18.5 C
New York
Friday, September 27, 2024

Batu Lubang di Tapteng, Kisah Mistis dan Bukti Kekejaman Penjajah

Tapteng, MISTAR.ID

Sembilan hari setelah dibuka tepatnya, Kamis, 19 September 2024 lalu, Jalan Nasional Sibolga-Tarutung via Batu Lubang sudah ramai dilewati pengendara. Sempat ditutup pada 16 Juli 2024 yang lalu karena adanya pembangunan jalan dengan rigid beton di kawasan Batu Lubang. Sekarang sejumlah pengunjung Batu Lubang sudah kembali ramai terlihat, sekedar menikmati keindahan alamnya sambil berwisata sejarah.

Bila ingin mengunjungi Kota Sibolga dan Kabupaten Tapanuli Tengah (Tapteng), tentunya harus melewati Batu Lubang terlebih dahulu. Di kawasan Batu Lubang ini pengunjung biasanya rehat sejenak di pinggir jalan untuk menikmati panorama alam yang tersajikan dengan keasriannya. Ibarat diajak di alam seperti didalam film Jurassic Park. Sambil melihat dua Batu Lubang yang di atasnya terdapat air terjun yang mengalir deras, pengunjung juga dapat menyaksikan langsung kisah mistis dan bukti kekejaman penjajah kolonial Belanda.

Batu Lubang adalah merupakan terowongan yang terletak di KM 8, Dusun Simaninggir, Desa Bonandolok, Kecamatan Sitahuis, Kabupaten Tapteng, Sumatera Utara. Kawasan ini adalah sebuah tempat yang menyimpan kisah kelam dalam sejarah Indonesia dan menjadi saksi bisu dari kekejaman penjajah kolonial Belanda pada masa lalu.

Baca juga:Jalan Nasional Sibolga-Tarutung Via Batu Lubang Sudah Bisa Dilalui

Sejak tahun 2022 lalu, kawasan Batu Lubang ini sudah masuk menjadi sebagai cagar budaya Batu Lubang (Goa Belanda) yang dilindungi Undang-Undang  Republik Indonesia nomor 11 tahun 2010 dan surat keputusan Bupati Tapteng nomor : 1939/Disdik/2022 tentang Batu Lubang sebagai struktur cagar budaya.

Ada terlihat dua Batu Lubang di jalan nasional yang menghubungkan Sibolga-Tarutung ini, jarak keduanya lebih kurang 60 meter. Batu Lubang pertama memiliki panjang lima belas meter dengan jalan menikung dan Batu Lubang kedua kondisi jalannya lurus namun lebih pendek dari yang pertama, hanya sekitar lebih kurang sepuluh meter.

Saat memasuki terowongan itu, suasananya semakin terasa mistis, pencahayaan di dalam terlihat agak gelap serta ada aroma air yang lembab dengan suara tetesan air dari atas langit-langit gua dan dipadu suara air terjun dari atas terowongan. Bekas pahatan batu masih terlihat jelas yang membuktikan di dalam terowongan itu ada jejak perlakukan kekerasan dan kekejaman yang membuat suasana merinding.

Bahkan, konon banyak para pengendara yang melintas yang memiliki cerita horor saat melintasi gua ini, ada yang pernah mendengar suara-suara aneh dan melihat seseorang namun tiba-tiba sudah hilang. Di kawasan terowongan itupun diingatkan bagi pengendara maupun penumpang dilarang untuk mengucapkan kata-kata yang sembarangan ataupun kotor agar terhindar dari kecelakaan.

Baca juga:Jalan Melalui Batu Lubang Sibolga Ditutup Total Mulai 16 Juli 2024

Suasana gua yang begitu hening saat memasuki gua, pengendara sebaiknya harus membunyikan klakson dan lampu sebab sudah menjadi sebuah tradisi untuk bunyikan klakson dan lampu kendaraan. Hal itu dilakukan agar kendaraan dari arah berlawanan dapat mengetahui dan dapat bergantian untuk memasuki terowongan itu, sebab kondisi jalan di dalam gua begitu sempit, gelap dan hanya mampu dilewati oleh satu kendaraan mobil saja.

Kris Hutagalung warga setempat menceritakan sejarah Batu Lubang ini kepada Koresponden MISTAR.ID. Pria paruh baya itu mengungkapkan, keberadaan Batu Lubang itu memiliki sejarah menarik dalam proses pembangunannya pada era zaman penjajahan kolonial Belanda. Konon, gua ini dibangun sekitar awal tahun 1900-an. Ia pun memastikan pembangunan Batu Lobang bukan saat penjajahan Jepang.

“Pembangunan Batu Lubang ini dilakukan sebelum Indonesia merdeka, dan dibuat oleh Belanda. Namun pekerjanya adalah orang Indonesia, ada orang Batak, dan ada orang Jawa,” sebut Kris Hutagalung saat ditemui ditemui di kawasan Batu Lubang.

Baca juga:Satlantas Polres Batu Bara Timbun Jalinsum Berlubang Minimalisir Kemacetan

Ia pun mengakui tidak sedikit para pekerja banyak yang meninggal saat proses pembangunan Batu Lubang.itu. Ada yang terjatuh ke jurang dan ada yang mengalami kecelakaan. Hal kejadian itu pun dia akui semua nyata.

“Pembangunan Batu Lubang ini sudah selesai saat Indonesia Merdeka tahun 1945, sebab sekitar tahun 1900 Belanda sudah memasuki kawasan Tapanuli saat itu. Dulunya sebelum ada jalan Batu Lubang ini, jalan yang dilewati warga harus melewati hutan belantara dari Kampung Sitonong menuju Sipan Sihaporas, Sibuluan, Tapteng, dan bila melewati jurang terjal yang dipenuhi bebatuan menuju Sibolga Julu,” jelasnya.

Batu Lubang ini memegang peranan penting dalam geliat perekonomian pada masa penjajahan Belanda pada zaman dahulu hingga saat ini. Diantaranya, sebagai bentuk mobilitas dalam pengangkutan hasil bumi dari wilayah Sibolga-Tapteng ke daerah luar dan sebaliknya.

Terlepas dari kontroversi tahun pembangunan Batu Lubang ini, yang pasti tempat itu dibangun pada masa kolonial Belanda dengan melibatkan rakyat Tapanuli (khususnya warga Sibolga dan Tapteng) serta pejuang kemerdekaan yang menjadi tawanan Belanda masa itu.

Baca juga:Lubang Menganga di Jembatan Perbatasan Talawi Batu Bara Siap “Memangsa” Korban

Tujuan pembukaan Batu Lubang itu untuk mempermudah sarana transportasi menuju Tarutung, Tapanuli Utara, sekaligus mempermudah pengangkutan hasil bumi. Rakyat dan pejuang saat itu dipaksa bekerja untuk membuka jalan dan Batu Lubang tersebut.
Konon ceritanya banyak yang menjadi korban dari pekerjaan pembukaan jalan dan Batu Lubang itu. Namun sayang tidak ada catatan sejarah yang menyebutkan berapa banyak yang menjadi korban.

Tidak sedikit informasi yang beredar, mereka pekerja yang menjadi korban dibuang begitu saja ke jurang yang berada di salah satu sisi batu lubang ini. Mereka yang meninggal atau meregang nyawa akibat kelelahan karena tak kuat dan tak kuasa menahan derita pemaksaan kerja.

Para pekerja dipaksa bekerja keras dengan sekuat tenaga tanpa istirahat dan makanan yang cukup. Sementara untuk membuka jalan terowongan itu, para pekerja harus menembus batu dinding gunung yang keras dengan alat seadanya yakni pahat dan martil.

Ukuran Batu lubang kala itu hanya bisa dilintasi oleh mobil kecil. Namun seiring perkembangan zaman, terowongan ini mengalami pelebaran dan sudah bisa dilalui mobil truk besar. Namun pelebaran tersebut dilakukan tanpa merusak bentuk fisik dan mengurangi makna dari terowongan. (feliks/hm17)

Related Articles

Latest Articles