dewan. Sebab Budi Utari sempat tak pernah muncul pada acara resmi Pemko Pematangsiantar, termasuk rapat-rapat penting dengan DPRD. Sekelumit contoh di atas, paradoks dengan slogan “Mantab, Maju dan Jaya” yang tampak cantik menghiasi spanduk mana kala ada kegiatan seremonial pemerintahan. Sejarah telah membuktikan adanya beragam persoalan di era sebelumnya yang bisa dijadikan pembelajaran!

Meski tentu kita tidak pula menafikkan adanya kebijakan positif yang dilakukan era pemerintahan Hefriansyah–Togar Sitorus. Biarlah rakyat kota Pematangsiantar yang berjumlah 268.254 jiwa (BPS; 2022) yang akan mencatatnya kelak.!

‘Penyakit’ Birokrasi Butuh Diagnosa Akurat

Mencermati lebih jauh visi, misi, strategi dan program ‘Pasti’ yang cukup banyak, wajar publik berasumsi dan sekilas apatis bisa terwujud sepenuhnya.

Tak salah pula jika ada yang berpendapat, karena awalnya hanya berniat sebagai wakil, dokter Susanti tak terlalu mendalam terlibat dalam penggodokan detail visi, misi, strategi dan program ‘Pasti’. Khususnya hal-hal teknis rencana pembangunan infrastruktur serta penataan kota seluas 79,971 Km2 yang dicita-citakan almarhum Ir. Asner Silalahi, MT.

Namun untuk urusan kesehatan tentu tak ada yang meragukannya. Sebab selain pernah memimpin RSUD dr Djasamen Saragih, selama puluhan tahun dokter Susanti berkecimpung dalam urusan kesehatan.

Takdir sudah terjadi dan waktu terus berjalan!. Mau tidak mau dan suka tidak suka, berbekal ilmu kedokteran yang terbiasa mendiagnosa pasien untuk mendeteksi jenis penyakit, teori ini amat relevan diterapkan di birokrasi (pemerintahan).

Ibarat menangani pasien anak, tentu orang tuanya akan ditanya tentang riwayat penyakit anaknya. Termasuk gejala-gejala awal kondisi kesehatannya perlu diketahui. Hal ini penting agar diagnosa serta tindakan medis yang akan diterapkan tepat adanya. Obat yang dipilih serta dosisnya pun tepat dengan jenis penyakit yang diderita. Dengan begitu, proses pemulihan kesehatannya akan cepat membaik.

Logika medis ini sangat menguntungkan dan memudahkan dokter Susanti sebagai pengambil kebijakan tertinggi untuk mendiagnosa secara cepat kondisi internal Pemko Pematangsiantar dengan mendengar atau bertanya kepada sumber-sumber terpercaya.

Konsep ini urgen agar terdeteksi jenis-jenis ‘penyakit’ kronis yang mendera tubuh pemerintahan sekarang. Tujuannya agar segera ditentukan apa obat ampuh nan mujarab memulihkannya. Apakah bisa lewat terapi atau harus segera dioperasi, bergantung pada hasil diagnosanya. Tentunya kita berasumsi, visi, misi, strategi dan program ‘Pasti’ bisa jadi obat mujarab untuk memulihkannya.

Model diagnosa ini juga relevan diterapkan mencermati realitas sosial politik, dimana kota Pematangsiantar acap kali punya keunikan dan perbedaan. Misalnya, pelantikan Walikota hasil Pilkada 2020 terpaksa terlambat digelar meski daerah lain sudah lama selesai.

Hal ini berkaitan dengan penundaan Pilkada 2015 yang terpaksa baru digelar 2016. Penyebabnya ada gugatan berkepanjangan paslon yang dicoret KPU. Pematangsiantar satu-satunya wilayah di Indonesia yang menunda Pilkada nyaris setahun.

Selama tertundanya Pilkada, Pematangsiantar dipimpin Pelaksana Harian (Donver Panggabean) selaku Sekda serta tiga orang Penjabat walikota dari Pemprovsu, yakni: Eddy Sofian, Jumsadi Damanik dan Antoni Siahaan. Bukan Pematangsiantar namanya, jika tak ada yang unik atau nyentrik (*/bersambung)

Penulis adalah Dosen Universitas Simalungun (USI).

Related Articles

Latest Articles