7.8 C
New York
Friday, April 19, 2024

UU Perumkim Perlu Direvisi

Oleh: Dr.Henry Sinaga, SH, Sp.N, M.Kn

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan Dan Kawasan Permukiman (UU Perumkim) perlu direvisi, karena melanggar Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI Tahun 1945) dan melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau dapat disebut juga dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 ayat 1 UUPA.

Pelanggaran Pasal 33 ayat 3 UUDNRI Tahun 1945 dan Pasal 2 ayat 1 UUPA yang dilakukan oleh UU Perumkim, dijumpai dalam Pasal 106 huruf d dan Pasal 115 angka (1) dan angka (2) UU Perumkim.

Pasal 106 huruf d UU Perumkim berbunyi : Penyediaan tanah untuk pembangunan rumah, perumahan dan kawasan permukiman dapat dilakukan melalui: d. pemanfaatan dan pemindahtanganan tanah barang milik negara atau milik daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya Pasal 115 angka (1) dan angka (2) UU Perumkim berbunyi : (1) Pemanfaatan dan pemindahtanganan tanah barang milik negara atau milik daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 huruf d bagi pembangunan rumah, perumahan, dan kawasan permukiman diperuntukkan pembangunan rumah umum dan/atau rumah khusus.

(2) Pemanfaatan dan pemindahtanganan tanah barang milik negara atau milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 106 huruf d dan Pasal 115 angka (1) dan angka (2) UU Perumkim ini mengatur tentang pemanfaatan dan pemindahtanganan tanah barang milik negara atau milik daerah padahal menurut UUDNRI Tahun 1945 dan UUPA, Negara hanya menguasai bukan memiliki tanah.

Pasal 33 ayat 3 UUDNRI Tahun 1945 berbunyi : Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat 1 UUPA antara lain dikatakan atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

Pasal 33 ayat 3 UUDNRI Tahun 1945 dan Pasal 2 ayat 1 UUPA secara jelas dan tegas menyatakan bahwa negara/pemerintah bukan sebagai pemilik tanah di Indonesia. Negara/pemerintah hanya “menguasai” bukan “memiliki”.

Secara historis, konsepsi negara/pemerintah sebagai pemilik tanah adalah konsepsi negara feodal dari zaman abad pertengahan, sebagai contoh konsepsi hukum tanah Inggris dan bekas negara-negara jajahannya. Dalam konsepsi feodal ini semua tanah adalah milik Raja dan siapapun hanya menguasai dan menggunakan tanah milik Raja sebagai penyewa.

Konsepsi negara/pemerintah sebagai pemilik tanah dijumpai juga dalam konsepsi hukum tanah di Rusia, yang mulai diterapkan setelah golongan komunis berhasil merebut kekuasaan pemerintahan pada tahun 1917.

Di Indonesia konsepsi negara/pemerintah sebagai pemilik tanah, juga pernah diterapkan pada zaman kolonial Belanda. Dalam sistem kepemilikan tanah Pemerintah Kolonial Belanda memberlakukan ketentuan atau prinsip atau azas domein (hak milik negara atas tanah) yang memposisikan negara atau pemerintah sebagai pemilik tanah.

Azas domein ini tercantum dalam Pasal 1 Agrarisch Besluit, Staatblad 1870 No. 118, yang antara lain menyatakan bahwa tanah yang tidak dapat dibuktikan siapa pemiliknya adalah domein (milik) negara (domein verklaring).

Negara Republik Indonesia bukan negara yang berkonsepsi feodal dan juga bukan negara yang berkonsepsi komunis, oleh karena itu azas domein ini oleh UUPA telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi, dengan pertimbangan bahwa untuk mencapai apa yang ditentukan dalam Pasal 33 ayat (3) UUDNRI Tahun 1945 tidak perlu dan tidak pada tempatnya, Negara bertindak sebagai pemilik tanah.

Adalah lebih tepat jika Negara, sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa) bertindak selaku Badan Penguasa. Dari sudut inilah harus dilihat arti ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA yang menyatakan, bahwa “Bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, pada tingkatan yang tertinggi dikuasai oleh Negara”.

Sesuai dengan pangkal pendirian tersebut di atas perkataan “dikuasai” dalam pasal ini menurut UUPA bukanlah berarti “dimiliki”, akan tetapi adalah pengertian, yang memberi wewenang kepada Negara, sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia itu, untuk pada tingkatan yang tertinggi :

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Hak Menguasai Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA ini meliputi semua bumi, air, dan ruang angkasa, jadi baik yang sudah dihaki oleh seseorang maupun tidak (menurut UUPA, pengertian bumi diperinci lagi meliputi permukaan bumi, tubuh bumi dan bumi yang di bawah air beserta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Permukaan bumi inilah yang menurut UUPA disebut dengan tanah).

Hak Menguasai Negara (bukan Hak Memiliki Negara) yang dipegang oleh negara/pemerintah berdasarkan UUPA adalah seperangkat wewenang, tidak lebih dari itu, karena itu pemahaman bahwa negara/pemerintah adalah pemilik atas tanah di Indonesia adalah kekeliruan dan pelanggaran terhadap UUDNRI Tahun 1945 dan UUPA.

UU Perumkim perlu direvisi, untuk menghindari kesan bahwa Negara Republik Indonesia telah kembali ke zaman kolonial Belanda, atau untuk menghindari pemahaman yang keliru bahwa sistem kepemilikan tanah di Indonesia menganut paham konsepsi feodal atau paham konsepsi komunis.

Penulis adalah Notaris/PPAT dan Dosen Program Studi Magister Kenotariatan USU–Medan

Related Articles

UU Perumkim Perlu Direvisi

Latest Articles