13.9 C
New York
Wednesday, April 17, 2024

Komunitas BSA si Becak Siantar Antik, Dan Mimpi yang Tertinggal

Pematangsiantar, MISTAR.ID – Di tahun 90-an, jejeran para abang beca siantar yang menggunakan motor BSA-Birmingham Small Arms, masih sering mengantri menunggu penumpang di stasiun kereta api yang datang dari Medan.

Di kala itu, pemandangan antrian para abang beca dapat kita lihat saat pagi hari. Masa lalu itu, para abang becak BSA masih di hati para orangtua yang dengan setia menghantarkan anak-anaknya berangkat sekolah, dan para ibu rumah tangga yang berbelanja ke pasar.

Beberapa diantaranya juga sempat membentuk sebuah komunitas abang beca. Ada mimpi yang tercipta di sana, ada angan yang mereka coba bangun untuk tetap mempertahankan beca yang penuh dengan sejarah di Indonesia, dan Pematang Siantar khususnya.

Banyak kegiatan yang sempat mereka buat untuk tetap memopulerkan beca Pematangsiantar yang unik itu, seperti touring ke Parapat dengan menggunakan beca BSA.

Mereka ingin menunjukan, betapa perkasanya beca kereta perang besutan Inggris di masa tahun 1937 hingga 1956. Cocok untuk digunakan bagi para pelancong, turis yang ingin merasakan sensasi di masa perang.

Seiring perjalanan waktu, memasuki tahun 2000, sepertinya pertahanan untuk tetap berjalan itu pelan pelan mulai roboh.

Jangankan untuk melestarikan kenderaan yang melegenda itu, untuk mempertahankan hidup dengan mengandalkan beca saja, para abang beca mulai kesulitan.

Praktis, mimpi belum sempat terbangun, beberapa abang beca mengaku memilih menyerah.

Sejumlah abang beca mulai menjual beca yang dulu begitu mereka banggakan, karena hidup harus berjalan.

Kami menemukan dua abang beca yang kini beca dan pemiliknya pun telah tiada. Mereka dahulunya pemilik BSA, yakni bang Ambun dan bang Sapta.

Melalui informasi keluarganya, beca itu sudah lama mereka jual sejak pendapatan menjadi abang beca sudah tidak lagi bisa diharapkan.

Ada juga bang Untung (50), yang masih memiliki beca peninggalan orang tuanya, ia masih menggunakan beca tersebut untuk menghantarkan anak sekolah setiap paginya, namun saat ini beca tersebut lebih banyak nongkrong di rumah.

Sayang untuk dijual, karena memiliki sejarah hidup. Ia lebih bertopang hidup dari jualannya membuka warung kopi diseputaran jalan Bangau, Timbang galung.

Kejayaan Beca BSA sudah padam

Kejayaan beca BSA sudah mulai redup, mungkin tinggal tugu beca yang mengingatkan kita, betapa dahulu kita pernah menggunakan kenderaan bersejarah itu.

Satu persatu para anggota komunitas beca juga telah pergi. Apakah mimpi untuk tetap mempertahankan beca Siantar itu masih ada, di tengah angkutan on line yang pratis murah dan mudah ?

Seiring pas berjalanan, kereta-kereta perang itu tambah tua. Satu persatu, spare partnya terasa aus dan tidak berfungsi. Perlu peremajaan agar nada khas bariton BSA dan kompatriotnya yang lain itu dapat jadi angkutan yang ditunggu-tunggu tiap tiap hari di persimpangan jalan.

“Kami terasa kesusahan mencari spare partnya. Selain sesungguhnya udah tidak ada kembali dijual, spare part berasal dari bangkai mesin udah habis semua. Namun kita tidak putus asa. Khususnya untuk BSA, kita selanjutnya menemukan solusi mengatasi kelangkaan suku cadang ini,” terang Muhammad Darwin yang juga mekanik untuk mesin BSA.

Untuk urusan piston dan block-nya, pemilik maupun mekanik BSA dapat memakai piston dan block mesin mobil buatan jepang. Demikian juga bersama kain kopling dan kampas rem, milik salah satu jenis truk dapat mereka modifikasi dan sesuai untuk BSA mereka.

“Untuk yang terlampau baru ada juga namun bukan khsusus untuk BSA. Seperti rantai sepeda motor jepang ada yang sesuai untuk BSA. Tali rem dan tali kopling Vespa terlampau sesuai untuk BSA. Selain panjang, juga terlampau kuat. Untuk platina dan karbu, suku cadang motor jepang ada yang cocok, namun berpengaruh pada tenaga maupun mengkonsumsi bahan bakarnya,” tuturnya.

Komunitas yang Menghilang

Jumlah becak Siantar – BSA – yang dulu tercatat di th. 1990-an ada sekira 1986 unit, bersama silinder 250 cc, 350 cc, 500 cc hingga 600 cc. Waktu itu, Zulkifli Harahap sebagai Wali Kota Pematangsiantar dikenal terlampau peduli bersama nasib BSA khususnya penarik BSA – abang becak.

“Kami dikumpulkan pas itu sekalian dicatat total BSA yang ada di Siantar. Itu tetap jumlah yang tercatat. Belum yang tidak tercatat. Tapi saat ini barangkali kira-kira 200 unit saja,” kenang Darwin.

Seorang teman Darwin, yang ditemui pas menunggu sewa di seputaran Jalan Diponegoro Pematangsiantar, juga terasa prihatin bersama eksistensi si kereta perang pemberi nafkah itu.

“Sudah terasa sedikit jumlah kami. Kalau adapun, keretanya bukan BSA. Sudah banyak yang memakai sepeda motor baru buatan jepang dan cina. Mungkin segi sulitnya suku cadang tadi, mereka berubah membeli kendaraan yang tetap baru,” ujar pak Dudung (71) sedikit lesu.

Kehadiran mesin-mesin baru itu, kata dia, tidak dapat dilarang. Apalagi pemiliknya juga rekan-rekan mereka yang pada mulanya menunggangi BSA. Walau dia akui, nilai histori dapat identitas becak Siantar tidak mirip antara BSA bersama merk jepang sekarang.

“Ini kan peninggalan perang dunia II, udah tentu terlampau bersejarah. Banyak turis asing yang datang ke Siantar ini bedecak takjub tiap tiap naik becak saya. Terlebih kalau dia berasal dari Inggris. Soalnya, mereka tahu. Pabriknya saja udah lama tutup di sana, namun di sini mesinnya tetap dapat mengejar mobil,” ujar Dudung yang memiliki nama lengkap Abdullah Sani itu.

Walau terasa tergeser product Jepang dan mereka tidak dapat berbuat apa pun untuk menyelamatkan BSA, ke dua senior soal BSA di Siantar itu prihatin bersama tambah hilangnya ciri khas becak Siantar. “Salah satu ciri becak Siantar itu ada pada warnanya. Dominan biru dan kuning bersama warna merah, hijau dan coklat menghiasi.

Namun sekarang, dampak berasal dari tidak ada perhatian pemerintah, masuklah perusahaan seluler. Dicatlah becak-becak itu mengikut warna khas mereka. Hilanglah salah satu atribut yang jadi identitas becak Siantar. Saya hanya dapat bersedih melihatnya. Apalagi teman-teman tentu disodorkan sejumlah duwit untuk mempengaruhi warna itu. Itu pilihan yang tidak dapat diganggu. Mungkin karena menyangkut keperluan hidup,” kata Darwin.

BSA Koleksi Pribadi

Banyaknya peminat BSA untuk koleksi pribadi, jadi tantangan besar saat ini ini. Situasi itu diperkeruh bersama tambah sulitnya kastemer pengguna jasa becak. Angkutan umum yang udah memasuki jalan-jalan sempit dan sepeda motor yang enteng didapat bersama cara kredit, menjadikan becak Siantar lebih sering jadi jilatan matahari di pinggiran jalan.

“Kalaupun dapat bertahan paling lama 5 hingga 10 tahun. Soalnya banyak yang mencari BSA ini. Harga termurah saja saat ini didalam kisaran Rp25 juta dan yang dulu aku dengar, milik teman aku dapat terjual Rp80 juta,” ujar pak Dudung.

Besarnya angka untuk satu unit BSA itu, dikuatirkan dapat menggoda para pemilik BSA untuk menjualnya dan menukar bersama becak besutan Jepang atau Cina yang dapat dibeli dengan harga jauh lebih murah.

“Bertahan berasal dari godaan itu, salah satu cara menyelamatkan BSA berasal dari Siantar. Namun hingga kapan dapat bertahan, karena godaan duit didalam jumlah yang lumayan besar konsisten berdatangan. Namun aku udah tekadkan, sebesar apa pun tawaran itu, menjual BSA tidak dapat aku lakukan,” tegas Darwin yang mengaku BSA-nya dulu ditawar Rp60 juta oleh seorang kolektor.

Mesin-mesin tangguh bersama nada gahar seperti Triumph, Ariel, AJS, Norton, Matchless hanya kenangan bagi pemilik BSA. Era modern, kejayaan mesin-mesin kemenangan pasukan tempur Perang Dunia II itu tetap dapat tergambar berasal dari saudaranya — Birmingham Small Arms (BSA) – yang tetap mempertontonkan keangkeran dan keangkuhannya dapat melewati pergantian zaman.

Mesin-mesin sebagai saksi dan juga anggota berasal dari pelaku kekejaman perang itu terasa tergilas mesin modern. Godaan rupiah para kolektor terasa meredupkan stimulus melestarikan BSA sebagai ciri kendaraan di Pematangsiantar. Kereta perang yang dahulu penuh gempita kemenangan itu menderu di jalan untuk dikenang.

Kereta perang yang dahulu penuh gempita kemenangan itu menderu di jalan untuk dikenang.

Merajut Mimpi Bersama BOMS

Kalau bicara Beca Siantar, yang teringat adalah Tugu becak. Artinya akan mengingatkan kita pada seorang seniman yang tidak asing lagi, dia adalah H Kusma Erizal Ginting tidak asing lagi. Selain Presiden BSA Owner Motorcylce Siantar (BOMS), ia juga dipercaya sebagai Dewan Penasehat di beberapa komunitas motor di kota yang terkenal dengan becak BSA (Birmingham Small Arms).

BOMS sendiri awalnya enggak sama tukang becak. Kami bertemu sendiri-sendiri, belum ada biker di Kota Siantar ini. Dia (rekannya Akuang) suka, saya suka termasuk si Johan dan si Aseng, dan Toni. Berjalan sampai tahun 2005.

Pada 2006 mereka bergabung dengan para tukang becak BSA. Di BOMS yang beranggotakan sekitar 100-an orang, terdapat dua divisi. Pertama adalah Bikers dan kedua divisi becak.

Saat ini, rumahnya dihiasi puluhan motor tua dari berbagai merek. Garasi rumahnya dijadikan galeri motor tua miliknya. Ia pun berencana untuk membuat museum motor tua.

Ada mimpi yang terus bergeliat di hati Erizal ginting, setelah ia sukses bersama kawan kawannya untuk membuat Tugu beca yang bisa menjadi icon kota pematang siantar. Mimpi lainnya adalah menjadikan beca – BSA – sebagai kendaraan pariwisata.

“Jadi para turis dari Danau Toba, akan diangkut dengan beca BSA. Dan itu harus diatur oleh pemerintah kota Medan.”

Menurut Erizal Ginting, jika itu tidak dilakukan oleh pemko Pematangsiantar, Pematangsiantar pun akan ditinggalkan . Bukan sebagai persinggahan, lebih parah dari itu, hanya sebagai tempat persinggahan belaka. Dan Pematangsiantar pun akan ditinggalkan.

Bersama BOMS, Erizal Ginting merasa memiliki mimpi kembali. Jadi Becak BSA Siantar bukan hanya sebagai benda koleksi, tetapi tetap bisa dipakai untuk wisata.(hm06)

Penulis: Rika Yose

Editor : Herman Maris

Related Articles

Latest Articles