7.9 C
New York
Friday, April 19, 2024

Ternyata Koleksi Foto Anda Bisa Memicu Suhu Bumi Makin Panas

MISTAR.ID-Data-data yang teronggok di komputer atau fasilitas penyimpanan seperti Google Cloud atau iCloud ternyata bisa ikut berkontribusi terhadap pemanasan global. Mengapa?

Ahli dari Longborough University, Tom Jackson dan Ian Hodgkinson, menyebut data-data yang teronggok itu sebagai dark data (data gelap). Hal itu dipaparkan keduanya dalam tulisan di The Conversation berjudul ‘Dark data’ is killing the planet – we need digital decarbonisation.

Dalam tulisannya itu, Tom dan Ian memaparkan digitalisasi menghasilkan 4 persen dari total emisi gas rumah kaca global pada 2020. Produksi data digital meningkat pesat, bahkan tahun ini dunia diperkirakan akan menghasilkan 97 zettabytes atau 97 triliun gigabyte data.

Baca Juga:Tes Pertahanan Bumi, NASA Sengaja Tabrakkan Pesawat ke Asteroid

Pada 2025, angka tersebut bisa meningkat hingga hampir dua kali lipat menjadi 181 zettabytes.

Banyak pengguna yang tidak sadar bahwa menyimpan data membutuhkan energi yang kemudian berkaitan dengan pemanasan global.

Dark data itu memakan energi untuk dapat ditambatkan ke dunia nyata. Bahkan, data yang disimpan dan tidak pernah digunakan lagi membutuhkan ruang di server komputer yang berada di suatu tempat, dan gudang-gudang tersebut semuanya menggunakan banyak listrik.

Sayangnya, kebanyakan para aktivis berfokus kepada pembatasan emisi dari industri otomotif, penerbangan, dan energi. Di saat bersamaan, kebanyakan orang berasumsi bahwa data digital dan proses digitisasinya netral karbon.

Baca juga:Nol karbon dan Perjanjian 190 Negara Membatasi Pemanasan Global

Menurut keduanya, manusia sesungguhnya bisa mengontrol jejak karbon dari data digital plus digitisasinya. Oleh karena itu, kedua ahli tersebut mengusulkan sebuah langkah yang disebut dekarbonisasi digital.

“Dengan istilah itu, kami tidak bermaksud menggunakan ponsel, komputer, sensor, serta teknologi digital lainnya untuk mengurangi jejak karbon sebuah organisasi. Sebaliknya, kami merujuk kepada pengurangan jejak karbon dari data digital itu sendiri,” tulis keduanya seperti dilansir Science Alert.

Lebih lanjut, digitisasi sendiri bukanlah isu lingkungan. Akan tetapi ada dampak yang sangat besar terhadap lingkungan, yang bergantung kepada bagaimana proses digital sehari-hari digunakan.

“Sebagai gambaran magnitudo dari situasi dark data, pusat data (bertanggungjawab atas 2,5 persen karbon dioksida dari manusia) punya jejak karbon yang lebih besar daripada industri penerbangan (2,1 persen)” tulisnya.

Baca Juga:Kota di Kuwait Catat Suhu Tertinggi di Bumi

Para ahli ini lalu mengkalkulasi dan menemukan bahwa data-data bisnis seperti data asuransi, retail, bank dengan 100 karyawan menghasilkan 2.983 gigabyte dark data per hari. Jika mereka menyimpan data tersebut selama satu tahun.

“Data itu akan punya jejak karbon yang mirip dengan enam kali penerbangan dari London ke New York,” tulisnya.

Di sisi lain, kedua ahli ini juga memberi tips untuk meminimalisasi dark data. Salah satunya adalah menghindari penggunaan informasi sekali pakai (single-use knowledge).

“Single-used knowledge mungkin menjadi faktor utama untuk maju ke depan karena ia membantu pembuat keputusan untuk bekerja cepat. Namun ia juga bisa mengerek kepada belajar yang hanya di permukaan dan terlalu bergantung kepada teknologi, yang pada akhirnya membuat volume dark data secara signifikan,” tulis mereka di artikel berjudul Keeping a lower profile: how firms can reduce their digital carbon footprints yang dilansir Emerald. (cnnindoonesia.com/hm01)

 

Related Articles

Latest Articles