7.7 C
New York
Monday, March 25, 2024

INI PERBEDAAN PENANGANAN KERUSAKAAN SISTEM DI DUA PENERBANGAN LION AIR

Jakarta, MISTAR.ID – Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menjelaskan perbedaan penanganan kerusakan sistem yakni Maneuvering Characteristics Augmentation System (MCAS) di pesawat Boeing 737 Max 8 teregistrasi PK LQP oleh pilot yang menerbangkan rute Denpasar-Jakarta dan Jakarta – Pangkal Pinang.

Ketua KNKT Soerjanto Tjahjono dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat, mengatakan temuan tersebut berdasarkan hasil investigasi dari 463 data yang seluruhnya dianalisis dengan hati-hati selama satu tahun terakhir.

“Kami perlu waktu cukup panjang menyelesaikan laporan investigasi,” katanya.

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Sub Komite Kecelakaan Penerbangan KNKT Nurcahyo menjelaskan bahwa dalam penerbangan Denpasar-Jakarta pilot untungnya masih bisa mengatasi kerusakan tersebut, namun nahas pilot yang menerbangkan rute Jakarta-Pangkal Pinang sehingga akhirnya terjadi kecelakaan.

Nurcahyo menjelaskan pada penerbangan Denpasar-Jakarta, kapten pilot sudah melihat ada indikasi kerusakan sensor di sebelah kiri.

“Pada penerbangan Denpasar-Jakarta, pilot sudah mencurigai ada kerusakan di sebelah kiri, sehingga kendali penerbangan dilakukan oleh co-pilot,” katanya.

Selain itu, lanjut dia, ada peran dari pilot ketiga yang duduk di cockpit yang mana mengingatkan kedua pilot bertugas tersebut bahwa pesawat mengalami kemiringan.

“Dia mengingatkan pesawat mulai turun dan agar monitor dan terbang dengan baik,” katanya.

Kemudian, indikator yang disebut dengan “stab trim” bergerak sendiri yang menandakan pada kondisi penerbangan di luar kendali atau “Non-normal Runaway Stabilizer”.

“Pada akhirnya pilot berhasil menghentikan stab trim ke posisi cut out (mati) dan menghentikan MCAS,” katanya.

MCAS adalah fitur yang baru ada di pesawat Boeing 737-8 (MAX) untuk memperbaiki karakteristik angguk (pergerakan pada bidang vertikal) pesawat pada kondisi flap up, manual flight (tanpa auto pilot) dan sudut kemiringan (angle of attack) tinggi.

Sementara itu, pilot yang menerbangkan rute Jakarta-Pangkal Pinang dengan nomor penerbangan JT 610 tidak berkoordinasi secara baik ketika menemukan indikasi kerusakan sistem.

Nurcahyo menjelaskan pada penerbangan tersebut, kapten pilot memegang kendali penerbangan dan terus terbang, sementara copilot mencoba mencari prosedur di buku manual yang ternyata tidak ada.

“Jadi yang satu tetap terbang, yang satu mencari prosedur,” katanya.

Dalam kondisi tersebut, pilot mengalami kesulitan melakukan respons yang tepat terhadap pergerakan MCAS yang tidak seharusnya karena tidak ada petunjuk dalam buku panduan dan pelatihan.

Selain itu, indikator penunjuk sikap atau “angle of attack” Disahree tidak tersedia di pesawat Boeing 737-8 (MAX) PK-LQP, yang berakibat informasi ini tidak muncul pada saat penerbangan dengan penunjukan sudut AOA yang berbeda antara kiri dan kanan, sehingga perbedaan ini tidak dapat dicatatkan oleh pilot dan teknisi tidak dapat mengidentifikasi kerusakan AOA sensor.

Pada penerbangan Denpasar-Jakarta, pilot tidak mencantumkan ada kerusakan stick shaker dan penggunaan prosedur non-normal Runaway Stabilizer pada buku catatan penerbangan dan perawatan pesawat yang mengakibatkan baik pilot maupun teknisi tidak dapat mengambil tindakan yang tepat.

Keseluruhan kejadian itu menyebabkan berulangnya aktivasi MCAS dan padatnya komunikasi dengan ATC tidak terkelola dengan efektif.

“Hal ini diakibatkan oleh situasi-kondisi yang sulit dan kemampuan mengendalikan pesawat, pelaksanaan prosedur non-normal, dan komunikasi antarpilot, berdampak pada ketidak-efektifan koordinasi antarpilot dan pengelolaan beban kerja. Kondisi ini telah teridentifikasi pada saat pelatihan dan muncul kembali pada penerbangan ini,” katanya.

Sumber Antara
Editor Luhut Simanjuntak

Related Articles

Latest Articles