Setidaknya, ada 17 wanita telah menuduhnya melakukan pelecehan seksual, meskipun Trump menyangkal semuanya.
Kampanye Trump melawan Harris, yang notabene adalah wakil presiden petahana, dipenuhi dengan sejumlah kecaman terkait seksisme. Bagi sebagian perempuan AS, kemenangan Trump dirasakan seperti tidak adanya lagi penghormatan bagi hak-hak mereka.
Namun bagi lainnya, ada rasa lega dan kegembiraan bahwa Harris tidak menjadi presiden. Banyak juga yang berpendapat bahwa ideologi jauh lebih penting dibanding gender.
Mereka hanya bisa menerima seorang wanita terpilih sebagai presiden AS jika kandidat tersebut mendukung politik Republik atau konservatif.
Baca juga: Ancaman Perubahan Undang-Undang Terhadap Kestabilan Perjanjian
Warga lainnya berpendapat, bahwa Harris — yang baru memulai kampanye pada Juli lalu setelah Presiden Joe Biden mundur dari pencalonan keduanya — belum berhasil meyakinkan mereka bahwa dia siap untuk jabatan tersebut.
Seperti diungkapkan Cheryl Dulac (66), seorang perawat di North Carolina yang merupakan simpatisan setia Demokrat. Dia mengaku tidak memilih satu di antara dua kandidat presiden tersebut.
“Trump memang gila,” katanya, seperti dilansir Washington Post, Kamis (6/11/24).
Namun ia juga mengatakan, bahwa Kamala Harris dengan segala janji kampanyenya, tak berhasil membuat dirinya terkesan.
Berbeda dengan Hillary Clinton pada 2016, Harris dinilai telah merendahkan profil pencalonannya yang bersejarah. Padahal dia berpotensi menjadi wanita sekaligus keturunan kulit hitam dan Asia Selatan pertama pertama yang akan duduk di Gedung Oval.
“Ya, saya memang seorang perempuan. Intinya adalah apakah saya bisa menjalankan tugas dan punya rencana yang benar-benar berfokus pada mereka (rakyat AS),” katanya dalam wawancara dengan NBC Oktober lalu.