10.3 C
New York
Tuesday, April 23, 2024

Kedudukan Mahasiswa dalam Pilkada 2020

MISTAR.ID–Indonesia saat ini sedang punya masalah, khususnya dalam bidang politik elektoral Pemilu dan pilkada belum menghasilkan produk pemimpin seperti yang diharapkan. Ada banyak orang mungkin menggerutu, mencemooh lalu menyalahkan demokrasi, menyalahkan Pemilu dan menyalahkan Pilkada.

Pandemi Covid-19 tak hanya mengancam kesehatan dan kehidupan masyarakat dunia, tapi juga membuka jalan bagi krisis politik yang membahayakan masa depan demokrasi. Di Indonesia, wabah virus SARS-CoV-2 sempat juga menunda Pilkada Serentak 2020 di sembilan provinsi, 209 dari 224 kabupaten dan 37 kota.

Diperkirakan sebanyak 100 juta pemilih terdampak. Meski begitu, saat ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengklaim sedang menggodok tata cara pemilihan baru agar sesuai dengan protokol kesehatan Covid-19 yang telah diputuskan pemerintah Pilkada tahun ini dilaksanakan pada 9 Desember 2020.

Baca Juga: 6 Aturan Keamanan Internet yang Harus Diterapkan Kepada Anak Remaja Anda

Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) menilai bahwa pemerintah di banyak negara, termasuk di Indonesia, panik dan tak siap menghadapi pandemi Covid-19. Karena panik dan tak siap itulah (dalam menangani Covid-19), akhirnya pemerintah melakukan berbagai cara untuk mengamankan berbagai sektor demi stabilitas kehidupan di berbagai bidang.

Hampir semua aspek kehidupan politik ditentukan oleh elite, khususnya elitenya elite. Persetujuan pusat atau pimpinan pusat amat menentukan dan mewarnai segenap kehidupan kader partai di mana pun berada.

Kemiskinan, ketikdakadilan dan KKN sebagian dari topik-topik kampanye yang senantiasa dipergunakan oleh calon pemimpin daerah maupun nasional dalam setiap kontestasi Pemilu.

Baca Juga: Ganjalan Demokrasi di Indonesia, UU ITE Perlu Direvisi Lagi

Topik-topik ini dikelola secara apik dengan menggunakan rangkain redaksi yang menjanjikan kesetiaan, keberpihakan dan keadilan. Banyak tim dan relawan calon turut serta menyuarakan dan bersaksi pastinya janji-janji politik tersebut.

Tidak jarang, rangkaian kegiatan kampanye dalam rangka peyakinan janji-janji politik tersebut dibarengi dengan aksi turun kejalan seperti: bagi sembako, donor darah, gotong royong, dan hiburan. Namun apakah kegiatan-kegiatan tersebut terus berjalan dan janji kampanye dipenuhi setelah calon terpilih?

Pertanyaan ini tak seorang pun yang bisa memastikannya, walau tidak sedikit diantaranya setelah berkuasa malah tidak menjalankan janji-janji politiknya. Ini dapat dibuktikan bahwa tidak sedikit kepala daerah yang terjerumus kasus korupsi dan penyalahgunaan jabatan hingga harus meringkuk di balik jeruji besi.

Baca Juga: Tren Penggunaan “Influencer” Pemerintah, Ini Yang Dikhawatirkan

Pertanyaannya kemudian, ketika seorang calon menang dalam Pilkada kemudian berkuasa, apakah ada sanksi atau jaminan hukum untuk mengharuskannya menjalankan atau melaksanakan janji-janji politiknya itu? Kalau ada, pernahkan itu terwujud?

Fenomena ini terus berlanjut sehingga sepertinya ada stigma hidup di masyarakat bahwa biaya Pilkada itu mahal, bahwa yang boleh menjadi calon adalah figur pemodal besar dan bahwa KKN itu menjadi lumrah sebagai akibat dari penggelontoan dana kampanye yang tidak sedikit.

Mengapa Harus Mahasiswa

Memasuki tahun politik 2020, masyarakat akan disuguhkan satu momentum besar yaitu Pilkada. Berbagai calon sedang gencar mempersiapkan diri juga pemilih yang akan turut andil dalam pesta demokrasi tersebut. Tak terkecuali mahasiswa, sabagai generasi penerus bangsa, mahasiswa juga perlu berperan aktif dalam momentum ini untuk perubahan bangsa yang lebih baik.

Masa depan bangsa ini, salah satunya yang berperan besar menentukan arahnya adalah mahasiwa/i. Mahasiswa adalah sebagai calon pemimpin bangsa yang telah mengenyam kesempatan besar menimba ilmu pada level perguruan tinggi oleh karena itu setiap mahasiswa/i seyogianya harus memiliki peran dan fungsi sosial politik yang membangun kesadaran masyarakat untuk kehidupan berdemokrasi yang lebih baik.

Fungsi dan peran yang dilakoni oleh mahasiswa diejawantahkan melalui pemberian pendidikan politik kepada masyarakat, penyimbang informasi yang berimbang dan netral.

Baca Juga: Elon Musk Demonstrasikan Teknologi Otak-Komputer Pada Hewan

Bahkan mahasiswa diharapkan mampu berperan lebih melalui keikutsertaan dalam uji kelayakan calon pemimpin melalui pembangunan kelompok sadar politik yang menguji keseriusan janji politik calon sehingga diperoleh komitmen dan konsistensi melaksanakan janji dan kontrak politiknya.

Mahasiswa sebagai kaum intelektual mampu mengamati proses, mencerdasi dan menimbang berbagai hal di dalam politik.

Melalui ilmu yang dimilikinya mahasiswa harus mampu netral dan tidak ikut-ikutan. Posisi netral mahasiswa berfungsi sebagai kontrol yang mampu mencerdaskan masyarakat supaya jangan mudah dimobilisasi untuk kepentingan tertentu.

Dengan kemampuan intelektual dan organisasinya, mahasiswa mencerahkan masyarakat untuk memahami pilkada sebagai alat dan jalan untuk kehidupan berpolitik yang lebih baik, berdemokrasi yang baik dan pelayanan berbasis pengabdian. “Politik bukan teknik untuk berkuasa melainkan teknik untuk mengabdi “Johannes Leimena.”

Disamping itu, mahasiswa juga harus melek terhadap isu politik saat pilkada sehingga mahasiswa mampu secara aktif dan langsung berkontribusi mempengaruhi pengambilan keputusan politik atau kebijakan publik secara luas. Dengan demikian mahasiswa menjadi pengaruh dan penggerak pendidikan politik kepada masyarakat dengan memilih calon pemimpin berdasarkan kinerja dan kredibilitasnya.

Sehingga ke depan mahasiswa mampu memberikan peran nyata dalam setiap pengambilan kebijakan terkait pemilihan kepala daerah di daerahnya masing-masing. Idealnya, partisipasi yang aktif ini harus tidak ditunggangi oleh berbagai kepentingan politik. Kontribusi ini adalah murni dari kepentingan masyarakat yang benar-benar harus disampaikan kepada siapapun calon pemimpin daerah yang akan memenangi Pilkada.

Sebagai agen perubahan, mahasiswa harus menggambil langkah-langkah positif (sekecil apapun) untuk perbaikan bangsa ini ke depan. Ada dua peran utama yang paling mungkin dilakukan mahasiswa untuk melakukan perbaikan ke depan.

Pertama, mahasiswa seyogyanya tidak alergi dengan partai politik dan berpartisipasi dalam setiap proses pembangunan politik termasuk berpartisipasi dalam Pemilu.

Kedua, sebagai insan kritis, mahasiswa harus aktif melakukan kontrol dan pengawasan terhadap setiap proses politik yang berlangsung, termasuk Pilkada 2020.(penulis: Kevin William Andri Siahaan, mahasiswa Prodi Pendidikan Kimia FKIP Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar/hm02).

Related Articles

Latest Articles