25.9 C
New York
Saturday, August 24, 2024

Pilkada 2024: Manusia Lawan Kotak Kosong? Malu Dong!

MISTAR.ID

Oleh: Emrus Sihombing, Komunikolog Indonesia

Katanya negara demokrasi. Katanya akan menjadi negara emas. Katanya demokrasi kemanusiaan yang beradab. Padahal, apa yang sedang terjadi di politik Pilkada kita?

Belakangan ini, setiap hari orang membicarakan tentang Pilkada serentak. Semua partai saling mencari teman untuk membentuk kelompok politik mengusung dan mendukung pasangan calon Pilkada, sebagai politik pragmatis.

Karena itu, yang elit partai lakukan tersebut bukan berkoalisi. Sebab, koalisi berbasis ideologi dan relatif parmanen, mska lebih tepat disebut sebagai kerja sama politik transaksional.

Perilaku politik elit partai tersebut membuat kita teringat dengan permainan ketika masa usia anak-anak. Pemandu mengatakan, “Ayo kita semua sama-sama cari teman sebanyak-banyaknya dan bentuk kelompok ya.”

Lalu, setiap peserta berlari kesana-kemari mencari teman dengan saling berpegangan yang akhirnya menyisakan satu orang. Orang yang satu ini diberi semacam ‘hukuman’, tergantung pemandu acara, apa hukumannya.

Permainan anak-anak ini, tampaknya mirip seperti pembentukan kelompok sejumlah partai politik untuk mengusung dan mendukung paslon di suatu daerah Pilkada tertentu, sehingga membuat partai tertentu tidak cukup kursi DPRD membawa Paslon Pilkada. Inilah politik akal-akalan yang sama sekali tidak sejalan dengan nilai Pancasila.

Baca juga: Pilkada Inkonstitusional Jika KPU Tak Taat Putusan MK

Mau bukti? Sudah dibentuk dan diumumkan nama koalisi, sebut saja Koalisi Maju (KM) misalnya, dan mewacanakan  nama bakal calon Pilkada yang akan mereka usung, tiba-tiba saja masih ada satu-dua partai menyatakan bergabung ke koalisi tersebut dengan menyebut KM plus.

Seolah mereka tak berdaya membentuk kelompok partai untuk mengusung/mendukung pasangan bakal calon lain. Bisa jadi karena elit partai tersebut ‘tersandera’ sehingga tidak percaya diri membentuk dan mengusung bakal pasangan lain.

Dengan demikian, para elit partai politik seolah membuat Pilkada sebagai main-mainan saja sebagaimana dilakukan anak-anak, yaitu berkumpul menjadi satu untuk mencalonkan sepasang kandidat pemimpin di daerah, sehingga sengaja menyisakan satu atau dua partai saja di luar kumpulan mereka yang tidak mungkin mengusung karena tidak dapat memenuhi jumlah kursi DPRD untuk nembawa mencalonkan pasangan kandidat.

Otomatis satu atau dua partai seolah mendapat ‘hukuman’, gagal mencalonkan kandidat pemimpin di suatu daerah. Ini dapat disebut sebagai pembunuhan kedaulatan rakyat. Malu dong.

Related Articles

Latest Articles