7.5 C
New York
Tuesday, April 23, 2024

Nasib Hak Tanggungan Beda dengan Fidusia

Oleh: Dr Henry Sinaga, SH, SpN, MKn

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK), pada hari Kamis, 27 Agustus 2020, mengeluarkan Putusan Nomor 21/PUU-XVIII/2020, dalam perkara Pengujian Undang￾Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UU Hak Tanggungan) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).

Menurut UU Hak Tanggungan, yang dimaksud dengan Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu.

Ketentuan UU Hak Tanggungan yang diuji oleh MK adalah Pasal 14 ayat (3) yang berbunyi: (3) “Sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse acte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah, “ dan Pasal 20 ayat (1) yang berbunyi : (1) “Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan: a. hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau b. titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tatacara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu dari pada kreditor-kreditor lainnya.”

Pengujian (judicial review) Pasal 14 ayat (3) UU Hak Tanggungan dilakukan oleh MK sehubungan dengan adanya permohonan pengujian terkait frasa (kalimat) “kekuatan eksekutorial” (dapat dieksekusi sendiri oleh Kreditur) dan frasa “sama dengan putusan pengadilan” sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 14 ayat (3) UU Hak Tanggungan yang menurut Pemohon Judicial Review (Pemohon) telah menempatkan Kreditor sebagai pihak yang paling dikuatkan karena dapat melakukan eksekusi secara serta-merta tanpa memberi ruang kepada Debitor untuk melakukan pembelaan di hadapan hukum.

Selanjutnya pengujian Pasal 20 ayat (1) UU Hak Tanggungan dilakukan MK terkait frasa “cidera janji” yang menurut Pemohon telah menempatkan Kreditor seolah-olah menjadi hakim bagi Debitor yang berwenang memutuskan apakah Debitor telah cidera janji atau tidak.

Tindakan Kreditor melakukan penilaian secara sepihak bahwa Debitor telah ingkar janji atau wanprestasi dan tindakan melakukan eksekusi sendiri (parate eksekusi) terhadap objek Hak Tanggungan yang merupakan harta milik pribadi Debitor adalah suatu tindakan kesewenang￾wenangan dan tindakan tersebut timbul akibat adanya Pasal 14 ayat (3) dan Pasal 20 ayat (1) UU Hak Tanggungan yang menurut Pemohon, pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28 H ayat (4) UUD 1945.

Dalam argumentasinya, Pemohon mengaitkan permohonannya dengan Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019, dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Fidusia) terhadap UUD 1945 terkait Pasal 15 ayat (2) dan Pasal 15 ayat (3) UU Fidusia yaitu tentang frasa “kekuatan eksekutorial Sertifikat Jaminan Fidusia yang sama dengan putusan pengadilan”, dan tentang frasa “cidera janji (wanprestasi).”

Menurut UU Fidusia, yang dimaksud dengan jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia (Debitur), sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu.

Dalam Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 tersebut, MK antara lain menyatakan bahwa Sertipikat Jaminan Fidusia yang mempunyai kekuatan eksekutorial bertentangan dengan UUD 1945, karena menurut MK pelaksanaan eksekusi sendiri (parate eksekusi) oleh para Kreditur berpotensi (bahkan secara aktual telah) menimbulkan adanya tindakan
sewenang-wenang, selain itu juga tidak adanya kesepakatan tentang cidera janji antara Debitur dan Kreditur.

MK dalam Putusannya Nomor 18/PUU-XVII/2019 tersebut, juga menyatakan bahwa Sertipikat Jaminan Fidusia hanya mempunyai kekuatan eksekutorial, kalau memenuhi 2 (dua) syarat yaitu Debitur mengakui bahwa dirinya telah cidera janji dan Debitur secara sukarela menyerahkan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia kepada Kreditur, atau dengan kata lain jika Debitur tidak mengakui telah cidera janji dan keberatan menyerahkan benda objek Jaminan Fidusia kepada Kreditur, maka sertipikat Jaminan Fidusia tidak mempunyai kekuatan eksekutorial.

Argumentasi Pemohon yang mengaitkan Permohonannya dengan Putusan MK
Nomor 18/PUU-XVII/2019 tersebut, ditolak oleh MK dengan alasan terdapat perbedaan yang fundamental antara sifat dari lembaga Jaminan Fidusia dengan Hak Tanggungan.

Dari perbedaan yang mendasar tersebutlah kemudian membawa konsekuensi secara yuridis di dalam memaknai secara substansial terhadap frasa cidera janji pada masing-masing lembaga jaminan kebendaan tersebut.

Menurut MK perbedaan kedua lembaga jaminan kebendaan tersebut dapat dilihat dari frasa kekuatan eksekutorial dan frasa sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yang melekat pada Hak Fidusia dan Hak Tanggungan.

Dalam lembaga jaminan dengan Hak Fidusia, menurut MK terdapat sifat yang melekat, yaitu adanya penyerahan hak kepemilikan benda yang menjadi obyek jaminan oleh Debitor kepada Kreditor dan hal ini yang menjadi alasan krusial Kreditor dapat mengambil dan melakukan eksekusi sendiri setiap saat tanpa mempertimbangkan tempat dan waktu yang acapkali menimbulkan kesewenang-wenangan.

Hal ini menurut MK sangat berbeda dengan sifat Hak Tangggungan yang secara hak kepemilikan dari benda yang menjadi obyek jaminan tetap berada di tangan pihak Debitor termasuk status kepemilikannya. Sehingga pada waktu akan dilakukan eksekusi terhadap benda yang menjadi jaminan dalam Hak Tanggungan, Kreditor selalu memerhatikan tahapan￾tahapan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dan dapat melibatkan ketua pengadilan negeri dan/atau kantor lelang. Bahkan, dalam hal ada kesepakatan antara Debitor dan Kreditor, maka dapat dilakukan lelang di bawah tangan, guna mendapatkan harga dari nilai jaminan yang tertinggi, dengan tujuan hal tersebut akan menguntungkan kedua belah pihak.

Di samping itu menurut MK, apabila Debitor mempermasalahkan cidera janji yang dialaminya dengan alasan adanya keadaan memaksa (overmacht/force majeure) pada pengadilan perdata, maka proses perkara tersebut dapat menjadi alasan untuk menunda dilaksanakannya eksekusi terhadap jaminan Hak Tanggungan.

Putusan MK Nomor 21/PUU-XVIII/2020 dan Putusan MK Nomor 18/PUU￾XVII/2019 sama-sama Putusan MK terkait permohonan pengujian kekuatan eksekutorial terhadap 2 (dua) lembaga jaminan kebendaan yaitu Hak Tanggungan dan Fidusia, namun bedanya permohonan pengujian kekuatan eksekutorial Hak Tanggungan ditolak oleh MK,
sedangkan permohonan pengujian kekuatan eksekutorial Fidusia dikabulkan oleh MK.

Nampaknya meskipun Hak Tanggungan dan Fidusia adalah sama-sama lembaga jaminan kebendaan, sama-sama diatur dalam undang-undang dan sama-sama memiliki sertipikat yang mempunyai kekuatan eksekutorial, tapi nasibnya berbeda.

Penulis adalah Notaris/PPAT dan Dosen Magister Kenotariatan FH USU Medan

Related Articles

Latest Articles