8.3 C
New York
Thursday, March 28, 2024

UU No.2/2012 Inkonstitusional

Oleh:Dr.Henry Sinaga, SH, Sp.N, M.Kn

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 (UU No.2/2012) tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, menambah deretan undang undang di Indonesia yang secara nyata dan terang-terangan melanggar Konstitusi (inkonstitusional), yaitu melanggar Pasal 33 ayat 3 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pasal 33 ayat 3 UUDNRI Tahun 1945).

Undang-undang tersebut berbunyi:Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Selain UU No. 2/2012, sejumlah undang-undang lain juga melakukan pelanggaran yang sama yaitu antara lain Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan Dan Kawasan Permukiman, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara.

Di samping melanggar Konstitusi, UU No.2 / 2012 ini juga menabrak Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau dapat disebut juga dengan Undang-Undang Pokok Agraria (Pasal 2 ayat 1 UUPA) yang berbunyi:

Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

Pelanggaran dan tabrakan yang dilakukan oleh UU No. 2 / 2012 terhadap Pasal 33 ayat 3 UUDNRI Tahun 1945 dan Pasal 2 ayat 1 UUPA, ditemukan dalam Pasal 11 ayat 1 dan 2, Pasal 45 ayat 1 dan 2, Pasal 46 ayat 1 huruf b, dan Penjelasan Pasal 10 huruf r UU No.2 / 2012.

Pasal 11 ayat 1 dan ayat 2 UU No. 2 / 2012 berbunyi: Pengadaan tanah untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 wajib diselenggarakan oleh Pemerintah dan tanahnya selanjutnya dimiliki Pemerintah atau Pemerintah Daerah.

Dalam hal instansi yang memerlukan pengadaan tanah untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 adalah Badan Usaha Milik Negara, tanahnya menjadi Milik Badan Usaha Milik Negara.

Selanjutnya menurut Pasal 45 ayat 1 dan ayat 2 UU No.2/2012, Pelepasan Objek Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum yang dimiliki pemerintah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan barang milik negara/daerah.

Pelepasan Objek Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum yang dikuasai oleh pemerintah atau dikuasai/dimiliki oleh Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah dilakukan berdasarkan Undang-Undang ini.

Kemudian dalam Pasal 46 ayat 1 huruf b UU No. 2 / 2012 disebutkan: Pelepasan Objek Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat 1 dan ayat 2 tidak diberikan Ganti Kerugian, kecuali Objek Pengadaan Tanah yang dimiliki/dikuasai oleh Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah.

Sementara itu menurut Penjelasan Pasal 10 huruf r UU No.2/2012, yang dimaksud dengan pasar umum dan lapangan parkir umum adalah pasar dan lapangan parkir yang direncanakan, dilaksanakan, dikelola, dan dimiliki oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dan pengelolaannya dapat dilakukan dengan bekerjasama dengan Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, atau badan usaha swasta.

Pasal 33 ayat 3 UUDNRI Tahun 1945 dan Pasal 2 ayat 1 UUPA secara jelas dan tegas menyatakan, bahwa negara/pemerintah bukan sebagai pemilik tanah di Indonesia. Negara / pemerintah hanya “menguasai” bukan “memiliki”.

Secara historis, konsepsi negara / pemerintah sebagai pemilik tanah adalah konsepsi negara feodal dari zaman abad pertengahan, sebagai contoh konsepsi hukum tanah Inggris dan bekas negara-negara jajahannya. Dalam konsepsi feodal ini semua tanah adalah milik Raja dan siapapun hanya menguasai dan menggunakan tanah milik Raja sebagai penyewa.

Konsepsi negara/pemerintah sebagai pemilik tanah dijumpai juga dalam konsepsi hukum tanah di Rusia, yang mulai diterapkan setelah golongan komunis berhasil merebut kekuasaan pemerintahan pada tahun 1917.

Di Indonesia konsepsi negara / pemerintah sebagai pemilik tanah, juga pernah diterapkan pada zaman kolonial Belanda. Dalam sistem kepemilikan tanah Pemerintah Kolonial Belanda memberlakukan ketentuan atau prinsip atau azas domein (hak milik negara atas tanah) yang memposisikan negara atau pemerintah sebagai pemilik tanah.

Azas domein ini tercantum dalam Pasal 1 Agrarisch Besluit, Staatblad 1870 No. 118, yang antara lain menyatakan bahwa tanah yang tidak dapat dibuktikan siapa pemiliknya adalah domein (milik) negara (domein verklaring).

Negara Republik Indonesia bukan negara yang berkonsepsi feodal dan juga bukan negara yang berkonsepsi komunis, oleh karena itu azas domein ini oleh UUPA telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi, dengan pertimbangan bahwa untuk mencapai apa yang ditentukan dalam Pasal 33 ayat (3) UUDNRI Tahun 1945 tidak perlu dan tidak pada tempatnya, Negara bertindak sebagai pemilik tanah.

Adalah lebih tepat jika Negara, sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa) bertindak selaku Badan Penguasa. Dari sudut inilah harus dilihat arti ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA yang menyatakan, bahwa “Bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, pada tingkatan yang tertinggi dikuasai oleh Negara”.

Sesuai dengan pangkal pendirian tersebut di atas perkataan “dikuasai” dalam pasal ini menurut UUPA bukanlah berarti “dimiliki”, akan tetapi adalah pengertian, yang memberi wewenang kepada Negara, sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia itu, untuk pada tingkatan yang tertinggi:

a.Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;

b.Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;

c.Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Hak Menguasai Negara (bukan Hak Memiliki Negara) yang dipegang oleh negara/pemerintah berdasarkan UUPA adalah seperangkat wewenang, tidak lebih dari itu, karena itu pemahaman bahwa negara / pemerintah adalah pemilik atas tanah di Indonesia adalah kekeliruan dan pelanggaran terhadap UUDNRI Tahun 1945 dan UUPA.

UU No.2/2012 perlu segera direvisi, untuk menghindari kesan bahwa Negara Republik Indonesia telah kembali ke zaman kolonial Belanda, atau untuk menghindari pemahaman yang keliru bahwa sistem kepemilikan tanah di Indonesia menganut paham konsepsi feodal atau paham konsepsi komunis.

Penulis adalah Notaris/PPAT dan Dosen Program Studi Magister Kenotariatan USU–Medan

Related Articles

Latest Articles